webnovel

Pangeran Impian

Bab 1

"Aaaaaa ..." Joya berteriak kencang karena hampir saja ditabrak sebuah mobil mewah saat dia sedang menyeberang jalan. 

Mobil mewah itu tak mengenai sedikit pun tubuh Joya, tetapi karena rasa kaget membuatnya lemas dan terduduk di atas aspal jalanan.

Si pengemudi keluar dengan tergesa, dia melihat seorang gadis tengah duduk dengan tubuh bergetar.

"Kamu gak papa, kan? Ayo berdiri, kalau ada yang luka kita ke rumah sakit!" ajak si pengemudi dengan setengah memaksa. 

Dia memegang kedua tangan Joya agar bisa berdiri dengan baik. 

"Gak mau, kamu siapa. Aku gak papa, kok. Sudah pergi sana! Bikin aku kaget saja!" omel Joya sambil berdiri tanpa melihat pada si pengemudi.

Si pengemudi melepaskan pegangan tangannya membuat Joya yang belum siap berdiri malah terjatuh lagi.

"Auw, sakit. Bisa patah pinggangku ini. Kamu gila, ya!" bentak Joya membuat si pengemudi semakin bingung. 

"Bukannya kamu mengusirku tadi, kok sekarang malah marah. Dasar gadis aneh!" sahutnya membuat Joya mendongak menatapnya.

Mulut Joya yang tadinya akan melepaskan kata-kata mutiara mendadak gagu. Pria di depannya sangat tampan, gagah, dan berwibawa seperti seorang pangeran. 

Joya merasa jika Tuhan telah mengabulkan doa-doanya. Pangerannya sudah datang untuk menjemputnya. Walaupun dia datang dengan cara yang salah dan hampir saja mencelakai Joya. Namun dia tak peduli hal itu, yang penting pangerannya sudah datang. Titik!

"Pangeranku, akhirnya kamu datang juga menjemputku." racau Joya. 

Sang Pangeran mundur tiga langkah lalu balik kanan jalan. Dia takut melihat perubahan sikap Joya, awalnya marah-marah sekarang menyebutnya pangeran segala. 

Sang Pangeran merasa takut langsung masuk kedalam mobilnya. Joya mengejarnya tapi terlambat, sang pangeran telah kabur bersama kuda besinya, eh, bersama mobil mewahnya.

"Pangeran! Tunggu aku!" teriak Joya sedih.

Joya berdiri mematung di tengah jalan, tak dihiraukannya klakson mobil yang bersahutan di belakangnya.

"Heh, kalau di jalan jangan tidur. Nanti ditabrak mobil baru tahu rasa!" ingat Rosa--kakaknya Joya--yang baru tiba sambil menarik tangannya ke tepi jalan.

"Tapi, Kak. Dia pangeran aku. Pangeranku sudah datang persis seperti di mimpi-mimpiku!" sanggah Joya dengan raut wajah sedih.

"Alah, Joya-Joya. Kamu itu kalau mengkhayal yang masuk akal  dong. Jangan ketinggian nanti kami bisa gila kalau gak kesampaian."

"Tapi, Kak dia itu ...." 

"Sudahlah, ayo kita pulang. Ibu pasti sudah menunggu kita!" potong Rosa kesal. Dia menarik tangan Joya yang masih memandang jalanan dengan wajah kecewa.

Sementara di tempat lain, si pengemudi yang bernama asli Erik juga sedang mengomel sendirian di dalam mobilnya.

"Sial, bisa-bisanya aku bertemu gadis gila seperti itu. Pangeran katanya, memangnya sekarang jaman apa, dasar gadis gila!" Erik terus mengomel sendirian sampai akhirnya tiba di rumah.

"Selamat sore, Den. Nyonya sama Tuan sudah menunggu di dalam." Pak Satpam menyambut kedatangan Erik di depan pintu gerbang.

"Terima kasih, Pak!" sahut Erik. 

Erik masuk ke dalam dari pintu samping, karena dia melihat ada mobil lain yang terparkir di halaman. Itu pertanda, papanya sedang menerima tamu di ruang depan.

Erik masuk ke kamarnya lalu langsung membersihkan diri. Dia merasa segar setelah selesai mandi dan berniat untuk tidur.

Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu membuat Erik mengurungkan rencananya semula. Dia berjalan ke arah pintu kamarnya.

"Siapa sih, mengganggu orang saja!" gerutunya sambil membuka pintu. Helena, mamanya Erik sedang berdiri dengan wajah cemberut.

"Erik, kok malah masuk ke kamar. Ada tamu yang harus kamu temui di depan. Ayo!" ajak Helen.

Erik pun mengikuti langkah mamanya dengan terpaksa. Di ruang tamu di lihatnya ada tiga orang yang tak di kenalnya. 

"Nah, ini Erik anak saya. Ayo salam sama Om dan Tante Purnomo, Rik!" sambut Heru Kusuma, papanya Erik.

Erik pun menyalami tamu papanya yang menyambutnya dengan antusias. 

"Lihat, Pa! Calon mantu kita ganteng sekali, kan?" Istri Purnomo bertanya pada suaminya.

Calon mantu? batin Erik. Dia menatap mereka dengan mata menyipit.

_____

"Erik, gak mau, Pa! Apa-apaan, seenaknya menjodohkan aku dengan gadis yang gak kukenal!" teriak Erik dengan emosi. 

Beberapa saat setelah keluarga Purnomo pulang, Erik mulai melancarkan aksi protesnya.

"Erik! Jaga ucapanmu!" bentak Seno, Mas tertuanya.

"Tapi, Mas ...." 

"Gak ada tapi-tapian, Erik! Kamu harus menuruti perintah Papa!" sambung Riko  masnya yang nomor dua. 

"Mas Diki gak ikut ngomong juga?" tanya Erik sambil melirik Diki, masnya yang ketiga.

Erik merasa kesal, dia merasa seperti terdakwa karena tak ada satu orang pun yang mendukungnya.

Erik melihat pada ketiga kakak iparnya yang sedang duduk dengan Helena, mamanya. Namun sepertinya mereka juga tidak akan mendukungnya. 

Erik menarik napas kesal, tampaknya mau tidak mau dia harus menuruti keinginan papanya yang akan menjodohkan dirinya dengan anak gadis keluarga Purnomo tadi.

"Umur kamu itu sudah berapa Rik? Coba kamu lihat mas-masmu. Mereka sudah hidup mapan dengan istri dan anak-anaknya. Mereka juga membantu usaha papa di kantor, sedangkan kamu? Hanya tau main dan main saja!" kata Heru.

"Tapi, Pa. Aku gak mau dijodohkan. Aku mau mencari sendiri calon istriku!" tolak Erik.

"Jodoh sendiri? Maksudnya kamu mau menunggu Sarah, pacarmu yang lebih memilih menjadi model itu?" ejek Seno.

"Bukan, aku akan membawa gadis lain. Yang lebih baik dari pada Sarah!" kata Erik.

"Boleh, kalau kamu memaksa. Papa kasih waktu dua minggu untuk membawa calon istrimu ke sini. Itu juga kalau kami cocok, kalau tidak. Kamu harus menerima Kayla, anaknya keluarga Purnomo!" putus papanya.

Dua minggu? Papa sudah tidak waras, gerutu Erik dalam hatinya. Terkadang Erik merasa menyesal dilahirkan di keluarga Kusuma itu.

"Mengapa aku tak lahir di keluarga yang biasa saja, Tuhan?" Erik sering sekali mengucapkan hal itu jika dia sedang galau atau pun bersedih.

Dia protes pada Tuhan karena dilahirkan di keluarga hebat dan terpandang itu. Erik merasa dia tak pantas menyandang nama Kusuma di belakang namanya.

Keluarga Kusuma bukan orang sembarangan. Kakek Buyut dari keluarga Kusuma merupakan keturunan dari pejabat yang cukup berpengaruh pada masa penjajahan Belanda.

Heru, papanya Erik merupakan keturunan keenam dari silsilah keluarga Kusuma. Heru mempunyai empat orang anak lelaki semua. Seno, Riko, dan Diki serta Erik. Tiga orang dari keempat anak Heru telah menikah dan bekerja di perusahaan keluarga Kusuma yang bergerak di bidang properti. 

Erik merupakan anak bungsu di keluarga Kusuma  dan satu-satunya yang belum menikah  merasa tertekan dengan tuntutan dan kewajiban yang diberikan oleh Papa dan ketiga masnya.

Dia  tak tertarik dengan perusahaan keluarganya. Erik lebih tertarik dengan olahraga khususnya sepak bola. Dia ingin menjadi pemain sepak bola profesional, tetapi papanya tak setuju. 

Bagi Heru, pekerjaan sebagai pemain sepak bola itu tak memiliki masa depan. Erik yang sudah bosan mengutarakan pendapatnya  jadi putus asa. 

Bersambung.