webnovel

MCMM 10

"Mas Banyu.. mas..." Terdengar suara pelan dari depan kamar. Banyu yang baru saja selesai melaksanakan shalat witir bergegas berdiri dan membuka pintu. Dilihatnya Nabila, adik bungsunya berdiri dengan wajah gelisah.

"Ada apa, dek? Kamu kok jam segini sudah bangun? Habis tahajud juga?" Tanya Banyu. Nabila menggeleng sambil menundukkan kepalanya.

"Bila lagi nggak shalat mas."

"Lalu ngapain jam segini sudah bangun. Atau jangan-jangan kamu belum tidur. Main hp terus ya?"

"Nggak main hp kok. Bila nggak bisa tidur, mas."

"Ada apa? Coba cerita sama mas Banyu." Banyu mengajak Nabila duduk di ruang makan sederhana di rumah mereka.

"Hmm.. mas Banyu.. uumm.."

"Ada apa sih? Kok susah banget ngomongnya. Kamu ada masalah di sekolah?" Nabila menggangguk kemudian menundukkan kepalanya dalam-dalam. Bayu menghela nafasnya pelan.

"Sebulan yang lalu adek dipanggil TU, mas." Bisik Nabila. "Disuruh bayar uang SPP karena untuk semester ini program beasiswa sudah nggak ada lagi. Kalau nggak bayar, nggak boleh ikut ujian semester."

"Kok mendadak kasih taunya, dek?"

"Bila bingung mas. Bila nggak mau menyusahkan ibu dan mas Banyu. Kemarin dipanggil lagi karena minggu depan sudah mulai ujiannya."

"Kamu nggak usah bilang sama ibu. Kasihan ibu kalau harus memikirkan hal itu. Berapa yang harus dibayar, dek?"

"Per bulan 200.000 mas. Total yang harus dibayar 1,2 juta. Bila sudah coba minta keringanan, tapi kata TU karena Bila bukan anak yatim maka mereka hanya bisa kasih keringanan cara membayar. Mereka bilang boleh dicicil mas, tapi untuk ikut ujian harus bayar minimal setengahnya mas." Air mata Bila mulai menetes.

"Sshh.. jangan menangis dek. Biar nanti mas Banyu ke sekolah untuk bayar. Sisanya insyaa Allah mas bayar setelah menerima gaji sebagai asisten tante Mila."

"Tapi mas kan nabung buat lanjut ke S2." Tolak Nabila. "Biar Bila terima tawaran bu Indah untuk ajarin anaknya mengaji."

"Nggak papa, dek. S2 nggak wajib-wajib banget kok buat mas. Pendidikanmu dan Aidan jauh lebih penting." Jawab Banyu sambil tersenyum menenangkan Nabila. "Kalau kamu mau mengajar Deva dan Devi belajar mengaji boleh saja, asal nggak mengganggu sekolahmu. Dan yang utama tujuannya bukan untuk mencari uang, tapi untuk mengamalkan ilmu. Kalau kamu ikhlas mengajar, Allah pasti akan memberikan rizki buat kamu."

"Maaf mas, Bila merepotkan mas Banyu dan ibu. Padahal kalian juga lagi mempersiapkan biaya buat Bila masuk pesantren. Apa Bila minta ke ayah saja, mas?"

"Jangan. Mas dan ibu masih sanggup kok membiayai kalian." Tegas Banyu.

"Tapi mas kan juga harus menabung untuk biaya nikah."

"Tenang saja dek. Mas masih lama kok nikahnya. Lagipula kalau nanti mas mau menikah, mas akan bilang sama calon istri mas kalau menikahnya cukup di KUA aja. Kalau perlu ikut acara nikah gratis." Banyu mencoba bergurau agar Nabila tak lagi galau. Untunglah berhasil. Terbukti Nabila tersenyum mendengarnya.

"Idih mas Banyu nggak mau rugi nih. Kasihan calon istri mas Banyu song kalau begitu. Jaman sekarang mana ada yang mau cuma KUA aja mas. Bila aja nanti nggak mau cuma nikah di KUA aja. Minimal undang tetangga dekat mas, untuk mengumumkan kalau sudah menikah. Biar nggak ada fitnah."

"Wah, adik mas sudah mulai gede. Jangan-jangan sebentar lagi ada yang mengkhitbah kamu, dek." Ledek Banyu.

"Ih, apaan sih mas. Bila kan mau sekolah yang tinggi terus kerja dan membalas pengorbanan ibu dan mas Banyu. Lagian Bila kan baru kelas 8 mas. Masih lama untuk urusan menikah."

"Mas doain semua keinginan kamu bisa terwujud dan nanti dapat calon suami yang baik, shalih, dan syukur-syukur mapan. Kalau untuk urusan ganteng, usahakan nggak melebihi gantengnya mas Banyu ya, Dek."

"Iih.. mas Banyu kumat deh narsisnya." Bila tertawa mendengar ucapan Banyu.

"Nah gitu dong. Kamu lebih cantik kalau ketawa daripada mewek, Dek. Ya sudah kamu balik lagi ke kamar. Pelan-pelan, jangan sampai ibu terbangun. Baru jam setengah 3. Mas mau mengaji sebentar sebelum berangkat ke pasar untuk belanja."

"Makasih ya, mas selalu ada untuk kami." Bila memeluk Banyu. "Bila mau tidur sebentar lagi sebelum nanti bantu ibu menyiapkan kue-kue buat dititip di warung."

Sepeninggal Nabila, Banyu tidak langsung masuk kembali ke kamarnya. Diambilnya air putih dan dipandanginya gelas tersebut. Diambilnya nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Sungguh bukan kehidupan mudah yang harus dijalani oleh ibu dan kedua adiknya. Ini semua gara-gara lelaki ba****an itu. Dia yang menyebabkan semua ini. Sampai kapanpun ia takkan memaafkan lelaki itu.

Sepertinya ia harus menerima tawaran Reno untuk ikut mengajar di bimbingan belajar miliknya. Ia sadar adik-adiknya membutuhkan biaya yang tak sedikit untuk mewujudkan cita-cita mereka. Ia tak ingin ibunya menanggung itu sendirian. Ia akan mengerjakan apapun yang halal demi mereka. Orang-orang yang dicintainya.

"Nyu, ngapain bengong disini?" Tiba-tiba bahunya ditepuk dari belakang.

"Eh ibu. Kok sudah bangun bu? Oh, ibu mau tahajud ya?"

"Iya. Tadi ibu terbangun waktu adikmu masuk kamar. Ada apa adikmu jam segini sudah bangun? Dia kan lagi nggak shalat. Apakah adikmu lagi ada masalah? Ada masalah di sekolahnya? Atau masalah dengan teman-temannya?" Tanya Aminah beruntun.

"Ibu nanyanya kayak wartawan aja. Rombongan." Banyu terkekeh mendengar rentetan pertanyaan yang ibunya ajukan.

"Kamu ini ditanya kok malah ngetawain ibu. Apanya yang lucu, Nyu?" Aminah pura-pura ngambek.

"Aduh, ibuku yang cantik ngambek nih? Jangan ngambek dong bu. Nanti ibu cepat tua lho. Lagian jelek tau bu kalau ngambek begitu" Ledek Banyu sambil berdiri dan kemudian memeluk ibunya dengan perasaan sayang.

"Jadi menurutmu ibu sudah tua dan jelek?"

"Nggaklah. Ibuku ini masih terlihat muda dan selalu cantik. Ibu tau nggak, sampai kapanpun ibu dan Bila adalah dua wanita tercantik dalam hidupku," rayu Banyu.

"Halaaah.. bisa-bisanya kamu ngegombalin ibumu ini. Dulu kamu bilang Senja wanita tercantik dalam hidupmu. Sekarang akhirnya ibu dan adikmu bisa mengalahkan Senja tho?" Ledek Aminah.

"Ah, Senja itu kan cuma bagian dari masa lalu Banyu, bu. Lagipula dulu Banyu kan bu...."

"Dulu kamu itu bucin akut. Sampai-sampai kamu sering nggak bisa jemput ibu gara-gara harus jemput Senja. Untung saja Senja anaknya baik. Biasanya dulu dia suka wa ibu untuk minta maaf karena kamu nggak bisa jemput ibu dan besoknya dia pasti main ke sini sambil membawa buah atau kue buat ibu dan adik-adikmu. Sayang ya dia lebih memilih si Awan itu."

"Sudahlah bu. Itu artinya sebaik apapun dia kepada kita, dia bukan jodoh yang Allah kasih buat Banyu. Itu artinya Allah memberi tugas kepada Banyu untuk fokus kepada ibu dan adik-adik."

"Berapa umurmu saat ini Nyu? 26? Apakah kamu masih belum bisa melupakan Senja dan mencari penggantinya. Kamu belum ingin menikah, Nyu?"

"Banyu masih belum ingin mencari pengganti Senja. Bukan karena Banyu belum bisa move on. Tapi Banyu mau fokus membahagiakan ibu dan adik-adik dulu."

"Ibu nggak keberatan kok kalau kamu punya pacar lagi. Usia kamu sudah cukup dewasa lho. Banyak teman-teman ibu yang pengen jadiin kamu menantu mereka. Bahkan beberapa dari mereka mau kok anaknya diajak ta'aruf."

"Ibu ngomong gini bukan karena ibu ngebet pengen lihat Banyu menikah kan?" Aminah hanya tersenyum. "Umur Banyu masih muda bu. Lagipula tadi Banyu sudah bilang kan kalau saat ini fokus Banyu hanya pada ibu dan adik-adik. Apalagi adik-adik masih butuh banyak biaya. Banyu khawatir kalau punya pacar, nanti pacar Banyu nggak bisa mengerti tentang hal ini."

Aminah terdiam mendengar ucapan Banyu. Ya ampun, apakah keputusanku meninggalkan mas Pram salah? Batin Aminah. Karena keegoisanku tak ingin dimadu, anak-anak harus menderita. Bahkan Banyu harus mengorbankan masa mudanya.

"Hayoo.. ibu mikirin apa sih? Ibu mengambil keputusan tepat kok dengan meninggalkan si pezinah itu. Dia bukan imam yang tepat bagi kita, bu." Banyu seolah dapat membaca pikiran Aminah. " Tenang saja bu, Banyu ikhlas kok menjalani semua ini."

"Tapi Nyu...."

"Sudah ah ngobrolnya bu. Tadi katanya ibu mau tahajud. Buruan gih bu, nanti keburu subuh lho. Banyu mau bangunin Aidan. Dia juga belum tahajud. Jangan lupa titip doa ya bu, supaya segala urusan Banyu hari ini lancar."

"Insyaa Allah sayang. Ibu selalu mendoakan kamu dan adik-adikmu. Tapi mulai sekarang doanya akan ibu tambahkan." Banyu menatap Aminah bingung. "Ibu tambahkan supaya kamu dapat jodoh yang baik, pengertian, cantik, setia, sayang sama kita....."

"Stop bu, stop." Sambil tertawa Banyu mendorong ibunya ke kamar mandi. "Banyak amat bu keinginannya. Agak mustahil dapat seperti itu bu, terlalu sempurna."

"Lho, siapa tahu ada yang seperti itu." Aminah tetap kekeuh. "Pokoknya ibu akan doakan. Ibu nggak mau kamu kelamaan jomblo."

"Terima kasih ibuku sayang untuk doanya. Sekarang Banyu mau mengaji sebentar. Nanti Banyu berangkat sebelum adzan. Shalat subuhnya nanti saja di jalan." Banyu meninggalkan Aminah yang masih termanggu di depan kamar mandi.

Aminah menatap Banyu yang menghilang ke dalam kamar. Yaa robb, berilah kami kekuatan dan kesabaran menjalani ini semua.

⭐⭐⭐⭐

Next chapter