webnovel

Teman Lama

Sore itu jalanan Jakarta seperti hari-hari biasanya, padat, berpolusi, dan bising sekali. Kawasan Tebet sangat riuh di padati kendaraan bermotor yang mengantri di ikuti dengan suara klakson yang sahut menyahut. Seorang gadis muda dengan wajah lelah menyeka peluhnya dengan sapu tangan berwarna biru dan terduduk di halte bis. Tubuhnya tampak lunglai, dengan lemah dia merogoh sesuatu dari dalam tas ranselnya. Kemudian di keluarkannya sebuah botol minum bening yang berisi air dan ditenggaknya dengan perlahan.

"Ah….nikmatnya air ini. Untung aja botolnya ngga ketinggalan di kantor!", ia berkata sambil memandangi tempat minumnya penuh rasa syukur.

Selepas itu dimasukkannya kembali tempat minum ke dalam ranselnya yang digunakan di posisi depan tubuhnya , gadis itupun berdiri dan mulai berjalan. Kali ini ia tampak lebih berenergi, dan perlahan namun pasti ia segera menuju stasiun kereta. Langit tampaknya akan menumpahkan air hujan. Awan mendung menggantung disertai tiupan angin yang membelai rambut hitam ikal gadis tadi. Sesaat gadis itu tiba di stasiun kereta, awanpun menjatuhkan rintik-rintik hujannya.

"Wah, memang hari ini hari hoki aku sepertinya. Abis ini aku dapet hoki apalagi ya?", seru gadis itu sambil memandangi air hujan yang jatuh lembut ke permukaan aspal sambil tersenyum kecil.

Suasana ramai tidak terjadi hanya di jalan raya, di stasiun itupun manusia berkumpul memadatinya. Baik para calon penumpang kereta, maupun orang-orang yang sekedar berteduh menghindari basah tersiram air hujan. Gadis ikal itupun berjibaku menuju ke pintu masuk untuk calon penumpang kereta. Karena tubuhnya mungil, dengan tinggi hanya 155cm dan tubuh yang ramping, gadis itu tampak tenggelam diantara lautan manusia di stasiun.

"Permisi ya Pak, Bu, maaf saya mau masuk.", ucapnya sambil tangan kanannya merogoh ke dalam tas ransel.

Ia berusaha mengeluarkan kartu kereta yang akan digunakan pada saat masuk ke dalam stasiun bagi calon penumpang. Karena berjalan sambil mencari-cari kartu, ia tidak memperhatikan langkahnya. Tiba-tiba kakinya tersandung dan tubuh mungilnya akan terjatuh. Sebelum terhempas ke lantai yang kotor karena jejak-jejak kaki manusia yang terguyur hujan, tangan kekar seorang pria menahan bahunya.

"Hati-hati Mbak! Kalau jalan liat-liat!", terdengar suara pria yang berat dan bernada sedikit ketus di belakang punggung sang gadis.

Gadis itu, bernafas lega karena ia tidak jadi terjatuh. Kemudian, ia membalikkan tubuhnya menghadap ke pria ketus yang telah menolongnya. Saat berbalik, gadis itu menyadari bahwa pria yang menolongnya memiliki tubuh yang tinggi, karena saat itu mata sang gadis sejajar dengan dada pria itu. Di arahkannya pandangannya ke atas untuk melihat pria yang telah menahan bahunya untuk mengucapkan terimakasih. Namun sang gadis sedikit terkejut karena ternyata ia mengenali pria itu.

"Anton? Lo Anton bukan sih?",tanya gadis ikal itu sambil membelalakan matanya.

Pria itu sedikit terkejut namun kemudian setelah menatap gadis ikal itu, ia menyadari bahwa iapun mengenali gadis mungil itu.

"Hanin? Hanin dari SMU Pelitakan?, tunjuk pria yang bernama Anton itu.

Gadis ikal itu tersenyum manis kepada Anton, "Iya…..bener! Elo masih inget sama gue ya! Makasih ya Anton, hari ini gue bener-bener beruntung deh. Lo mau naik kereta juga?"

Antonpun mengangguk sambil menunjukkan kartu kereta sekali jalannya.

"Asik….ada temennya naek kereta. Yuk masuk dulu kali kita ya.", ajak Hanin kepada Anton dengan nada riang. Bella akhirnya menemukan kartu keretanya, dan segera mengusapnya ke pintu masuk otomatis, diikuti Anton di belakangnya.

Anton tampak tinggi menjulang berjalan berdampingan dengan Hanin. Pria itu memang memiliki tinggi di atas rata-rata pria Indonesia, tinggi Anton sekitar 187cm dengan tubuh yang atletis. Sehingga saat berjalan, menjadi pusat perhatian para wanita di stasiun. Rambutnya agak panjang dan sedikit ikal, di ikat asal saja dengan karet gelang. Matanya sedikit sayu, di hiasi dengan bulu mata atas bawah yang panjang dan lentik, alisnya tebal tertata rapi secara alami membuat tatapannya menjadi tajam dan mematikan bagi wanita yang melihatnya. Hidungnyapun mancung dan senyumannya tipis tapi menggoda.

"Si Anton perasaan makin ganteng aja deh.", seru Hanin dalam hati sambil mencuri-curi pandang kapada Anton yang kini berjalan disampingnya.

Hanin harus sedikit mengadahkan kepalanya untuk melihat Anton, dan tentu saja hal itu membuat Anton menyadari tatapan Hanin. Sambil tersenyum tipis, ia menatap balik kearah Hanin yang kemudian menjadi canggung dan malu.

"Pasti lo mikir, kok gw makin ganteng ya?", celetuk Anton seakan-akan bisa membaca pikiran Hanin.

Hanin merasakan wajahnya memerah karena malu, namun ia berusaha untuk tetap tenang dan tertawa kecil.

"Idih! Pede banget lo Ton!", seru Hanin sambil memukul pelan lengan Anton.

"Nggak nyangka bisa ketemuan sama temen lama. Kita udah berapa lama ya ngga ketemu? Terakhir ketemu pas lo mau pindah sekolah, ke Bogor kalo ngga salah ya? pas kelas dua SMA?", Tanya Hanin sambil berdiri di tempat yang agak sepi.

"Iya, terakhir ketemuan kelas dua SMA. Kurang lebih tujuh tahun yang lalu.", jawab Anton singkat sambil memandangi Hanin.

"Kok lo ngga tumbuh-tumbuh sih Nin? Masih mungil aja?", seru Anton sambil tersenyum nakal.

"Ihhh….lo juga masih sama ya! Sukanya ngeledek fisik gue! Ngga boleh tau! Mentang-mentang tambah tinggi. Tapi ngga nyangka lo bisa setinggi ini Ton!",jawab Hanin sambil menatap Anton dari atas kebawah.

Anton hanya tertawa mendengar perkataan Hanin. Ia dulu memang cukup dekat dengan Hanin, tetapi dekat sebagai teman, tidak lebih. Hanin gadis yang cukup aktif saat SMU dan sangat suka bicara. Ia teman pertama Anton di SMU. Anton adalah seorang anak pemalu dan cukup pendiam sehingga agak kesulitan berteman. Saat itu, Haninlah yang mengajaknya berkenalan duluan. Akhirnya merekapun berteman dekat, sampai saat pertengahan kelas 2, Anton tidak pernah masuk sekolah lagi.

Pikiran Hanin melayang ke masa dimana Anton tiba-tiba tidak terlihat lagi. Ia berusaha menghubunginya tetapi tidak bisa, dan saat itu Hanin menyesal karena belum pernah berkenalan dengan keluarga Anton. Tidak seperti Anton yang telah mengenal ibunya, seorang single parent yang membesarkan dua buah hatinya seorang diri. Info yang didapat dari sekolahpun hanya sekedarnya saja, yaitu Anton tiba-tiba harus pindah sekolah ke Bogor karena alasan pribadi. Dan sejak itu, Hanin tidak tahu keberadaan dan keadaan Anton. Begitu pula dengan Anton, yang tidak tahu lagi mengenai kehidupan Hanin.

"Nin, kok bengong sih?", suara berat Anton tiba-tiba menyadarkan lamunan Hanin.

"Astaga, kenapa gue jadi bengong ya? Maaf Ton. Oh iya, lo kearah Bogor atau Kota?", jawab Hanin sambil mengarahkan pandangannya kearah rel kereta.

"Bogor Nin. Elo kemana? Masih tinggal di Pasar Minggu?"

"Masihlah. Mau kemana lagi coba. Mamahkan sendirian di rumah, si Hana kuliah di Bandung soalnya.",Hanin menjelaskan sambil memperhatikan Anton yang membuatnya terkesima karena ketampanannya.

Anton menyadari tatapan kagum Hanin, ia menjadi salah tingkah dan bingung apalagi yang harus dijadikan bahan pembicaraan. Untung saja Hanin memang senang berbicara sejak dulu, sehingga membuat Anton sedikit lega.

"Lo ingetkan sama Hana? Yang dulu masih SD dan hobinya nempel-nempel manja sama elo?" ,Hanin tertawa mengingat kelakuan adiknya yang memiliki perbedaan umur 6 Tahun. Masa itu Hana memang penggemar berat Anton, mungkin sebenarnya ketampanan Anton sudah terlihat. Hanya saja Hanin tidak terlalu memperhatikannya, karena dulu Anton memakai kacamata yang cukup tebal dan rambut yang selalu klimis. Hanin pernah melihat Anton tanpa kacamata ketika Hana iseng menyembunyikan kacamata Anton ketika Anton main kerumahnya. Sebab itulah Hanin mengenali Anton yang sekarang, karena saat melihat Anton tanpa kacamata Hanin sempat terkesima.

"Mata lo, eh maksud gue, lo ngga pake kacamata lagi sekarang? Di laser ya? Atau pake soft lens?",Tanya Hanin ketika menyadari Anton sekarang tidak mengenakan kacamata lagi. Karena seingatnya kacamata Anton cukup tebal, sehingga mustahil dia bisa beraktifitas tanpa menggunakannya.

Anton cukup terkejut mendengar pertanyaan Hanin. Dan sedikit tergagap saat akan menjawab. Untungnya terdengar pengumumam kereta yang kearah Bogor akan segera masuk ke stasiun. Anton merasa lega karena tidak harus mancari alasan untuk mejawab pertanyaan Hanin itu.

"Nin, yuk naik. Kereta Bogor mau masuk stasiun. Kalau nanti-nanti takut makin penuh.", ajak Anton kepada Hanin.

Haninpun menyetujuinya dan segera bersiap-siap di pinggir peron untuk naik ke gerbong kereta yang akan datang. Dan benar saja, saat itu kereta sudah mulai padat karena sudah masuk jam pulang kerja. Beruntung Hanin bertemu Anton, dengan menggunakan tubuh Anton sebagai tameng, Hanin bisa memaksa masuk ke dalam gerbong. Di dalam gerbongpun Anton tetap berusaha memberi ruang pada Hanin dengan menahan orang-orang di sekitar Hanin dengan tubuh atletisnya.

"Ya Tuhan, bener-bener hoki aku tuh hari ini.", seru Hanin kegirangan didalam hati.

Mereka berdua tidak berbicara sepanjang perjalanan karena suasana didalam kereta memang tidak kondusif untuk melakukan pembicaraan. Hanin berdiri di dekat pintu, dan Anton berdiri didepannya sambil satu tangannya memegang pada besi pegangan dilangit-langit kereta dan tangannya yang lain menahan di dinding gerbong. Wajah Hanin tepat ada di depan dada Anton yang bidang sehingga Hanin dapat mencium aroma wangi yang lembut dari tubuh Anton. Hanin sampai merasa malu sendiri karena jadi merasa Anton seperti mendekapnya.

"Hush…ngawur ini otak! Jangan berfikiran mesum!", batin Hanin.

"Nin…", Anton setengah berbisik diatas kepala Hanin.

"…sudah mau masuk stasiun Pasar Minggu lama. Siap-siap turun yuk." ,ajak Anton.

"Oh iya ya? Lo mau turun dulu apa langsung?", tanya Hanin setengah berharap kalau Anton menemaninya turun.

"Turun dulu aja biar lo juga gampang turunnya.", jawab Anton yang entah kenapa hal itu membuat hati Hanin senang.

Akhirnya kereta tiba di stasiun Pasar Minggu lama, dan mereka berdua turun.

"Eh, ngopi dulu yuk. Gue traktir deh, udah lama banget kita ngga ketemu. Sambil cerita-cerita.", seru Hanin kepada Anton.

Saat berbicara dengan Anton, tiba-tiba ada kilat menyambar di langit. Cahayanya sekilas menyinari wajah Anton, dan saat itu terjadi, Hana sesaat terkesima karena melihat bola mata Anton tampak berwarna coklat keemasan. Hanin seperti tersihir saat menatapnya, sehingga waktu seakan-akan berjalan lambat. Anton menyadari Hanin melihat sesuatu yang seharusnya tidak dilihat pada dirinya.

"Hujan Nin, lain kali aja ya? Kita tukeran nomor hp aja. Nanti kita ceritanya lewat chat dulu.",suara Anton menyadarkan Hanin.

"Oh iya sih. Gue baru inget juga tadi mamah nitip beli beberapa barang di mini market sekalian pulang.", jawab Hanin sambil ia mengeluarkan hape dari ranselnya.

"Hape gue tadi lowbatt Nin, sini gue kasih nomor gue aja, nanti chat gue ya. Kayaknya udah mati nih hape.", jelas Anton.

Anton kemudian mengambil handphone Hanin dan menyimpan nomor teleponnya disitu. Segera setelah itu, ia menemani Hanin sampai ke pintu keluar otomatis dan menunggu Hanin sampai hilang dari pandangannya.

Pria tinggi nan atletis itu sangat bahagia, hal itu terpancar dari wajahnya. Begitupula sang gadis mungil, Hanin, yang melangkah ditengah rintik hujan dengan senyuman di wajahnya. Mereka berdua sangat menantikan pertemuan selanjutnya dan berharap pertemuan itu tidak sesingkat pertemuan hari ini.