Arvino baru saja menyelesaikan jam mengajarnya hari ini. Setelah libur selama dua Minggu untuk pemulihan rasa sakit akibat tusukan di punggungnya, Arvino kembali menekuni profesinya sebagai seorang dosen. Seperti biasa, raut wajah para wanita menatapnya tanpa berkedip bahkan terpesona oleh ketampanan seorang Arvino meskipun sejak dulu Arvino berlaku cuek bahkan sangat angkuh.
"Pak."
"Hm."
"Ini dari saya, buat bapak."
Arvino melirik sebuah tas plastik berisi kotak kue yang diarahkan kepadanya.
"Anda tidak perlu repot-repot."
"Saya ikhlas kok kasih bapak kue. Lagian kue ini buatan saya."
"Mana skripsi Anda? Saya mau lihat."
Wanita cantik yang saat ini sedang melakukan bimbingan konsultasi skripsi pada Arvino kali ini menampilkan raut wajah senang ketika Arvino menerima pemberian darinya. Hal yang sudah biasa bagi Arvino sejak dulu karena hampir setiap hari ia menerima makanan dan kue-kue buatan bahkan buah-buahan dari para mahasiwi yang memberinya secara langsung meskipun Arvino tidak pernah memakannya dan memilih memberikannya pada rekan-rekan dosen lainnya.
Arvino membolak-balikkan halaman demi halaman kemudian menyutujui skripsi tersebut.
"Ini." ucap Arvino sambil menyerahkan skripsi tersebut pada mahasiswinya. " Saya sudah mengeceknya. Sudah saya Acc, silahkan mencari jadwal untuk seminar proposalnya."
Mahasiswi itu tersenyum. "Ah, Alhamdulillah deh skripsi saya di ACC. Makasih ya pak." ucapnya sambil mengedipkan salah satu matanya pada Arvino.
Arvino hanya menatapnya datar dan beranjak dari duduknya. "Kalau begitu saya pergi."
"Sekali lagi terima kasih ya pak."
"Sama-sama." dan Arvino pun pergi ketika bertepatan saat Adzan Zuhur berkumandang. Ia pun segera pergi menuju mushola dan melaksanakan sholat Zuhur berjamaah.
Tak lama kemudian, Aiza yang baru saja menyelesaikan sholat Zuhurnya pun terlihat sedang mengalami kebingungan bahkan mencari sesuatu sambil menatap bawah.
Dari jarak beberapa meter, Arvino menatapnya datar ketika saat ini tanpa sengaja melihat Aiza. Semenjak kejadian dirinya menolong Aiza dua minggu yang lalu, Arvino berusaha menahan diri untuk tidak menyapa gadis itu meskipun ia harus membutuhkan pertahanan diri yang ekstra.
Ntahlah, untuk saat ini ia mencoba membuat Aiza mencari dirinya, mengejar dirinya. Ia ingin melihat sampai kapan Aiza akan bertahan dengan pertahanan diri terhadap ketakutannya. Sesekali lah Aiza yang berjuang.
Arvino terdiam sesaat menatap Aiza yang sepertinya sedang mencari sesuatu dan Aiza sendiri merasa bingung ketika ia selesai melaksanakan sholat Zuhur, tiba-tiba Flatshoes yang ia kenakan hilang dan hanya menyisakan satu pasang bagian kanan. Aiza sudah yakin jika ia tidak meletakan Flatshoesnya secara terpisah apalagi sembarangan.
Dan lagi, Arvino berusaha menahan diri. Ia dilanda kebimbangan, tegur iya, tegur enggak? Arvino gelisah menatap Aiza yang semakin kebingungan.
Ah masa bodoh dengan niatan tadi! Ia pun segera menghampiri Aiza dan menegurnya. "Kamu cari apa?"
Aiza tertegun dan menoleh ke arah suara ketika mendapati Arvino menegurnya.
"Em, tidak apa-apa Pak saya-" Aiza menggelengkan kepalanya. Arvino pasti akan menolongnya dan berakhir dengan dirinya yang tidak enak hati pada dosen tampan itu.
Tiba-tiba Aiza diserang rasa malu dan gugup. Seperti yang sudah-sudah, jantungnya selalu berdebar sangat kencang ketika pria beriris biru itu menatapnya.
"Maaf, saya pergi dulu. Permisi."
Arvino mengerutkan dahinya, ia melihat Aiza pergi begitu saja yang hanya mengenakan kaus kaki dan ia baru sadar jika kemungkinan besar gadis itu saat ini sedang kehilangan salah satu pasang alas kakinya.
Arvino pun menghela napasnya dan mengejar Aiza kemudian berdiri menghadang didepan gadis itu.
"Jangan pergi sebelum memakai alas kaki."
Aiza terkejut dan tidak menyangka jika Arvino berada didepannya kemudian melepaskan sepatu pentofelnya dan menyodorkan menggunakan kakinya tepat didepan kaki Aiza.
"Pakai sepatu saya. Biar kaki kamu gak sakit terkena batu."
Aiza menggeleng "Tapi pak-"
"Jangan nolak apalagi malu untuk memakainya. Saya tau ini pentofel milik pria bahkan ukurannya kebesaran buatmu tapi kamu memakai gamis lebar dan panjang dibagian bawahnya sehingga sepatu saya tidak akan terlihat oleh ujung gamismu. Saya tidak mau kaki kamu sakit."
"Bapak tidak perlu melakukan hal ini."
"Dan jangan khawatirkan saya. Parkiran mobil saya sudah dekat. Saya bisa kesana tanpa alas kaki."
Sepertinya, mengabaikan Aiza tidak mudah bagi Arvino. Sosok Aiza sudah terukir dihatinya sejak dulu dan bagaimanapun situasinya, tetaplah ia perduli dengan gadis pujaannya itu.
Sebelum Aiza menyela, Arvino sudah pergi begitu saja. Aiza hanya diam dan menurut bahkan dengan ragu memakai kedua pentofel milik Arvino untuk melanjutkan langkahnya.
Dari kejauhan, tiga orang wanita mendengus kesal ketika rencananya kali ini gagal. Niatnya ingin mengerjai Aiza dengan menyembunyikan pentofel gadis itu gagal begitu saja ketika Arvino datang menolongnya.
Disislain, Arvino meringis kesakitan ketika ia tidak memperhatikan langkahnya dan tidak sengaja menginjak sebuah duri kecil di telapak kakinya. Arvino hanya tersenyum miris kemudian mengeluarkan duri tersebut seraya berkata.
"Tidak apa-apa. Aku rela tertusuk duri begini demi Aiza. Setidaknya aku yang sakit. Bukan dia."
🖤🖤🖤🖤
"Sudah saya bilang kalau ini salah!" Suara amarah yang berasal dari Pak Doni membuat Aiza bergidik ngeri.
"Kamu ini kebiasaan ya! Kalau lagi merevisi skripsi masih saja ada yang salah! Kamu kenapa? Lagi ada masalah? Tidak biasanya kamu begini!" Pak Doni pun menutup skripsi Aiza dengan kasar kemudian menggebrak mejanya.
"Ini sudah yang ke tujuh kalinya kamu salah Aiza! Biasanya kamu mengerjakannya dalam keadaan baik. Kenapa akhir-akhir revisi skripsian kamu menjadi kacau?!"
"Ma-mafkan saya Pak. Saya-"
"Skripsi saya tolak! Revisi lagi sampai benar. Kalau tetap saja salah, secara tidak langsung Pak Arvino juga tidak akan menyetujuinya."
Aiza hanya menghela napasnya. Setelah beberapa hari ini ia memikirkan Arvino, secara tidak langsung hal itu membuat konsentrasi dalam pengerjaan skripsinya sangat berpengaruh.
Sebisa mungkin, Aiza berusaha menahan sabar karena memang ia salah dan akhirnya meraih skripsinya yang penuh coretan dari Pak Doni kemudian memasukannya kedalam tas.
"Minggu depan saya keluar kota. Jadi untuk sementara semua jadwal bimbingan skripsinya saya tunda."
Apa? Ditunda? Sampai kapan? Hal yang mengesalkan bagi mahasiswi seperti Aiza karena secara tidak langsung memperlambat proses tahap penyusunan skripsi selanjutnya.
"Be-berapa lama Pak?"
"Mana saya tau! Kalau mau kamu bisa datangi saya. Saya akan ke Bali." ucap Pak Doni dengan enteng. Dan Aiza mencoba menahan kekesalannya berkali-kali. Apakah Pak Doni bercanda? Oh ayolah, pergi ke Bali tentu saja membutuhkan biaya yang sangat banyak bagi anak kost-kostan seperti dirinya.
"Kalau sudah tidak ada yang ditanyakan lagi saya akan pulang."
Aiza hanya mengangguk. Pak Doni berdiri dari duduknya sampai Aiza pun menatap kepergian Pak Doni dan menghela napasnya.
Aiza pun memilih pergi dari kampusnya mengingat masih ada waktu satu jam untuk segera beristirahat dirumah sebelum jam kerjanya di Minimarket KITA.
Aiza terlalu fokus dengan langkah kakinya hingga tanpa sadar, tiga orang mahasiswi yang berada di lantai atas kini tengah bersiap memegang sember air yang sudah bercampur dengan pewarna pakaian berwarna merah.
Dari kejauhan Arvino melihat semuanya, seketika kedua mata Arvino terbelalak. Arvino berlari dengan cepat untuk menolong Aiza bertepatan saat air pewarna itu mulai menumpahi Aiza.
Aiza terkejut. Kedua matanya terbelalak ketika Arvino datang tiba-tiba dan menarik lengannya agar menjauhi tempat sehingga guyuran air tersebut mengenai tubuh Arvino.
Seluruh tubuh Arvino kini telah basah semua. Kemeja putih yang ia kenakan sudah bercampur warna merah. Arvino berusana menahan kekesalannya mendapati para wanita tidak henti-hentinya menyakiti Aiza dan menyebabkan gadis itu semakin takut untuk menerima dirinya.
Arvino mendongakkan wajahnya menatap kelantai atas dan mendapati ketiga mahasiswi tadi sudah hilang ntah kemana. Setelah dirasa cukup aman, Arvino beralih menatap Aiza.
"Saya hanya bisa berpasrah diri pada Allah saat ini." ucap Arvino dengan serius.
"Saya sadar sejak dulu banyak wanita yang menyakiti kamu dan melabrak kamu bahkan berusaha berbuat jahat sama kamu cuma karena cemburu sehingga membuat kamu semakin takut menerima saya." Arvino menundukan wajahnya. Perasaannya semakin hancur. Ia tidak bisa memaksakan keinginan Aiza jika rasa ketakutan gadis itu bertambah besar setiap harinya.
"Sebenarnya, hubungan ini kitalah yang akan menjalaninya. Kamu tidak perlu memusingkan semua tanggapan orang-orang diluar sana. Kamu juga tidak perlu memikirkan hal-hal yang membuatmu takut. Kita ya kita, orang lain ya orang lain. Tapi sepertinya percuma, ketakutanmu lebih besar dari rasa percaya kamu sama saya."
Aiza dilanda ketakutan. Ia merasa semakin was-was ketika arah pembicaraan Arvino semakin panjang..
"Saya tidak akan memaksakan kamu lagi."
Aiza terkejut dan membelalakkan kedua matanya. Hatinya tiba-tiba sesak dan kedua matanya mulai memanas. "Pak-"
"Saya tidak ingin terlihat egois dengan memaksakan keinginanmu selama tiga tahun ini."
Kedua mata Aiza mulai berkaca-kaca, hatinya tersayat karena merasakan detik-detik Arvino akan meninggalkan hatinya sekalipun pria itu berkata tidak menyerah.
"Ba-bapak. Saya-"
"Lebih baik kamu pulang. Saya tidak ingin kamu kenapa-kenapa lagi disini. Maaf sudah menganggu dan memaksakan dirimu selama ini."
Arvino tidak memberi waktu Aiza untuk berucap sesuatu. Ia pun segera membalikkan badannya dan pergi dengan perasaan yang hancur hingga tanpa Arvino sadari, Aiza pun mengeluarkan air matanya karena sudah menyiksa perasaan dirinya dan Arvino selama ini.
Ikutin saja alurnya dg sabar seperti yang sudah-sudah bagaimana cara seorang Lia membuat kisah fiksi ini dengan mengaduk-aduk hati para pembacanya :)
🖤🖤🖤🖤
With Love
LiaRezaVahlefi
Instagram: lia_rezaa_vahlefii 🖤