Sampai beberapa hari kemudian, malam berlalu hingga malam berikutnya berlanjut, Rose sudah mulai membiasakan diri meski masih beradaptasi dengan keberadaan kucingnya.
Rose sesekali memaksa Miaw untuk mandi, dan mengajarkan cara buang hajat dengan benar di kloset—yah, tau lah ya. Yang namanya hewan kalau tidak punya otak, dia tidak mau berpikir. Tapi baginya, itu salah, kucing yang ia adopsi termasuk ke dalam pengecualian. Miaw-nya diberikan ajaran dengan baik dari Rose. Baru saja Rose mengajarkan satu hal dan dua hal, menurut kata pepatah, sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit. Entah Rose mesti bersyukur atau tidak, kucingnya cepat tanggap dan belajar dengan baik melalui ucapannya.
"Meongg... Meong,"
Rose mengusap kepala Miaw. "Bagus, anak pinter. Eh, kucing pinter..."
Tok tok!
"Nona Rose, sudah waktunya untuk pergi ke kampus..."
"Ya, bik. Tunggu," Rose bersiap-siap sampai ia harus berpamitan dulu sebelum berangkat kepada Miaw-nya yang terus ber-ngeow.
"Miaw, babu Lo harus berangkat dulu. Gue pamit ya."
"Meeong... Meong,"
"Iya meng. Majikan lo lebih tepatnya, ya. Bye, gausah kemana-mana lo! Gue gamau nyariin soalnya." Rose berdecih dan berlalu senang, meninggalkan Miaw seorang diri—eh seekor diri di kamarnya.
Meffert—si Miaw itu lantas merubah dirinya menjadi seorang manusia begitu Roe sudah menutup pintu dan dapat ia dengar suara Rose berjalan terburu-buru menuruni tangga. Meffert memberanikan diri muncul di balik jendela kamar Rose demi sekedar melihat putri tunggal Mr. Aner itu, tengah berangkat dengan mobil.
Meffert berjaga-jaga agar dirinya tidak ada yang tahu kalau dirinya sendiri merupakan manusia jelmaan kucing. Meffert menghela nafas, mulutnya sedikit bau daging dan cemilan kucing yang diberikan Rose sebelumnya.
Hah
"Kucing! Bau banget gua," Meffert mengalahkan diri sendiri dan tertawa kecil. Mengeluarkan bau nafas mulutnya ke tangan. "Apa jangan-jangan... Si Rose itu pas ciuman sama gua, mulut gua bau daging?"
Meffert mengedikkan bahu, berlalu masuk ke dalam pintu kamar mandi.
|
"Bagaimana hari Non?"
"Seperti biasa."
Rose melebarkan senyum tipis nan datar. "Cuman kehadiran kucing doang jadi berubah."
"Oh... saya dengar anda merawatnya juga?"
"Yah sepertinya." Rose termangu. "Iya, kalau dia hilang, gak bakal dicari. Soalnya dia... tiba-tiba datang ke rumah ngingintil dari belakang."
Pak supir yang mengantarnya itu memanggut. Tidak seperti biasanya putri tunggal Aner ini sedikit lebih banyak berbicara dibanding dengan sebelumnya.
Tak berapa lama, Rose tiba di kampusnya dan berpamitan. "Thanks, Sir."
"Dengan senang hati,"
Rose melambai begitu mobil itu menjauh darinya.
Rose menghela nafas sebelum masuk ke dalam kampus. Di kampusnya, tidak ada hal yang menarik. Apapun itu, dia hanya fokus untuk belajar. Rose menggusrak rambutnya, entah kenapa dia harus meminimalisir rasa frustasinya atau memang kebiasaannya dalam menghadapi kecemasan yang biasa terjadi.
Salah satunya ya... Dosen dan skripsi. Tidak lagi-lagi dia ingin menjadi mahasiswi abadi, dia ingin terlepas dari cengkraman maut itu. Tidak mahasiswi abadi juga sih, yah pokoknya bisa dibilang begitu.
Rose memasuki ruangan jurusannya. Jurusan Cinematography. Dia berjumpa dengan kedua teman sejurusannya, Lansa dan Suci.
"Rose!"
"Hey sis!" Rose menepukkan tangan ke Lisa. Lisa, sang perempuan nyentrik itu bertanya. "Gimana, kabar Lo?"
"Hmm... Gue punya sesuatu yang biasa."
"Ah... apa lo berganti model tas Tiffany and Co?" Tanya Suci begitu netranya menangkap sebuah tas baru yang dikenakan Rose.
"Ah, ini hasil jerih payah gue kayak biasalah," Rose sedikit berlagak kecil.
"Nah, terus apa sesuatu yang 'biasa' di mata lo itu, Rose? Cepat katakan... apa lo itu punya plot twist terbaru? Gosip? Tontonan tren terkini?"
"Ayo, gue juga ikut penasaran sama Lisa kalo lo ga ngasih tau juga!" Suci sedikit berbisik menarik pelan tangan Rose.
"Kita duduk-duduk dulu, Se! Kita berdua nih' lagi punya berita terbaru juga buat lo!"
|
Ketiganya duduk berdampingan dengan Rose yang berada di tengah-tengah Lisa dan Suci.
"Gue dibeliin kucing spesies mahal sama bokap, Se."
"Hah? Kucing jenis apa?" Tanya Rose datar.
"Wahh, gue ga sabar mau liat kucing lo, Sa. Warna bulunya apa tuh, Lis?" Suci ikut antusias.
"Tapi kucing Sphynx." Lisa bercicit hampir nyaris tak terdengar.
"Hah? Sing-sing?"
"Sphynx tau gak? S-P-H-Y-N-X!" Eja Lisa satu persatu dengan jarinya. "Sphynx!"
"Apa pulak Sphynx-sphynx," Rose mengernyit. Dia bergumam, Kok jadi keinget sesuatu, ya? Suling?
"Ohh, yang kayak gimana tuh, Lisa?" Suci berbinar. Berbeda dengan perasaan Rose yang terlihat tidak menerima perhatian Lisa.
"Itu loh, Se. Kucing yang gaada buluan."
"Hah? Maksud lo apa Sa? Telanjang bulat apa emang hormonnya kayak gitu?" Suci sedikit shock ditambah Roe yang seakan tidak peduli, tapi ingin tahu.
"Ck elah, kayak gini nih." Lisa membuka layar handphonenya dan mencari gambar seekor kucing jenis Sphynx.
Rose dan Suci sama-sama menatapnya lamat-lamat begitu Lisa menyodorkan gambarnya ke arah mereka. "Nah, tau kan? Udah puas belum liat gambarnya nih?"
"Itu bugil anjir," ceplos Rose.
"Sssh! Ngomong seenak jidat lo, Se." Suci meng-'hus'kan dengan tangannya.
"Emang jujur banget besti guah yang satu ini, cocoknya dilelang ke om-om belang," Lisa tertawa hambar.
"Ee-enak aje lo ye!"
"Mirip kucing Mesir Sa, Sphynx-nya."
"Lo tau, su?"
"Suci ya, bukan Asu." Suci mengelak, Rose tergelak.
"Kucing Mesir apa pula, bukannya yang mirip anjing gitu, ya? Kayak telinganya panjang,"
"Beda lagi gak sih..." Suci berpikir. "Beda anjir, bukan itu."
"Ah elah, segala nyasar ke kucing Mesir segala, kayak yang tau aja."
Suci mendengus. "Lo gaasik Sa, sumpah! Kita gak temenan fiks, kita bestian!"
Rose, Lisa dan Suci tertawa bersama-sama.