webnovel

MENGEJAR CINTA MAS-MAS

Gladys Mariana Pradito "Sudah deh mi... aku tuh bosen dengar itu lagi itu lagi yang mami omongin." "'Makanya biar mami nggak bahas masalah itu melulu, kamu buruan cari jodoh." "Santai ajalah. Aku kan baru 24 tahun. Masih panjang waktuku." "Mami kasih waktu sebulan, kalau kamu nggak bisa bawa calon, mami akan jodohkan kamu dengan anak om Alex." "Si Calvin? Dih ogah, mendingan jadian sama tukang sayur daripada sama playboy model dia." **** Banyu Bumi Nusantara "Bu, Banyu berangkat dulu ya. Takut kesiangan." "Iya. Hati-hati lé. Jangan sampai lengah saat menyeberang jalan. Pilih yang bagus, biar pelangganmu nggak kecewa." "Insya Allah bu. Doain hari ini laku dan penuh keberkahan ya bu." "Insya Allah ibu akan selalu mendoakanmu lé. Jangan lupa shodaqohnya ya. Biar lebih berkah lagi." "Siap, ibuku sayang." **** Tak ada yang tahu bahwa kadang ucapan adalah doa. Demikian pula yang terjadi pada Gladys, gadis cantik berusia 24 tahun. Anak perempuan satu-satunya dari pengusaha batik terkenal. Karena menolak perjodohan yang akan maminya lakukan, dengan perasaan kesal dan asal bicara, ia mengucapkan kalimat yang ternyata dikabulkan oleh Nya.

Moci_phoenix · Urban
Not enough ratings
108 Chs

MCMM 33

"Are you okay? Bismillah saja Dys, serahkan semua ke Allah. Kalau memang dia jodoh yang Allah kasih buat lo, pasti Allah akan berikan jalan. Sekarang hapus air mata lo sebelum semuanya melihat." Wina memeluk erat sahabatnya.

⭐⭐⭐⭐

Happy Reading❤🥰

Banyu melihat Gladys menghapus air matanya saat berada dalam pelukan Wina. Keningnya berkerut. Kenapa princess menangis? Tanyanya dalam hati. Ia langsung menghampiri Gladys. Ditariknya gadis itu ke dalam pelukannya. Gladys menurut. Ia sembunyikan wajahnya di dada Banyu.

"Kita keluar sebentar yuk," ajak Banyu. "Sorry Gib, adik lo gue ajak keluar sebentar. Kayaknya dia agak pusing deh. Gue yakin dia pasti skip makan siang." Banyu langsung memberikan alasan saat semua mata memandangnya bingung. Gibran hanya mengangguk.

"Kamu kenapa princess?" tanya Banyu saat mereka tiba di luar. "Mau duduk sambil mencelupkan kaki? Sekalian kita nostalgia." Gladys menggeleng. Ia menunjuk kursi yang ada.

"Maaf kalau aku lancang menyebut kamu calon suamiku." Bisik Gladys pelan sambil mendudukkan dirinya di kursi.

"Nggak papa." Banyu ikut duduk di samping Gladys. "Aku tahu kamu dalam keadaan terdesak."

"Mas Banyu nggak marah kan?" Banyu menggeleng.

"Sudah terlanjur diucapkan juga kan?"

"Mas, kamu mau menolongku nggak?"

"Apa?"

"Bagaimana kalau kamu pura-pura jadi calon suamiku kalau seandainya nanti mami dan eyang tanya." usul Gladys.

"Kamu mau aku berbohong kepada mereka? Aku lebih memilih untuk tidak membohongi mereka."

"Apa itu artinya kamu nggak mau menolongku?" Banyu terdiam. "Please mas. Bagaimana kalau kita jalani saja dulu, as a couple. Kalau memang nanti ternyata tidak berhasil, kita bisa berjalan masing-masing."

"Princess, itu sangat berisiko. Bagaimana kalau nanti kamu semakin jatuh cinta kepadaku sementara aku tidak bisa membalas perasaanmu? Bagaimana kalau nanti tiba saatnya eyang Tari menyuruhmu segera menikah padahal di antara kita belum ada cinta. Itu sangat nggak fair buat kamu, Princess."

"Apa kamu benar-benar nggak bisa menerima diriku, mas?"

"Aku tidak bisa memberikan kepastian apapun, Princess."

"Tapi maukah kamu mencobanya mas?" tanya Gladys penuh harap dengan wajah polosnya yang mengingatkan Banyu pada Nabila bila sangat menginginkan sesuatu. Akhirnya Banyu mengangguk.

"Tapi sekali lagi kukatakan jangan terlalu berharap dan seandainya hubungan ini tak berhasil kuharap hubungan kita tetap baik layaknya seorang sahabat atau mungkin kakak adik." ucap Banyu.

"Makasih mas," Gladys langsung memeluk lengan Banyu yang duduk disebelahnya. Kepalanya disandarkan ke bahu Banyu. "Aku juga nggak tahu apakah hubungan ini akan berhasil."

Banyu menoleh ke arah gadis yang duduk di sampingnya. Diraihnya tangan Gladys yang terasa dingin. "Kita jalani saja dulu. Bilang padaku bila kamu ingin mengakhirinya."

"Tolong jangan ucapkan kata-kata mengakhiri sebelum kita memulainya mas. Terima kasih. Setidaknya aku kini bisa memperkenalkanmu kepada eyang dan mami sebagai calon suamiku."

Maafkan aku, bila seandainya aku tak bisa mencintaimu princess, bisik hati Banyu.

"Woy, disini kalian rupanya. Ayo buruan masuk! Sudah mau acara lempar bunga nih." panggil Gibran yang menyusul.

"Tangkap bunga itu untukku ya mas." bisik Gladys saat mereka menuju ballroom.

"Buat apa? Beneran mau cepat menyusul bang Ghif? Beneran sudah siap menjadi seorang istri?" ledek Banyu. "Bukannya masih belum mau terikat ya."

"Nggak usah meledek deh. Katanya mau gencatan senjata, ini kok malah mancing-mancing." omel Gladys sambil mencubit pelan pinggang Banyu.

Banyu tergelak dan langsung menangkap tangan Gladys. Diangkat dan diperhatikannya tangan itu. Dipegangnya jari Gladys yang terbungkus plester.

"Ini masih sakit?" tanya Banyu sambil mengelus jari itu. An**r, kenapa gue deg-degan sih, protes hati Gladys.

"Hmm.. nggak terlalu. Lukanya nggak terlalu dalam kok."

"Beneran?" Gladys mengangguk meyakinkan.

"Next time hati-hati kalau masak. Aku nggak mau dimarahi keluarga besar Hadinoto karena princess kesayangan mereka terluka." ucap Banyu.

"Tapi aku mau belajar masak mas. Kamu dengar kan apa yang waktu itu ibu bilang. Seorang wanita harus bisa masak untuk suami dan anak-anaknya. Eyang juga pernah bilang hal yang sama."

"Kalau kamu menikah dengan orang kaya, kamu nggak perlu mengerjakan itu semua sendiri. Kamu tinggal perintah dan mengawasi," ucap Banyu.

"Hmm.. kalau kayak gitu nggak ada tantangan mas."

Tak lama acara lempar bunga akan dimulai. Semua wanita dan pria yang masih lajang bersiap-siap menangkap bunga yang akan dilempar oleh pengantin. Setelah semua siap dan MC menghitung, pengantinpun melemparkan buket bunganya. Entah apakah memang disengaja atau memang itu rencana tuhan, bunga itu mengarah ke Banyu yang berdiri di belakang Gladys. Dengan postur tubuhnya yang lumayan tinggi, dengan mudah Banyu menangkap bunga itu. Tentu saja Gladys girang bukan main. Baru saja Banyu hendak memberikan bunga itu kepada Gladys, tiba-tiba ada yang merebut bunga tersebut dari tangan Banyu. Tentu saja semuanya terkejut, terutama Gladys dan Banyu.

"Tante, kok bunganya diambil?" tanya Gladys bingung.

"Mas Banyu kan menangkap bunga ini untuk aku," jawab Astuti dengan pedenya. Lalu dengan cueknya ia melangkah pergi meninggalkan orang terbengong-bengong melihat tingkahnya.

"Mas, gimana ini?" tanya Gladys.

"Apa segitu pentingnya bunga itu untuk kamu?" Banyu balik bertanya. "Apa kamu percaya kalau menangkap bunga itu maka kamu akan menikah selanjutnya? Tanpa menangkap bunga itu kamu tetap akan menikah dalam waktu dekat, kan?"

"Ya tapi..."

"Apa kamu mau aku mempermalukan diriku sendiri dengan mengambil kembali bunga yang direbut mbak As?" tanya Banyu sambil menaikan sebelah alisnya.

"Eengh.. nggak usah mas. Biar aja si tante itu yang ambil bunganya, yang penting bukan kamu kan yang akan menikah dengannya." Banyu hanya menggedikan bahunya tanpa memberikan jawaban.

"Iih... kamu kok gitu sih. Jangan bilang kalau kamu nggak bisa mencintaiku karena sebenarnya kamu mencintai tante itu," tuduh Gladys.

"Cemburu?"

"Nggak."

"Kok marah?"

"Nggak. Siapa yang marah?"

"Tuh, muka kamu sekarang mirip Zahra kalau lagi ngambek," ledek Banyu.

"Tau ah, nyebelin banget sih!" gerutu Gladys. "Sudah yuk kita kesana. Ketemu sama keluargaku."

"Jangan sekarang, princess. Aku masih harus bicara dengan Gibran. Tuh lihat, dari tadi dia ngeliatin aku."

"Biar aku yang ngomong sama bang Gibran."

"No. Biar aku saja."

"Kamu mau bilang kalau aku memaksamu untuk menerima diriku?"

"Memang itu kenyataannya kan? Apa aku harus berbohong dengan mengatakan aku jatuh cinta padamu sejak pertama kali kita bertengkar?"

"Kalau kamu mau ngomong sama bang Gibran, nanti saja setelah acara ini selesai. Aku akan menemanimu."

⭐⭐⭐⭐

Akhirnya acara resepsi selesai. Para pendamping pengantin berkumpul di honeymoon suit hotel yang disediakan untuk pengantin baru. Hotel mereka memang memiliki beberapa suite yang khusus disediakan untuk keluarga van Schumman. Mereka semua duduk dengan pandangan tertuju pada Gladys dan Banyu.

"Sekarang jelasin sama gue, gimana bisa hal ini terjadi?" tanya Gibran menuntut. "Semua nggak masuk di akal sehat gue."

"Ih, emangnya sejak kapan bang Gibran punya akal sehat," celetuk Gladys.

"Dek, jangan suka meledek kakakmu," ucap Ghiffari yang saat itu duduk sambil memeluk Khansa. "Abang juga pengen tau gimana ceritanya, tiba-tiba kalian bisa dekat. Bahkan katanya tadi kamu sempat menyebut Banyu sebagai calon suamimu."

"Ya nggak gimana-gimana bang. Adek cuma mau memenuhi keinginan mami dan eyang."

"Tapi kenapa Banyu? Sejak kapan? Padahal kalau bertemu biasanya kalian bertengkar."

"Itu kan dulu," jawab Gladys santai sehingga membuat yang lain gregetan.

"Dek, elo beneran jadian sama si Banyu?" Gibran masih penasaran.

"Ih, abang susah banget sih dikasih taunya."

"Nyu, beneran?"

"Adiklo jatuh cinta sama gue, Gib," jawab Banyu sambil tersenyum jahil. "Mohon doanya aja. Kalau memang jodoh ya bakal kejadian. Kalau nggak jodoh ya bubar. Iya kan Princess?"

"Bujuuug... melayang deh adek gue lo panggil princess." ledek Gibran sambil melempar bantal sofa ke Gladys, yang langsung ditangkap oleh Banyu sebelum mengenai muka Gladys. "Waah... adek gue punya bodyguard nih sekarang."

"Nyu, bisa gue ngomong sama elo, berdua?" tanya Ghiffari yang sebenarnya lebih mirip perintah.

"Ikut." cicit Gladys.

"Nggak usah. Kamu disini aja sama yang lain." Banyu menyuruh Gladys untuk tinggal bersama yang lain. Lalu ia mengikuti Ghiffari menuju salah satu kamar.

"Gue ikut bang," Berbarengan Erick dan Gibran mengikuti mereka.

"Abaaaang, mas Banyu jangan diapa-apain. Kalau sampai ada lecet, adek bakal ngambek seumur hidup." teriak Gladys.

"Dys, elo serius jadian sama dia?" tanya para sahabatnya. "Kenapa dia?"

"Kenapa nggak?" Gladys balik bertanya. "Ada yang salah dengan mas Banyu?"

"Gila, kok elo bisa berubah 180 derajat sih? Pas acara kawinan gue, kalian berdua tuh sudah kayak Tom dan Jerry. Ribut melulu. Sekarang tiba-tiba elo jadi manis banget sama dia." Komentar Qori.

"Manusia bisa berubah kan?"

"Iya tapi nggak secepat itu juga, Dys. Elo yakin mau mengenalkan dia ke keluarga lo?" tanya Ayu. Gladys mengangguk mantap.

"Dys, apa ini gara-gara kejadian di taman?" tanya Khansa tiba-tiba. Gladys hanya tersenyum tanpa menjawab. "Serius Dys? Aaah.. benar kata Qori. Elo sudah gila kalau hanya gara-gara itu lo minta dia jadi suami lo."

"Ada apa sih? Kenapa, kenapa?" para sahabat mereka sangat ingin tahu ada kejadian apa di balik semua keputusan yang diambil Gladys. Khansa pun menceritakannya kepada mereka.

"Astaghfirullah Gladys!"

"Sinting lo ya!"

"Ah, gue kagak tau mau ngomong apa. Speechless banget nih gue."

Berbagai komentar dikeluarkan oleh para sahabatnya.

Bahkan Vania pun ikut berkomentar "Dek, jangan gegabah ambil keputusan. Ini bukan novel picisan yang menceritakan cinta bisa tumbuh saat kalian menikah. Nggak semudah itu, dek."

"Apakah dulu kak Vania mencintai bang Gibran saat kalian belum resmi pacaran?" Vania menggeleng. "Apa bedanya? Toh sekarang kalian berdua saling mencintai. Apa yang menyebabkan kakak mencintai bang Gibran?"

"Kegigihannya mendekati dan mencintaiku. Itu yang membuatku luluh kepada kakakmu dan akhirnya mencintainya hingga detik ini."

"Kalau begitu itu juga yang akan terjadi. Aku takkan menyerah belajar mencintai dan membuatnya jatuh cinta kepadaku. Kalian tahu kan, kami keluarga Hadinoto takkan menyerah dengan mudahnya."

"Tapi dek, waktunya terlalu mepet. Kalian hanya punya waktu 6 bulan sebelum kalian akhirnya harus menikah. Tolong kamu pikirkan lagi. Apalagi, maaf, kalian berasal dari keluarga yang sangat berbeda. Ibarat langit dan bumi."

"Iya Dys, elo harus pikirkan lagi baik-baik semuanya sebelum akhirnya memperkenalkan dia kepada orang tua lo dan eyang Tari. Pikirkan dampaknya," ucap Qori. "Keluarga kita sangat mementingkan bibit bebet bobot."

"Eyang sudah bilang ke gue nggak terlalu mempermasalahkan hal tersebut."

"Tapi pekerjaan dia nggak sesuai dengan status keluarga kita, Dys. Dan gue yakin tante Cecile bakal menentang elo."

"Memangnya ada apa dengan pekerjaan dia? Menurut gue nggak ada yang salah dengan menjadi tukang sayur. Itu pekerjaan halal kok," ucap Gladys santai.

"Apa?! Tukang sayur?! Astagaaa!!" Semua serempak berseru kaget.

"Apaan sih kalian ini? Bikin kaget orang saja. Kenapa sih sayang?" tanya Jihad yang sedari tadi asyik ngobrol dengan Vito dan Haidar.

"Eh, nggak papa. Maaf kami bikin kalian kaget. Kita ngobrol di kamar pengantin saja yuk biar nggak mengganggu mereka." ajak Wina. "Mas Jihad, kita mau ke kamar pengantin ya."

"Dys, elo serius memilih tukang sayur buat jadi suami lo? Elo nggak salah pilih kan?" tanya Intan tak percaya setelah mereka berada di dalam kamar pengantin.

"Dek, kakak yakin mami nggak akan setuju," ucap Vania.

"Dys, kamu sudah memikirkannya dengan matang? Memang benar agama kita tidak membeda-bedakan seseorang karena pekerjaannya. Bahkan rasulullah dan para sahabatnya juga berdagang. Yang membedakan adalah keimanan seseorang. Tapi..."

"Tapi apa Win? Gue pikir elo yang paling bisa ngertiin gue, tapi rupanya elo juga masih meragukan keputusan ini."

"Dys, kita bersikap seperti ini karena kita nggak ingin elo kecewa. Elo nggak bisa pungkiri level sosial kalian jauh berbeda. Elo itu ada di langit, sementara dia di bumi. Gimana mau bersatunya?" Wina berusaha memberikan penjelasan kepada Gladys.

"Jadi kalian nggak mendukung hubungan gue dan Mas Banyu?" Semuanya terdiam tak tahu harus berkata apa. "Oh ternyata kesetiakawanan kalian cuma segitu aja. Oke, gue akan buktikan bahwa kalian salah."

"Dys, apa yang mereka katakan itu benar," tiba-tiba Banyu masuk diikuti oleh Ghiffari dan Gibran. "Kamu harus berpikir ulang mengenai hal ini sebelum kamu menyampaikannya kepada keluargamu."

"Mas."

"Tugasku mendampingimu hari ini selesai. Aku pulang dulu ya. Ini sudah malam. Aku masih harus mempersiapkan diri untuk sidang skripsiku." Banyu berjalan meninggalkan ruangan.

'Mas...." Gladys hendak mengejar Banyu, namun langkahnya ditahan oleh Gibran. "Bang, aku mau nyusul mas Banyu."

"Jangan dek, biarkan Banyu pergi. Sebelum kalian makin terikat satu sama lain." ucap Ghiffari. Gladys meradang. Matanya menatap nanar ke semua orang yang ada di dalam ruangan.

"Kalian semua jahat!!" teriak Gladys kesal. "Kalian nggak sayang sama gue!!"

⭐⭐⭐⭐