webnovel

Menikah tapi benci

"Jangan karena orangtuaku berhutang budi padamu, aku tidak bisa menghancurkan hidupmu! Sebaiknya kamu tolak lamaran ini jika kamu tidak ingin hidup menderita!" Ancaman itu terdengar jauh lebih menyakitkan karena terucap dari mulut cinta pertamaku. Tapi aku sudah bukan lagi gadis polos yang bodoh, "Lakukan saja, setidaknya aku bisa mendapatkan setengah harta mu saat kita bercerai nanti." Aku mendengar dia menggeram, aku yakin dia sedang mengeratkan rahangnya sekarang. "Katakan berapa yang kamu inginkan, aku akan memberikannya sekarang juga tapi setelah itu menghilang lah dari kehidupan ku!" Aku tersenyum, aku yakin dia akan segera meledak sekarang juga melihat wajahnya yang memerah menahan amarah. "Aku mau semuanya..." "Apa maksudmu?" "Semua hartamu sekarang juga jika kamu ingin aku menghilang dari hidup mu jadi cepatlah hubungi notaris karena lima belas menit lagi aku akan menemui ibu mu dan menerima lamarannya!" *** Laura Milanov bosan hidup dalam situasi pemain figuran yang tidak berarti dan tersingkirkan. Keluarganya, pertemanannya bahkan kisah cintanya selalu mengecewakannya. Ia muak ketika cinta pertamanya Dimas Dirgantara lebih memilih sahabatnya Wendy karena dia lebih cantik sehingga Laura sempat berpikir untuk bunuh diri. Tapi patah hati pada kehidupan yang selalu mengkhianatinya membuatnya menjadi keras dan mencari jalan lain untuk membalas setiap hal tidak adil yang pernah ia alami. Laura diam-diam bekerja di perusahaan milik orangtua Dimas dan mengambil simpatik mereka sehingga mereka menjodohkannya dengan Dimas. Bertekad mengubah hidupnya yang sebelumnya hanya figuran menjadi pemeran utama dalam spotlight meskipun harus menjadi wanita antagonis.

mrlyn · Teen
Not enough ratings
183 Chs

Lamaran atau ancaman?

"Kalian putus?"

Kalimat itu terasa lucu sekaligus menyakitkan, bahkan orang lain mengira mereka benar-benar sepasang kekasaih tapi kenapa kebencian itu tidak pernah memudar sedikitpun.

Aku membenci Dimas sebanyak Dimas membenciku bedanya yang aku rasakan tidak hanya sekedar kebencian tapi perasaan lain yang menyiksa yang selalu membuat hatiku sakit setiap kali dia berhadapan dengannya.

"Laura..." Panggil Rini karena Laura terlihat hanyut dalam pikirannya sendiri, sekarang ia merasa menyesal karena sudah menanyakan hal pribadi seperti itu padahal Laura jelas-jelas selalu memberi jarak diantara mereka. Dia selalu bersikap baik tapi tidak dekat seolah takut untuk berteman. "Maaf ya, aku gak seharusnya tanya hal itu ke kamu."

Laura kembali menunjukan senyumannya, kali ini ia menyentuh punggung tangan Rini, "Gak perlu minta maaf, kita temen kan?"