webnovel

Menggapai Arasy-Mu

Masa kecil yang penuh dengan canda tawa suka dan duka. Bermain dengan teman-teman sebayanya dan belajar bersama adalah aktivitasnya sebagai santri Madrasah Ibtidaiyah. Hingga suatu saat Abahnya memutuskan untuk mengijinkan saudaranya tinggal di rumahnya dan menetap di sana. Namun problem mulai terjadi, saat Ia mengenal dan akrab dengan salah satu putra saudara Abahnya yang terpaut 3 tahun lebih tua darinya. Hampir tiap hari mereka selalu bermain bersama, bercanda berlari-lari seperti sepasang Sayyidah Fathimah dan Sayyidina Ali. Pada suatu masa, mereka terlibat dengan perasaan yang tak seharusnya mereka rasakan. Perasaan yang belum boleh tumbuh dalam hati mereka masing-masing. Karena derajat keluarga mereka yang tak sepadan. Cinta yang rumit karena status keluarga, Ia harus terpisah karena keduanya mondok di tempat yang berbeda.

DaoistKqn9yU · Teen
Not enough ratings
4 Chs

Saat Perpisahan Menyapa

Tiga tahun berlalu, aku naik ke Madrasah Tsanawiyah. Sedangkan Lek Ali ke Madrasah Aliyah.

Seperti biasa, Aku dan Lek Ali berlari-lari di hamparan sawah di belakang Pesantren. Kami beristirahat di gubuk yang selalu menjadi tempat kami untuk bertukar cerita.

Namun hari ini jiwa ini tak berdaya dan terasa mengemban beban yang sangat berat. Kala Lek Ali berbicara padaku, Ia akan pergi nyantri di Pesantren yang baru.

"Kayla, sebentar lagi aku akan mondok di Pesantren yang baru"

"Lek Ali ndak bercanda to?" ucapku dengan mata yang berkaca-kaca.

"Ndak Kayla, aku serius" ucapnya menatapku dengan wajah yang agak melas.

"Apa ndak bisa mondok disini saja Lek?"

"Kayla, ilmu itu luas dan tak terbatas. Kamu yo harus tau dunia luar biar banyak pengalaman"

"Kalau Lek Ali mondok, Kayla sama sama siapa?"

"Kan ada Mas Syarif, Mbak Azizah ada pakdhe, budhe, umi, abah"

"Tapi ndak bisa seperti Lek Ali" ucapku menggenggam tangan Lek Ali.

"jangan tinggalkan Kayla Lek," ucapku yang artinya aku ingin selalu bersama Lek Ali. Bahkan mungkin aku telah terlibat dalam peran cinta monyet antar saudara sendiri.

Lek Ali masih memandangku dengan haru. Aku pun memeluknya dan Lek Ali pun menyambutnya. Tak ada yang dapat memeluknya kecuali aku perempuan kedua setelah ibunya.

"Kayla, belajar sing rajin nggih. Lek Ali sayang Kayla,"

"Kayla sayang Lek Ali,"

Suasana mengharu biru. Langit pun mendung dan awan pun ikut menangis mengeluarkan ribuan air matanya. Seperti mengerti perasaan kami saat ini. Rasanya aku tak rela Lek Ali jauh dariku.

Tapi aku tak bisa melarangnya. Karena niatnya baik untuk tholabul ilmi. Tak terasa air mataku menetes dengan keadaan ini. Aku harus kehilangan teman sepermainanku dan juga kakak yang baik untukku yang kadang Ia berubah menjadi lebih dari kakak kala di depanku.

Tiba-tiba tangannya mengenggamku saat ku ingin turun dari gubuk itu. Pandangannya masih terarah padaku dan tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca.

Mungkinkah Ia sebenarnya tak ingin pergi dariku. Tapi kenapa Lek Ali melakukannya? Atau mungkin Ia di perintahkan Pakdhe Iskhak untuk mondok di tempat lain.

Kami pun menuju rumah ndalem. Nampak semua melihat kami saling bergandengan. Sepertinya Abah mengerti aku takkan rela berpisah dengan Lek Ali. Beliau pun menghampiriku.

"Nduk, kepergian lekmu itu untuk tholabul ilmi"

"Tapi Bah"

"Sampean nggih badhe Abah pondokkan ke pondoke temennya Abah"

"Ha? Mboten sami kalih Lek Ali?"

"Mboten"

"Kayla mboten purun abah" teriakku dan pergi masuk ke dalam menangis meratapi nasib dan takdirku harus berpisah dengan orang yang sangat dekat denganku.

Bagai bunga dan kumbang

Kisah lembaran ini takkan habis

Meskipun jarak akan menerpa

Suara rasa akan tetap di dalam jiwa

Ya aku rasa Lek Ali tidak hanya sekedar seorang Lek atau kakak bagiku. Ia lebih dari itu. Seseorang yang berbeda dari ikhwan yang lain di luar sana. Kesabarannya menghadapi kebawelanku dan gaya yang sederhana dapat memberikan rasa nyaman terhadapku.

Perangainya yang indah dalam pandangan. Pancaran Imannya yang terlukis dalam akhlaq santunnya membuat kedamaian dalam hati.

Aku masih memandangi mahkota bunga padi yang di berikannya padaku. Dia seperti padi, tak ada rasa sombong ketika Ia mempunyai Ilmu dan tetap menampakkan ketawadhu'annya dalam segala kelebihannya.

Entah apa jadinya jika nanti aku melangkah tanpanya di sampingku. Dia adalah teman yang baik, sangat baik dan lucu.

"Kayla" sapa Umi yang menghampiriku ke dalam kamar.

"Nggih Mi"

"Seng sabar yo Nduk, Umi yo ngerti sampean caket karo Lek Ali"

"Kengeng nopo Mi, abah mboten mengijinkan Kayla mondok di pondok yang sama seperti Lek Ali?"

"Ilmu itu tak terbatas Nduk, setiap Pesantren mempunyai ilmu dan barokah yang berbeda-beda, Abah ingin kalian iku biso menyerap Ilmu yang ada di Pesantren baru kalian, untuk memajukan Pesantren Abahmu"

Aku hanya bingung saja, untuk apa? Sedangkan Al-Fatah pun sudah mempunyai metode sendiri untuk mengajar para santrinya. Aku hanya bisa mengikuti kemauan Abah dan Umi.

Satu minggu berlalu, Aku dan Lek Ali harus meninggalkan Pondok Pesantren Al-Fatah menuju Pesantren yang baru. Lek Ali menuju Pesantren yang ada di kota Jombang. Sedangkan aku harus mondok di Pesantren yang ada di kota Gresik.

Ya, jarak kami jauh sekarang. Mungkin, aku akan menghabiskan sekolah Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyahku di Pesantren.

Kami berangkat dengan Mobil Pesantren di temani Abah dan Pakdhe Ishak. Aku dan Lek Ali duduk di bangku tengah dengan perasaan yang sedih.

Hari ini aku harus berpisah dengan orang yang kusayangi. Seorang saudara yang selalu ada di di setiap hariku, kini takkan ku lihat lagi di dalam setiap ujung mataku memandang.

Tetasan air mataku semakin lama semakin ingin jatuh saja di atas kerudungku. Ku lihat mata Lek Ali pun berkaca-kaca, tetapi Ia bisa menahan tangisnya. Sedangkan aku tak dapat membendung air mataku sendiri.

Lek Ali memberikan sapu tangannnya untukku. Mengusap air mataku dengan lembut dan hati-hati. Aku hanya dapat memandanginya.

"Dek, sampun ampun nangis malih" kata Lek Ali padaku

"Tapi Lek"

"Janji nggih, Teng Pesantren ampun nakal, semangat ngaji, raih prestasi lan rendah hati nggih" ucapnya mengelus kepalaku.

"Lek Ali, ampun lupakan Kayla" ucapku padanya.

Tapi Lek Ali hanya tertawa. "Lek kok ketawa to?" imbuhku memanyunkan bibirku dan itu semakin membuatnya tertawa. Abah dan Pak dhe hanya tersenyum melihat tingkahku di belakang bersama Lek Ali.

"La sampean aneh-aneh saja Dek, ndak mungkin to Lek Ali melupakan sampean. Adek paling cerewet sedunia"

"Lek...!!" teriakku, nyebelin banget sih jadi orang, saat-saat sedih seperti ini Lek Ali masih bisa tertawa dan ku lihat tertawanya semakin menjadi-jadi. Aku hanya bisa diam dan memandanginya.

"Oh ya, Lek Ali gadah hutang nggih kalih Kayla?" ucapnya, membuatku bingung. Hutang apa yang di maksud? Aku rasa Lek Ali tak berhutang apa-apa kepadaku.

"Lak bingung" ucapnya lagi membuat aku menyusuri otakku untuk mencari tahu apa hutangnya padaku.

"Lirr-Ilir" senandungnya.

Hmm, baru aku mengerti hutang apa yang di maksud. Ternyata hutang memaknai lagu Lir-Ilir kepunyaan Mbah Sunan Kalijaga.

Ia pun meneruskan memaknai lagu tersebut dan aku hanya mendengarkannya.

Dodotiro...dodotiro...

Pakaianmu...Pakaianmu...

Dodot adalah kain panjang yg digunakan utk menutupi bagian bawah tubuh, bagian bawah tubuh bawah kita baik laki-laki atau wanita adalah AURAT atau HARGA DIRI kita sebagai manusia. 

Bila aurat dibiarkan terbuka tanpa penutup dan dipamerkan kepada setiap manusia tak ada lagi yang menjadi pembeda antara manusia dengan hewan.

Pakaian dalam arti harfiah adalah sesuatu yang kita gunakan selain untuk melindungi diri dari alam, pakaian juga berfungsi membedakan orang waras dengan orang gila, ketika orang tidak berpakaian dan berjalan ditengah oran ramai dengan mudah orang yang melihat akan mengatakan bahwa orang tersebut tidak memiliki hargadiri atau tidak tau malu atau orang gila, pakaian juga membedakan status dan kedudukan sosial pemakainya di kalangan masyarakat.