6 November 2004

Cerah sekali pagi ini. Matahari belum terlalu terik, beberapa gumpalan awan berwarna abu-abu melintas di atas rumahku. Suara burung liar yang hinggap di pohon sawo depan rumah, berkejaran dengan teman-temannya dari ranting ke ranting. Aku menikmati pagi itu dengan segelas kopi hitam buatan Mama. Kami berdua duduk di teras, ditemani 2 toples kue kering yang sudah nyaris habis.

Hari Raya Idul Fitri telah berlalu seminggu yang lalu. Biasanya di hari ke tujuh lebaran kita menunggu kiriman ketupat dan opor dari kerabat di desa. Rasanya lebih nikmat dan lezat daripada harus masak opor ayam sendiri, karena segala sesuatu yang gratis itu memang enak, hehe. Aku sibuk dengan ponselku, mama larut dalam tabloid barunya.

Dua hari lagi sudah masuk sekolah. Rasanya sudah tak sabar, bertemu kembali dengan teman-teman dan bergelut dengan PR serta tak lupa bagaimana serunya kerja kelompok. Dalam hati, sebenarnya aku pun merindukan Boy, kakak kelas yang menurutku bandel tapi lumayan tampan. Lebaran di hari kedua, Boy meneleponku lama. Dia sedang mudik dengan keluarganya ke Jawa Tengah. Disana sinyal buruk, sehingga tidak mungkin dapat sering menghubungiku.

Ponselku berukuran kecil, monokrom, dan nyaris putus pada kabel fleksibelnya. Ponsel keluaran merk Sony, dengan layar kuning dan tuts keyboardnya yang mulai sulit ditekan. Aku tak mungkin meminta dibelikan ponsel baru pada orangtuaku, karena baik aku atau orangtuaku harus giat menabung untuk biaya kuliahku, sekitar 2 tahun ke depan. Dengan berbekal pulsa Rp. 1000, biasanya memiliki masa aktif kartu 10 hari. Hanya ada provider Telkomsel dan Indosat. Aku sendiri memilih telkomsel, akibat termakan iklan dan buaian promo tarif sms. Frekuensi penggunaan ponselku ini terbilang jarang, karena selain ponsel tua, pulsa pun hanya ku isi seadanya, sebatas memperpanjang masa aktif kartu. Aku lebih sering berkomunikasi menggunakan telepon rumah. Dengan begitu, Mama atau Papa, dapat tetap memantau pergaulan anak-anaknya.

Tenggelam dalam lamunan, aku membaca ulang inbox dalam ponselku dari urutan terbawah. Beberapa dari June, menanyakan menu buka puasa tempo hari (Sungguh kurang kerjaan dan buang-buang pulsa). Beberapa pesan lain dari Boy sekedar bertanya apakah aku bisa telpon kamu sekarang, dan ada pula pesan balasan dari mas Doni. Aku periksa ulang, hanya ada tiga pesan dari mas Doni dalam inbox ku.

***

"Hai, ini siapa, bisa kenalan dulu kalo boleh?" Begitulah pesan balasannya tempo hari, ketika malam seusai terawih aku mengiriminya SMS. Pesan yang masuk di inbox ku namun aku sudah tertidur.

Saat sahur, aku membalas pesannya,

"Kita kan sudah kenal, mas. Aku Mika, hehe."

1 menit kemudian, pesanku dibalas,

"Oh Mika, ada yang bisa ku bantu?"

Aku merasa canggung malam itu, hendak langsung menanyakan tentang Boy, tapi pulsaku terbatas. Rasanya tidak mungkin jika aku to the point. Itu kurang sopan, menurutku. Ku urungkan niatku membalas SMS Mas Doni. Aku menghemat pulsaku untuk hal lain yang lebih penting saja.

***

Oiya, terhitung sudah 2 pesan dari Mas Doni masuk di-inbox-ku. Disusul SMS yang ketiga, yakni semalam, Mas Doni mengirimkan pesan lagi padaku.

"Mika, besok aku mau silaturahmi ke rumahmu, boleh kah?"

Pesannya aku balas segera, "Monggo mas, sudah tau alamat rumahku belum?"

1 jam

2 jam

dan tidak ada balasan lagi dari Mas Doni.

***

Mama beranjak dari kursinya. Papaku memanggil dari dalam, "Ma, jadi ke rumah Bude Is jam berapa? Keburu siang panas nanti Ma."

"Kamu ikut? Soalnya Leo ikut," tanya mama padaku.

Aku menggeleng.

"Temanku mau kesini ma. Gak tau sih jadi apa gak. Lagian aku gak bakal dapat angpau. Males ah Ma." Jawabku atas pertanyaan Mama, dengan tetap sibuk bermain game tetris di ponsel.

"Ya udah, Mama naik motor aja bertiga. Mbak Nia juga gak ikut, mau ke rumah dosennya. Kamu jaga rumah aja, kalo ada tamu temen Papa, telpon Mama ya nanti."

"OK, Ma." Tanganku melambai seolah mengusir agar Mama Papa dan Leo lekas pergi. Dipikir-pikir, memangnya pulsaku ada berapa rupiah, dengan entengnya Mama memintaku meneleponnya nanti. Aku mengerutkan dahi, tersenyum kecut.

***

19 NOVEMBER 2004, PUKUL 10 SIANG

Aku sendirian di rumah. Mama, Papa dan adikku sudah berangkat ke kediaman Bude Is. Kakakku menyusul pergi, dijemput beberapa temannya hendak berkunjung ke rumah dosennya di luar kota. Kopi hitamku habis. Aku membawa gelas kopi ke dapur. Setibanya di dapur, aku teringat jika pintu depan masih terbuka. Ah, aku lupa menutupnya. Dengan langkah malas, aku kembali berjalan ke depan.

Hari itu, aku hanya menggunakan atasan kaos kuning bergambar landak tidur dan bawahan kulot kotak-kotak berwarna coklat. Aku duduk meluruskan kaki ku di depan televisi. Rambutku tak pernah panjang, selalu diatas bahu. Namun setelah lomba paskibra bulan lalu, aku memotong rambutku lebih pendek lagi pada bagian atasnya sehingga nampak aksen layer pada rambutku yang hitam kecoklatan. Ku tekan tombol power pada remote hitam di tangan kananku. Sembari menunggu siaran kartun favoritku, aku menguncir setengah dari bagian atas rambutku dengan karet rambut warna kuning. Ku gerai sisanya dan ku sisir kasar dengan jari jemariku.

Treettt...!

Bel rumahku berbunyi.

"Assalamualaikum."Ada yang mengucap salam dari arah depan.

Ais, semoga bukan teman Papa, yang Om-Om tua, yang biasanya suka duduk berlama-lama di teras meski Papa sedang tidak di rumah. Mama Papa baru saja berangkat, mana mungkin aku menelpon Mama untuk segera kembali pulang. Semoga bukan teman Papa, harapku.

Aku paksakan mengintip dari balik tirai di belakang televisi. Aku sibak perlahan agar tidak menimbulkan suara. Ternyata yang datang,

"Mas Doni!" pekikku sendiri.

Aku bergegas ke depan, dan membuka pintu untuknya. "Mas, monggo masuk, sori lama bukainnya, aku di belakang tadi."

"Lagi ngapain, Mik? Aku ajak teman-teman, gak papa kan Mik?"

"Ya gak papa toh yo. Masuk, masuk.. semuanya monggo." Aku membuka pintu selebar mungkin dan tanganku mempersilahkan semua teman-teman Mas Doni masuk.

Mas Doni membawa serta 3 orang temannya. Dior, Sukri, dan Gading. Setidaknya itu yang ku dengar ketika Mas Doni memperkenalkan nama mereka. Dior dan Gading adalah nama sebenarnya, tapi Sukri, sepertinya bukan nama sesungguhnya.

"hahaha.. iyaa, ini aslinya kan Romeo, tapi kegantengan aja dipanggil Romeo, ya udah Sukri aja karena gundul plontos kayak kacang Sukro", terang Dior disusul tawa kami semua.

"jauh banget lho, Romeo jadi Sukri", kataku sembari tetap tertawa hingga perutku kaku.

Kami banyak mengobrol, meski tak pernah mengenal sebelumnya. Hanya sekedar tahu, mereka yang diajak Mas Doni, adalah teman-teman genk si Boy juga. Ada sedikit rasa kecewa, karena Boy ternyata tidak ikut dalam rombongan Mas Doni.

"Mas, Boy kok gak ikut mas?", tanyaku pada Mas Doni. Badanku condong menghadap ke arahnya. Mas Doni belum menjawab, tapi kemudian menoleh pada ketiga temannya.

Tiba-tiba salah seorang diantara mereka beralasan gerah, dan ingin duduk di muka rumahku. Aku mengiyakan, "ayo deh kalo geser ke depan, bantuin bawa toples dan minumnya ya". Lalu pernyataanku ditimpali oleh Dior,

"No! No! Mika, kita mau merokok di teras, kamu ga boleh ikut nanti bau asep. Bentaran ya Don, kita di luar"

Dior menyahut dengan cepat, disertai Sukri dan Gading membawa gelas minum mereka masing-masing. Dior sendiri mengambil asbak yang ku letakkan di meja kecil di sudut ruang tamu. Tangkas sekali gerakan mereka untuk segera beranjak ke teras. Dalam hatiku berkata, "ngobrolin apa ya sama Mas Doni berdua gini"

Hanya kita berdua di ruang tamu. Beberapa toples krupuk dan kue kering berbaris rapi di meja. "Mas, monggo, ini kue untuk dimakan loh, bukan pajangan", aku berusaha membuka obrolan. Mas Doni hanya mengangguk. Kedua tangannya mengatup, jari jemarinya saling bertautan, ditangkupkan kedua tangannya di atas paha. Kedua kakinya terbuka.

Penampilan Mas Doni rapi sekali. Mengenakan kemeja kotak-kotak biru tua, dan celana jins warna hitam. Rambut gondrongnya disisir rapi pula ke belakang, sisanya sedikit dikuncir. Dari balik kemejanya, tersembul kaos warna abu-abu muda. Kesan maskulin dan dewasa, tersirat dari raut wajahnya. Mas Doni yang tidak banyak bicara. Senyum dan matanya yang teduh, aku yakin, bisa melelehkan siapapun perempuan yang mengenalnya. Tapi belum pernah ku lihat Mas Doni berjalan dengan perempuan selain Angel, sahabatnya. Angel sendiri sudah memiliki kekasih, tepatnya tunangan di usia muda.

"Mas, Boy kenapa gak ikut ya?", aku mengulangi pertanyaanku beberapa menit lalu.

"Boy masih mudik, saudaranya disana banyak. Biasanya nanti kurang sehari masuk sekolah, dia baru pulang kesini", jawab Mas Doni.

"Oh begitu, ya berarti kayaknya ketemu di sekolah ya sama si Boy. Terus Mas Doni ini aslinya mana, sudah mudik?", cecarku.

"Aku aslinya dari Borneo. Ibu dan Bapakku orang sana. Tapi Bapak lama kerja disini. Kemarin mudik cuma 3 hari aja kok", tutur Mas Doni sambil sesekali tersenyum tipis.

Apalagi yang akan aku tanyakan padanya. Suasana canggung. Di depan, teman-teman Mas Doni tertawa terbahak-bahak, entah apa topik obrolan mereka. Sedangkan kami di dalam, saling terdiam beberapa menit. Aku tak berani lagi menatap wajahnya. Mas Doni pun lebih banyak tertunduk, dan memainkan jari-jari tangannya.

"Mika, maaf..", suaranya memecah keheningan diantara kami. Kepalaku terangkat. "Ya mas?", tanyaku singkat.

"Aku boleh ngomong sama kamu?"

"Lah dari tadi pan udah ngobrol kita, hehehe"

"Hgg.... Mikkkk...", gumamnya bingung.

Aku memandangi Mas Doni, masuk lebih dalam dalam sorot matanya. Aku menunggu, apa yang hendak dikatakannya.

Ternyata hal tak terduga, terlontar dari mulut Mas Doni.

"MIKA, MAU GAK JADI PACARKU?"

Demi Tuhan. Seketika badanku lunglai seolah tak bertulang.

avataravatar
Next chapter