Yusuf mendudukkan bokongnya di sofa samping kakaknya. Ia masih menekuk wajahnya dan terlihat dingin pada kedua orang tuanya. Yusuf memang sosok pria tampan yang jutek dan dingin. Bukan hanya pada orang yang tak ia sukai saja, pada kedua orang tua dan kakaknya pun ia jarang tersenyum dan selalu dingin. Tetapi, walaupun dingin dan jarang senyum, sebenarnya ia begitu perhatian dan penyayang pada orang-orang yang ia cintai.
"Ada apa Umi dan Abi memanggil Yusuf?" tanya Yusuf dengan tatapan dinginnya.
"Abi ingin bicara penting pada kalian berdua, putra putri Abi," jawab Buya Salahuddin disertai senyumannya.
Yusuf menarik napasnya dalam lalu membuangnya perlahan. Ia tak bertanya lagi, membiarkan detik berlalu dalam keheningan.
"Jadi begini, sehubungan dengan kesehatan Abi yang semakin terganggu. Dan juga usia Abi yang semakin menua. Abi ingin segera mewariskan pondok pesantren ini pada salah satu di antara kalian." Buya Salahuddin bicara dengan tatapan yang serius.
Yusuf dan Kak Nurul tampak terlihat serius memasang indera pendengarannya. Sementara Umi Maslihah hanya diam dan menunggu sang suami melanjutkan ucapannya.
"Setelah Abi dan Umi musyawarahkan, kami sudah mendapat keputusan. Bahwa yang berhak mendapat warisan pondok pesantren ini adalah...." Buya Salahuddin menatap bergantian pada putri sulung dan putra bungsunya.
"Ya Allah! Jangan aku! Aku belum siap dan belum mampu!" ucap Yusuf dalam hati.
"Aku yakin Abi dan Umi akan mewariskan pondok pesantren ini pada Yusuf. Itu tidak apa-apa, aku sungguh tidak iri jika Yusuf yang mendapatkannya. Lagipula, aku sudah membangun pondok pesantren di kediamanku dengan suamiku." Kak Nurul pun ikut bermonolog dalam hatinya.
"Kami bersepakat untuk mewariskan pondok pesantren ini padamu, Yusuf!" ungkap Buya Salahuddin tanpa ragu.
Deg!
Seketika jantung Yusuf seperti tertembak oleh ribuan pistol mainan. Rasanya tidak sakit, tapi begitu terasa linu. Bagaimana tidak, ia begitu kaget dengan keputusan sang Abi yang begitu mendadak.
"Apa? Aku? Kenapa harus aku?" protes Yusuf dalam hati. Netra hitamnya menatap syok pada kedua orang tuanya.
Lisannya sungguh tak mampu berucap apa pun saat ini. Ia terlampau kaget dan syok dengan keputusan Abinya. Sementara Kak Nurul tampak tersenyum sumringah dan merasa lega.
"Selamat, Dek. Kak Nurul senang mendengarnya," ucap Kak Nurul sambil menepuk pundak adik satu-satunya itu.
Yusuf menatap bengong pada kakaknya. Seketika ia menggeleng tanda tak terima.
"Untuk Nurul, Abi sama Umi minta maaf karena tidak mewariskan pondok pesantren ini padamu. Tapi, kami punya warisan lain yang sudah kami siapkan untuk putri sulung kami," ucap Buya Salahuddin dengan nada bicara yang lembut.
Kak Nurul mengangguk lantas tersenyum, "Tidak apa-apa, Abi. Lagipula, Nurul sama Mas Lukman sedang membangun pondok pesantren di kediaman kami. Nurul ikhlas dan tidak marah akan hal ini," balasnya penuh kebijakan.
"Kamu memang anak yang selalu terima dengan keputusan kami, Nak." Umi Maslihah berkata sambil tersenyum.
Kak Nurul tersenyum tipis sambil mengangguk.
"Selain kalian sedang membangun pondok pesantren, kamu juga seorang wanita. Jadi, memang sepantasnya Yusuf yang mendapat warisan pondok pesantren ini," timpal Buya Salahuddin.
"Tidak, Abi! Yusuf tidak mau!" tolak Yusuf tanpa ragu.
Buya Salahuddin dan Umi Maslihah tampak tersentak kaget dan menatap heran pada putra bungsunya itu. Mereka sungguh tak mengerti mengapa Yusuf selalu saja menentang perintah dan keputusan mereka berdua.
"Apa maksudmu, Yusuf? Kau tidak bisa menolak. Ini sudah menjadi keputusan Abi dan Umi. Tolonglah hargai kedua orang tua kita, Cup! Astaghfirullah," cicit Kak Nurul yang kini terlihat kesal pada adiknya.
Yusuf tampak mengeraskan rahangnya dan menyatukan gigi bawah dan gigi atasnya. Napasnya kini tampak naik turun tak beraturan.
"Entah sampai kapan kau akan menjadi anak pembangkang, Nak? Umi sungguh kecewa melihat sikapmu," ucap Umi Maslihah dengan suara yang bergetar.
"Yusuf! Tolonglah jangan selalu membangkang keputusan Abi sama Umi. Lihat, Umi kecewa padamu. Kau mau jadi anak durhaka?" omel Kak Nurul yang tampak menekan setiap ucapannya. Ia sangat geram karena sang adik selalu saja membangkang.
"Tidak! Bukan seperti itu," sanggah Yusuf sambil mengusap wajahnya kasar. Netra hitamnya itu kini menatap sang Umi yang terlihat sedih.
"Astaghfirullahaladzim," desis Buya Salahuddin sembari menggelengkan kepalanya tak menyangka.
"Umi, Abi, dengarkan penjelasan Yusuf terlebih dahulu," pinta pemuda tampan itu yang kini tampak memohon.
"Silakan. Silakan jelaskan apa alasanmu tidak mau menerima warisan yang Abi dan Umi berikan padamu!" ucap Kak Nurul yang tampak sedikit menaikkan suaranya.
Yusuf menarik napasnya dalam lalu membuangnya perlahan, "Yusuf belum siap. Yusuf belum pantas mendapatkannya," ungkapnya dengan tatapan hampa dan berat.
"Kapan kau akan siap, Nak? Saat Abi dan Umimu meregang nyawa?" desak Umi Maslihah yang berhasil membuat Yusuf terperanjat kaget.
"Tidak, Umi! Bukan seperti itu," sangkal Yusuf dengan cepat.
"Pokoknya Abi tak mau tahu, Cup. Pondok pesantren ini sudah Abi serahkan padamu. Besok, Abi akan memanggil segenap pengurus dan seluruh keluarga yang bersangkutan untuk menjadi saksi. Mulai besok, pondok pesantren ini telah berganti nama menjadi milikmu," ucap Buya Salahuddin tanpa bantahan.
"Tapi Abi—" Yusuf menggantung ucapannya saat tiba-tiba Uminya menyela.
"Tidak ada penolakan lagi, Nak. Kami hanya ingin melihatmu bergerak maju. Usia kami semakin menua, kita sungguh tidak tahu kapan Allah akan memanggil satu di antara kami." Umi Maslihah berkata pelan namun mampu menusuk ke dalam jantung Yusuf dan Kak Nurul.
"Umi jangan bicara seperti itu. Allah pasti akan panjangkan umur Umi dan Abi," ucap Kak Nurul dengan suara yang bergetar.
"Untuk apa memiliki umur yang panjang kalau ternyata salah satu anak kami sendiri tak pernah bakti dan nurut pada kami," ucap Buya Salahuddin penuh sindiran.
Deg!
Seketika jantung Yusuf kembali terasa berdenyut dan seperti ada beban yang menghimpit di dadanya. Ia tahu, sang Abi sangat kecewa dan ucapannya itu menyindir dirinya.
"Baiklah! Yusuf bersedia menerima warisan dari Abi dan Umi," ucap Yusuf tanpa ragu.
Buya Salahuddin dan Umi Maslihah tampak tercengang dan sedikit tak menyangka. Tetapi keduanya sangat bahagia karena putranya mau menerima warisan dari mereka.
"Alhamdulillah. Dan satu lagi, Nak. Umi telah siapkan seorang wanita yang akan menjadi istrimu. Dia seorang santri yang mondok di pesantren Bibimu. Namanya Zulaikha," ucap Umi Maslihah yang berhasil membuat Yusuf kembali tersentak kaget.
"Apa? Ke–kenapa Umi lakukan ini? Bukannya Yusuf sudah bilang kalau Yusuf tidak ingin menikah?" protes Yusuf dengan tatapan syoknya.
"Tolong jangan membantah lagi, Cup. Kami ingin melihatmu menikah dengan wanita yang layak. Jadi, dua hari lagi kita akan menemuinya di kediaman Bibimu," ujar Umi Maslihah penuh penegasan.
Yusuf tampak menarik napasnya dalam lalu membuangnya kasar. Ia benar-benar kesal dan marah. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia pun beranjak dari duduknya lalu melangkah pergi meninggalkan kedua orang tua dan kakaknya.
BERSAMBUNG...