webnovel

Suasana hati yang sedang baik

Ruangan rapat yang biasanya dingin itu berubah menjadi aneh ketika Genta melebarkan senyumannya. Tidak biasanya bos mereka yang minim ekspresi itu akan menampilkan wajah yang demikian. Dulu, semenjak menjalin hubungan dengan Kania, Genta memang sering bertingkah hangat seperti itu. Namun sudah sebulan belakangan, Genta kental lagi dengan aura dinginnya. Hal yang sempat membuat karyawannya ketar ketir dengan atasannya itu.

"Kayaknya habis dapat jatah dari isterinya deh," ujar salah satu dari pegawai perempuan mulai bergosip saat mereka berada di toilet usia rapat. Bukan untuk ke kamar kecil melainkan untuk memperbaiki riasan mereka.

"emangnya beberapa bulan ini enggak dapat apapun apa?" salah satu dari mereka ikut menanggapi.

"Kali aja. sedang punya bayikan? Mana tahu semua perhatian isterinya tersita buat anaknya." Gadis yang menggunakan blazer berwarna dongker berceletuk ringan.

"Ngaco lo. Kalau kayak gitu ceritanya pas diawal melahirkan pasti si bos juga kusut wajahnya. Tapi baik-baik aja. baru juga sebulan kemarin bertingkah dengan kebiasaan lamanya." Seseorang lainnya mengajukan protes tidak setuju.

"Berantem kali ya di rumah."

Mereka semua kompak menaikkan bahunya. Sama-sama tidak menemukan jawaban dari hal tersebut kecuali dengan jawaban kata 'mungkin'.

"Tapi Pak Genta sudah tua gitu masih bisa ngimbangin isterinya enggak ya?" bisik salah satu dari mereka sambil memperbaiki lipstick.

"Bisalah. Orang masih kelihatan hot kayak gitu. Jangankan Kania, isterinya itu. Gue aja nih ya, kalau ditawarin jadi simpanannya dia enggak nolak. Enggak lihat apa urat-urat tangannya yang menonjol itu lho …"

Mereka kemudian kompak tertawa setelah sibuk berfantasi yang tidak-tidak.

"Buru balik ke kursi lagi atau kita akan kehilangan pekerjaan dan bos yang kece badai."

***

Genta selalu mengusahakan dirinya pulang secepat mungkin. Apalagi Genta tahu isterinya butuh banyak dukungan dengan desakan adaptasi yang cepat yang harus dilakukan oleh Kania. Tidak ada setitikpun yang Genta lewatkan tanpa memikirkan Kania. Entah itu rencana-rencana indah yang akan memperbaiki hubungannya dan sang isteri atau bukan.

Genta memakirkan mobilnya di dalam rumah. ia tidak mengantarkan ke bagasi yang mengindikasikan bahwa pria itu masih berencana keluar setelah ini. Langkah Genta tidak sabaran memasuki rumah. Seperti hari kemarin –dan hari-hari sebelumnya- dia langsung menyusuri rumah mencari isterinya tersebut.

Kania sedang melakukan olah raga yang ditontoni oleh puterinya di samping wanita itu membuat Genta tersenyum tipis dengan hal yang dilakukan oleh isterinya itu. Kania sangat keras kepala untuk membuat tubuhnya kembali dalam proporsi yang normal. Merasa ada yang memperhatikannya Kania menoleh dan terkejut mendapati Genta yang berdiri disana.

"Om … ka, kapan pulang?" gagapnya. Semburat merah langsung menghiasi pipinya dengan aura panas yang kental terasa pada bagian sana.

Genta tersenyum tipis yang sudah menggendong Mikaela. "Belum lama," ujar laki-laki itu. "Kenapa gitu mukanya? Malu sama saya setelah yang terjadi tadi pagi? Enggak perlu malu sayang, saya menikmatinya juga kok."

"Ih, Om!" Kania seperti biasanya merengek protes. Genta mulai melemparkan lelucon genitnya lagi.

Genta tertawa senang. Memang itu yang diharapkannya. "Beres-beres, gih!" ujar Genta pada isterinya tersebut.

Kania mengerutkan keningnya. "Kenapa memangnya?"

Genta berdecak. "gimana kalau kita keluar? Semacam pacaran gitu? Ngedate sambil melakukan kegiatan yang kamu suka."

"Ih, aku enggak mau ah!" Kania menggelengkan kepalanya.

"Kalau jalan-jalan biasa aja? kayak yang pernah kita lakuin dulu." Kania tidak mengerti dulu dalam waktu yang mana yang Genta maksud tapi dia mengerti jalan-jalan seperti apa yang akan mereka lakukan. Jalan-jalan seperti paman dan keponakan biasa. Tidak ada yang aneh. Tidak ada yang berlebihan.

Kania mengangguk-anggukkan kepalanya. "Tapi papa belum pulang."

"Untuk apa papa?" tanya Genta. Gantian laki-laki yang mengerutkan keningnya sekarang. "Dia enggak akan mau jadi obat nyamuk kita, Ka'. Kecuali kalau papa kamu itu punya pasangan juga. Semenjak kita menikah diakan malas bergabung bersama kita. Kecuali kalau sedang berhasrat jadi pengasuhnya Mika."

Kania berdecak. "Trus Mikaela?"

Genta melirik pada anaknya. "Kita bawa dong."

Kania memutar bola matanya. "Itu bukan pacaran namanya. Tapi liburan keluarga."

Genta tersenyum. "Liburan keluarga juga enggak apa-apa. Memangnya kamu berdua sama saya aja hm?"

Kania mencibir. "Idih, itu mah maunya, Om! Okeh, aku siap-siap dulu."

"Enggak perlu lari-larian juga, Ka'." Genta geleng-geleng kepala melihat kelakuan isterinya tersebut. "Mama kamu tuh, Mbul," bisik Genta pada anaknya. Kania masih menunjukkan tingkah seperti remaja pada umumnya. Hal yang sulit Genta percaya bahwa Kania menjalani lompatan waktu.

"A," jawabnya.

Genta tersenyum. "Kalian sama menggemaskannya," ujar laki-laki itu lagi. Seperti biasa, Genta gemas memakan pipi anaknya yang kelewat gembul itu. Seperti biasa pula, Mikela protes dengan tingkah ayahnya yang satu itu.

Kania selesai tiga puluh menit setelahnya, membuat Genta berdecak dengan isterinya tersebut. Kania tidak jauh berbeda dari lima tahun yang lalu. masih cantik. Masih seperti pertama kali Genta mengenalnya. Perempuan itu tidak pernah berubah.

"Om enggak mau mandi dan ganti baju?" tanya Kania merebut anaknya dari pangkuan Genta.

"Iya," ujar pria itu. "Itu bajunya udah aku siapin. Jangan pakai jas mulu!" memangnya mereka mau ke kantor? Genta harus bisa menyesuaikan situasi. Lagipula sudah banyak yang menggunakan setelah santai untuk ke kantor.

Saat Kania selesai dengan Mikaela –tidak lupa menyiapkan susu, popok, gaju ganti dan celana serta segala tetek bengek keperluan Mikaela lainnya ke dalam tas- Genta selesai juga. "Yuk!" ujar laki-laki itu membawa Mikaela.

"Masih kuat om?" tanya Kania.

Genta menganga mendengar perkataan isterinya tersebut. "Sayang, menggendong kamu saja saya masih kuat. Apa perlu saya mengingatkannya sekali lagi hm?" tanya Genta.

Kania menggelengkan kepalanya. "Tanya doang."

"Saya tidak serenta itu, Ka'. Masih empat puluh tahun. Dibandingkan dengan oppa-oppa korea idola kamu itu, saya masih seumuran dengan mereka."

"Iya … tiga tahun lagi tepat setengah abad" Kania mengiyakan saja. Dia hanya bertanya asal, Genta malah bereaksi berlebihan.

"Kamu meragukan saya," ucap pria itu cemberut.

Kania memutar bola matanya. "Kenapa sih setiap ada rencana jalan-jalan kita bertengkar dulu? Om mau batalin lagi apa gimana sih?"

"Habisnya kamu yang mulai."

"Iya aku minta maaf, aku salah!" ujar Kania. Genta masih memajukan bibirnya meski ia berdehem menerima permintaan maaf Mikaela. Kania memutar bola matanya. Menarik nafasnya. "Mas, Kania minta maaf ya, tadi itu cuma bercanda."

Genta tersenyum lagi mendengar Kania memanggilnya dengan sebutan Mas serta suara yang lembut. "Udah sini, Mikaela. Maksudkukan om nyetir!" buru-buru Kania memberikan penjelasan sebelum Genta manyun lagi.

Setelah berpamitan pada bibi, mereka meninggalkan kediaman tersebut. Mikaela tampak senang sekali pergi sampai menghentakkan kakinya. "Hu, dasar kamu. padahal aku anak rumahan," ujar Kania pada anaknya.

"Kan kalau sekali keluar rumah kamu tidak ubahnya dengan Mika, sayang!" komentar Genta.

Kania mengerutkan keningnya. "Masa sih?" tanyanya. Genta menganggukkan kepalanya. "Om, nanti kalau enggak sibuk kita keluar negeri yuk!"

"Kemana?" tanya Genta.