webnovel

JANGAN MACAM-MACAM SAMA SI JONI

Setelah menutup pintu kamar, Ethan menghampiri istrinya yang tengah berbaring di ranjang.

Ia menyelusupkan tubuhnya ke dalam selimut dan berbaring di samping istrinya.

Megan membalikkan badan menghadap suaminya dan merangkulkan lengannya ke dada Ethan. Dengan lembut Megan mengusap dada telanjang suaminya.

Ethan menggenggam tangan Megan.

"Sayang, makasih ya untuk hari ini."

"He he. Iya."

"Tapi, aku masih penasaran deh. Kau dapat uang dari mana?"

"Emm … itu tidak perlu dipikirin. Aku habis menang undian."

"Wah, keren. Kok tidak bilang kalau kau menang undian? Kalau tahu kan tadi di kantor tidak perlu ada ribut-ribut sama Lena gitu."

"He he. Iya. Aku sebenarnya jugga ga nyangka akan kejadian seperti itu. Aku niatnya ke kantor cuma kasih kejutan ke kamu."

Ethan menerima tubuh Megan yang merapat ke badannya. Digenggamnya kedua pipi Megan dan ia memberikan kecupan mesra di dahi istrinya itu kemudian menempelkan pipi Megan ke dadanya. Mata Ethan menerawang jauh.

Betapa terjal jalan yang harus ia lalui bersama Megan, Ethan membatin. Bahkan setelah mereka berhasil menikah, batu sandungan dan kerikil-kerikil tajam masih saja terus bermunculan dan membentang di hadapan mereka.

"Sayang..." Ethan merasakan Megan menaikkan sebelah kakinya ke atas paha kirinya yang hanya mengenakan celana pendek berbahan kaus yang biasa dia pakai untuk tidur.

"Ya," Ethan menolehkan kepalanya ke samping. Mereka sekarang bertatapan.

Dipandanginya wajah istrinya mulai alisnya yang melengkung alami seperti bulan sabit, iris matanya yang berwarna cokelat tua, hidungnya yang bangir, bibirnya...

Dikecupnya bibir istrinya dengan lembut dan penuh perasaan.

Dengan lidahnya, ia usap ujung bibir Megan lalu bibir bagian atas dan bawah. Megan mengerang perlahan menerima perlakuan suaminya.

Perlahan Ethan merasakan Megan mulai membuka mulutnya dan menyambut lidahnya dengan antusias. Ethan merasakan sengatan gairah yang meremangkan bulu di tengkuknya.

Suara sayup di luar jendela bersahut-sahutan menandakan musim kemarau akan segera tiba.

Megan menaikkan tubuhnya ke atas tubuh Ethan sementara bibir mereka masih terus berpagutan. Perlahan Megan menurunkan tubuhnya dan meletakkan bagian bawah tubuhnya tepat di pangkal paha Ethan. Ethan menatap istrinya dengan pandangan nanar dan sedih.

Sejenak Megan mencari-cari benda milik Ethan yang sudah akrab dengannya.

Ethan memalingkan wajah ke samping saat didengarnya Megan menarik napas panjang, luapan rasa kecewa saat tahu bahwa benda milik Ethan masih tertidur pulas dan belum siap tempur.

Megan mengangkat wajahnya dengan terengah dan membaringkan tubuhnya lagi di samping Ethan.

Ethan tetap memandang dinding kamar dengan canggung. Dadanya sesak seperti ada setumpuk batu. Rasa bersalah terpancar nyata di wajahnya yang sengaja ia palingkan dari Megan.

"Maaf ya..." ucap Ethan lirih sambil memandang langit-langit kamar yang dicat warna putih tulang.

"Hmmm... Sayang, bisa tidak perhiasan yang kau beli tadi aku kembaliin ke Tiffany aja. Biar uangnya bisa kau pakai berobat?"

Megan menelusupkan sebelah tangannya ke dalam celana Ethan dan menemukan apa yang ia cari masih tetap tertidur pulas.

"Nggak. Itu hadiah buatmu. Tidak boleh dijual atau dikembalikan. Mengenai hal yang satu ini," Ethan menunjuk dengan matanya pada benda dalam genggaman Megan kemudian melanjutkan, "biar aku aja yang urus. Aku sudah punya rencana."

"Baiklah. Jangan lama-lama ya. Aku sudah rindu..."

"Tidak akan lama. Aku janji," Ethan memiringkan tubuhnya dan mengecup dahi istrinya.

"Kau mau makan lagi tidak?"

"Kurang tahu juga. Kalau sekarang sih masih kenyang banget. Tadi kan aku hampir makan dua porsi. Kau suka curang. Pesan makanan, tapi tidak pernah habis," Ethan mengusap perutnya yang terasa begah akibat sedikit kekenyangan.

"Hihihi. Biarin. Kan ada kau yang selalu siap ngabisin," Megan menjulurkan lidahnya meledek suaminya yang selalu ia aniaya bila makan di luar.

Megan yang menyukai tantangan dan selalu ingin mencoba hal baru, selalu memesan beberapa menu aneh dan asing saat makan di restoran.

Menu-menu baru yang selama ini belum pernah ia coba dan terlihat bagus fotonya, pasti Megan akan langsung memesannya.

Kerap kali menu baru itu tidak sesuai ekspektasi dan lidahnya saat dimakan. Kalau sudah begitu, pelan-pelan ia akan mendorong piringnya ke arah suaminya sambil menggelengkan kepalanya sebagai tanda 'aku tidak mau lagi'.

Ethan yang sudah hapal sekali dengan tabiat istrinya yang satu ini, hanya bisa menarik napas panjang dan tanpa banyak bicara menghabiskan makanan di piring istrinya.

Saat makan di restoran tadi, Megan memesan satu roti bawang berukuran jumbo. Selain karena tergoda dengan bentuknya yang eye catchy, roti dengan isian keju dan bawang putih itu juga sedang ngehits.

Seperti yang sudah Ethan duga sebelumnya, Megan tidak suka dan nyaris muntah saat mencicipi roti bawang itu.

Jadilah pada akhirnya Ethan yang menghabiskan roti bawang sebesar mangkuk bakso itu.

"Aku udah mulai lapar lagi nih soalnya." Megan bangkit dan duduk di sisi tempat tidur.

Ia menyisir rambutnya dengan jari kemudian mengikatnya dengan bentuk ekor kuda.

"Mau bikin apa memangnya?"

"Belum tahu. Aku mau lihat apa yang ada di lemari es dulu."

"Tidak boleh masak mie instan ya. Ini bukan tanggal dua puluh tiga," Ethan berkata tegas.

"Iya tahu."

"Ya tahu, soalnya udah aku ingatin. Biasanya juga kau pura-pura lupa."

"Ha ha. Soalnya, masa makan mie instan cuma boleh sekali sebulan. Ditawar dua kali kek, tiga kali kek," Megan menarik celana Ethan dengan gemas hingga melorot ke paha dan membuat bagian pangkal paha Ethan terpampang nyata karena bila sedang di rumah ia jarang mengenakan celana dalam.

Refleks Ethan menaikkan kembali celananya.

"Apaan sih, ntar ada yang lihat lagi."

"Ha ha. Biarin. Makanya tambah dong jatah makan mie instannya." Megan merengek sambil menarik celana Ethan lagi.

Dengan sekuat tenaga Ethan menahan celananya supaya tidak merosot lagi.

"Nggak. Sekali sebulan udah final itu."

"Ya udah." Megan menarik celana Ethan dengan sekuat tenaga sambil terkikik geli.

"Apaan sih. Ntar bisa robek celananya," Ethan terpaksa menahan celananya menggunakan dua tangan untuk mengimbangi kejahilan istrinya.

"Bodo amat, wekkk," Megan menjulurkan lidahnya pada Ethan dan memperkuat tarikannya pada celana Ethan.

Bretttttt.....

Celana pendek berbahan kaus tipis itu akhirnya robek tepat di tengah dan bagian bawah tubuh Ethan sekali lagi harus terhampar di udara terbuka.

"Nah kan..." Ethan tak sempat melanjutkan kalimatnya.

"Rasakan, hahaha," Megan segera berlari keluar kamar menuju dapur sambil tertawa-tawa.

"Hfffttt..." Ethan mendengus kesal dan melepas celananya yang robek kemudian membuangnya ke tempat sampah.

Telanjang bulat ia berjalan ke lemari di sudut kamar. Cermin besar pada salah satu pintu lemari memantulkan tubuh Ethan.

Ia menatap pantulan bayangan tubuhnya sendiri di cermin. Bulu dadanya yang tumbuh subur hingga ke perut. Kedua bahunya yang kokoh, paha dan betisnya yang pejal.

Pandangan Ethan terhenti saat ia menatap bagian bawah perutnya. Menjulur di antara rimbunan semak belukar, belalai yang tengah tertidur pulas.

Tergesa dibukanya pintu lemari. Untuk berjaga-jaga dari kejahilan istrinya, ia mengenakan celana dalam di dalam celana sepak bola berbahan polyester warna biru.

Diambilnya singlet tanpa lengan berwarna putih, ia kenakan, dan menyusul istrinya ke dapur.

Ponselnya yang ia letakkan di meja samping tempat tidur berdering, membuat Ethan teringat sesuatu yang tadi ingin ia kerjakan.

Dirabanya bagian bawah perutnya.

Ia mencari di daftar kontaknya, Dokter Prima, ketemu. Dokter pribadi keluarga Abraham Patlers.

Ethan mengeklik tombol panggilan.

Di ujung lain sambungan, ponsel di saku depan Dokter Prima berdering.

Dilihatnya nama Ethan terpampang di layar.

"Maaf, saya tinggal sebentar," Dokter Prima langsung mencari sudut yang tenang meninggalkan rekan-rekan sejawatnya.

Klik. Panggilan tersambung.

"Halo, Tuan Ethan?"