webnovel

MEMBERIKAN PERHATIAN

Kemungkinan Liza tidak akan makan siang karena masih terasa kekenyangan dan Bagas makan siang dengan peserta pelatihan. Jadi hari ini Liza tidak memesan makan siang.

Gerah dan masih merasa mengantuk, Liza masuk kekamar mandi setelah melepas rok jins mini dan kaos ketat yang dikenakannya serta dalaman bawah.

Selesai mandi enaknya tidur, gumam Liza sambil menggosok seluruh tubuhnya dibawah siraman shower, setelah itu baru menyabuninya dan membilas.

Seperti biasa setelah selesai mandi, mulai memakai handbody  pada bagian-bagian tertentu tubuhnya dan menyemprotkan parfum.

Kemudian hanya mengenakan dalaman atas tanpa dalaman bawah, lalu memakai  kaos dan rok mini ketat dari bahan kain dan karet hingga memperlihatkan pinggulnya yang menonjol dan membayangkan tangan Bagas menyentuh bagian tubuh intimnya dibalik rok mini.

Rasa mengantuk mulai memaksa kedua matanya untuk terpejam dan tertidur.

Liza merebahkan tubuhnya sambil menarik bedcover hingga sampai pinggang.

Ah, Bagas...

Seandainya saat ini ada disini, gumamya sambil merapatkan kedua pahanya.

Perlahan Liza merasakan tubuhnya mulai merespon springbed yang terasa lembut, membuat kedua matanya semakin tertutup rapat.

* * *

Keluar dari ruang kuliah, Lusi dan Rara seperti biasa duduk di kantin dan mengisi perut sebelum mereka pulang.

"Ra, tiga hari lagi kita berangkat ke Bandung," Lusi memberitahu Rara sambil mengunyah kue kesukaannya tanpa melihat reaksi pada wajah Rara.

Lusi tak ingin Rara merasa minder saat melihatnya terlalu merasa senang.

Biarlah Rara merasa senang tanpa harus dilihat Lusi. Rara bukan anak kecil, ketika senang tidak merasa malu jika diperhatikan.

Dan dia sangat senang jika Rara ikut senang juga.

"Berarti hari Senin pagi ya?" Tanya Rara.

"Betul Ra, kita ketemu di bandara ya," sahut Lusi.

"Oke, makasih ya Sister udah ngajak aku liburan," ucap Rara.

"Sama-sama, Ra," ujar Lusi sambil terseyum.

Perhatian mereka kembali tertuju untuk menikmati jajanan kue dan minuman yang hampir habis.

Meskipun jajanan dan minuman mereka sudah habis, Lusi dan Rara tidak langsung meninggalkan kantin.

Terlihat perhatian keduanya masih tertuju pada ponsel masing-masing berselancar diakun medsos.

* * *

Jam dua belas tepat, Bagas dan peserta lain sedang makan siang. Namun tiba-tiba ingatannya tertuju pada Liza. Kasian banget Liza makan siang sendirian, gumamnya sambil menikmati makan siang.

Atau...

Ah nggak mungkin, gumamnya lagi.

Sambil makan, Bagas kirim WA ke Liza sekedar menanyakan sudah makan siang belum?

Kemudian melanjutkan makan siangnya. Dan rencana untuk mengunjungi Liza di kamar setelah selesai makan akan dilakukannya. Rasanya terasa tersiksa jika tak melihat wajah cantik Liza.

Wanita yang sangat dicintainya saat pertama berkenalan dan mulai menjalin pertemanan meskipun saat itu hanya dapat melakukannya lewat surat.

Dirinya memang sangat ingin jalinan pertemanan dengan Liza dapat bertahan selamanya, meskipun hanya melalui surat menyurat. Dan yakin suatu saat mereka akan bertemu langsung.

Namun yang dia harapkan tidak semuda membalikkan telapak tangan. Liza tidak pernah lagi membalas surat keduanya, awal terjadinya semua yang direncanakan Bagas lenyap seketika menjadi kepedihan yang terus menerus nenggorogoti hati dan pikirannya.

Bagas kembali memeriksa WA yang dikirimnya tadi. Hmm masih garis satu, gumamnya dalam hati.

Liza kemana? Apa benar-benar tertidur seperti dugaannya? Ah, nggak mungkin.

Apa sebaiknya pergi untuk mengecek keadaan Liza?

Ah, bukan anak kecil. Apalagi saat mengantar cemilan tiga jam lalu, kekasihnya itu terlihat baik-baik saja.

Ingatan Bagas kembali pada lima belas tahun lalu, dimana rasa sakit hati terus terbawa-bawa kemana pun ia pergi.

Kekecewaannya atas sikap liza seperti tak akan lekang meskipun waktu terus berganti dan tempat atau kota yang disinggahinya dari satu kota ke kota lain terus berpindah. Namun rasa kecewa yang dia rasakan tak pernah hilang.

Tak ada wanita lain yang mampu menggantikannya.

Hingga banyak teman-temannya menilai dirinya terlalu berselera tinggi jika berurusan dengan yang namanya kaum Hawa.

Padahal begitu banyak wanita yang sudah cukup lama berteman dan menginginkan jalinan hubungan yang dekat lagi, Bagas secara perlahan akan mundur.

Dan tidak akan pernah mengucapkan satu kata pun yang dapat menjadi satu harapan, karena memang dia tidak ingin menjalin hubungan dengan wanita manapun. Sebab dihatinya meskipun sudah merasa kecewa, hanya ada Liza seorang.

Dan ketika membaca sebaris  nama pada surat yang diterima untuk menginformasikan bahwa naskahnya dapat diterima, Bagas terkejut saat itu. Namun hati kecilnya juga berusaha untuk mengingatkannya dan jangan cepat membenarkan bahwa nama yang tetulis dalam surat belum tentu nama seseorang yang sudah lama bersemayam dihatinya.

Namun jauh didalam hatinya terkadang merasakan tergelitik, hingga ingin menanyakan pada editornya itu apa benar adalah pemilik nama yang sama dengan gadis remaja dari masa lalunya.

Bagas tidak memiliki keberanian, bahkan yang terjadi justru sebaliknya. Menertawakan diri sendiri karena mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin. Jika ada nama yang sama bukanlah hal yang aneh.

Ingatan Bagas kembali pada WA yang dikirimnya tadi ke Liza. Udah dibaca belum, ya? Tanya Bagas dalam hati.

Ah, Bagas tidak percaya. Kemudian bergegas dari duduknya menuju kamar Liza.

* * *

Ketika sudah tiba didepan pintu kamar Liza, Bagas tidak sabar untuk menahan diri. Secepatnya menekan bel dan dilakukannya berulang-ulang. Pintu tak terbuka. Ah, kamu dimana sih sayang? Bagas mulai gelisah dan merasa khawatir jika Liza tiba-tiba menghilang.

Ditekannya lagi...

Cekleek, pintu tiba-tiba terbuka. Wajah Liza terlihat seperti muka bantal.

Bagas menariknya kedalam sambil menutup pintu.

"Kamu ketiduran?" Tanya Bagas tak percaya.

"Iya sayang," sahut Liza masih terasa pusing karena bangun dengan tiba-tiba. Kemudian memeluk Bagas.

"Duduk disini sayang," ajak Liza mengajak duduk dipinggir tempat tidur.

"Belum makan siang?" Tanya Bagas.

"Masih kenyang, ah," bantah Liza.

"Makan apaan sih? Sampai kekenyangan?" Tanya Bagas tak percaya.

"Sarapan pagi nasi goreng dan cemilan satu piring," jelas Liza sambil merebahkan kepala dipangkuan Bagas.

"Nggak... nggak..., tunggu sebentar," ucap Bagas sambil mengangkat kepala dari pangkuannya.

Liza tersenyum setelah Bagas menghilang dibalik pintu, baginya tak sulit menebak apa yang akan dilakukan Bagas.

Kemudian berdiri menuju wastafel untuk mencuci muka dan mengeringkan dengan handuk kecil.

Duduk didepan cermin dan merias sedikit wajahnya serta menyisir rambut.

Bunyi bell...

Bagas pasti sudah kembali. Liza bergegas menuju pintu dan membukanya.

Terlihat Bagas sambil tersenyum sedang memegang satu piring nasi dan beberapa jenis lauk.

"Sayang, kamu mau kalau aku gendut?" Tanya Liza melihat isi piring.

"Ini nggak banyak, kok," sahut Bagas menunjukkan wajah kecewa.

Liza dapat melihatnya.

"Oke, jangan cemberut ya? Aku makan setengah terus kamu yang setengah," ucap Liza tak ingin Bagas kecewa.

"Nah, gitu dong sayang. Kalau kamu sakit gimana?"

"Iya..., ayo kita makan sama-sama," ucap Liza.

Keduanya duduk berhadapan. Lalu Bagas mulai menyuapi Liza.

Ah, kamu baik banget saya, gumam Liza dalam hati sambil mengunyah makanannya.

"Kamu ikut makan juga, sayang."

"Iya, nanti. Kamu duluan," ujar Bagas sambil menyodorkan makanan kemulut Liza.

* * *