webnovel

Melisa [Cinta Pertama]

Melisa Aurelie gadis remaja yang tak bisa melupakan cinta pertamanya. Dion, terpaksa harus pindah ke luar kota karena mengurus sang Ibu yang tengah sakit. Menjalani cinta jarak jauh terasa berat, tapi tak pernah menjadi beban bagi Melisa. Dia yakin bisa melewati semua ini. Tapi itu hanya berlaku bagi Melisa saja. Suatu ketika Dion menghilang tanpa kabar, membuat hati Melisa hancur, dalam ketidak—pastian, akan tetapi gadis itu tetap menunggu Dion kembali. Hingga datang seorang pria dari masa lalu, dan mampu mengobati sakit hatinya. Namanya, Bagas, dia adalah teman masa kecil Melisa. Tapi di saat Melisa mulai melupakan Dion, serta sudah menetapkan hatinya untuk Bagas, di saat itu pula Dion datang kembali, dan membuat hati Melisa dirundung dilema.

Eva_Fingers · Teen
Not enough ratings
93 Chs

Mencurigakan

"Tapi apa, Jen?" tanya Elis.

"Tapi cowok itu gak cocok buat Elis," jawab Jeni.

"Lah kenapa gak cocok? Gue, 'kan juga cantik kali?" protes Elis.

"Tapi masih cantikan Jeni, jadi Julian cocoknya buat, Jeni aja hehe," sahut Jeni dengan nada meledek.

Elis langsung menjitak kepala Jeni.

Pletak!

"Jangan ngacok, Ente!" sengit Elis.

"Uhh, sakit, El!" keluh Jeni sambil mengusap-usap kepalanya sendiri.

"Ssst! Udah-udah! Jangan pada ribut, tuh orangnya udah mulai mendekat!" kataku.

Dan kedua sahabatku langsung terdiam.

Elis langsung merapikan rambutnya, dan dia langsung beranjak dari kamar untuk mendekati Julian.

"Hay, Kak Jul! Baru pulang ya?" sapa Elis dengan ramah.

"Hay, Elis, makin cantik aja!" sahut Julian seraya memuji.

"Ih, Kak Jul, bisa aja kalau muji, Elis, 'kan jadi GR," sahut Elis agak malu-malu.

"Ehm!" Jeni berdehem agak keras, supaya Elis tidak melupakan jika ada kami di kosannya.

"Eh iya, Kak! Sampai lupa kenalin nih, teman-teman aku!" ucap Elis.

"Oh, hay," Julian menyapa kami.

"Hay, Kak," sahut Jeni seraya mengulurkan tangannya. Dan dilanjutkan aku yang juga menjabat tangan Julian.

Saat pertama aku menatap wajah pria itu, menurutku ada yang aneh.

Wajahnya memang sangat tampan, bahkan lebih tampan dari Bagas dan Dion, apalagi dari Dino, eh! Dino tidak termasuk! Cih! Langsung dieliminasi ...!

Sorot mata Julian seperti menyiratkan sesuatu yang tengah ia sembunyikan.

Entah apa itu? Dan aku juga merasa jika dia bukan pria baik-baik seperti yang dibilang oleh Elis.

Kecurigaanku ini memang tanpa dasar, murni hanya perasaan yang muncul dari dalam hati.

"Nama kamu siapa?" tanya Julian, dan tak sadar aku sampai melamun kerena memikirkan hal ini.

"Eh, Melisa, Kak!" sahutku sedikit kaget.

"Wah, nama yang bagus!" pujinya.

Aku mengangguk dengan sunyuman paksa.

"Makasi atas pujiannya, Kak!" sahutku.

Lalu pandangan Julian berpindah pada Elis.

"Eh, Elis, nanti malam kamu ada acara enggak?" tanya Julian pada Elis.

"Enggak sih, Kak? Ada apa ya?"

"Nanti temenin aku makan malam yuk! Kebetulan aku lagi dapat dua vocer makan gratis di restoran baru depan mall!" sahut Julian.

"Wah, mantap, Kak!" Elis mengacungkan ibu jarinya.

"Jangan mantep-mantep aja, kamu mau enggak makan bareng aku?" tanya Julian.

"Wah ya mau dong, Kak!" sahut Elis dengan kencang dan penuh semangat

"Ok, nanti jam delapan malam kita berangkat ya?" kata Julian.

"Iya, Kak! Siap!" jawab Elis.

Lalu Julian berlalu pergi, dan Elis masih tersenyum-senyum sendiri dengan kedua pipi yang memerah. Dia benar-benar seperti tersihir oleh paras tampan seorang Julian.

Sementara aku dan Jeni saling memandang satu sama lain, pandangan Jeni juga terlihat aneh dari biasanya.

'Apa, Jeni, juga merasakan hal yang sama denganku ya?' Dalam hatiku mulai bertanya-tanya.

"Loh, kalian kok malah bengong aja sih?" tanya Elis, "gimana menurut kalian?"

"Emmm, gimana ya?" Aku agak bingung untuk menjawab pertanyaan Elis. Tidak mungkin jika aku melarang Elis agar tidak mendekati Julian lagi. Apalagi kecurigaanku ini tanpa dasar, dan tanpa bukti yang nyata.

"Lis! Kayaknya kamu kudu hati-hati deh sama, Julianl!" ujar Jeni. Dia malah sudah menunjukkan ketidaksukaannya pada Julian secara terang-terangan.

Mendengarnya Elis merasa sedikit bingung.

"Kenapa emangnya?" tanya Elis pada Jeni.

"Ya enggak, tuh cowok kayak aneh aja gitu," jawab Jeni.

"Aneh gimana? Hidung satu ada dua lubang? Mulutnya satu dalamnya ada gigi juga? Apanya yang aneh? Julian normal kali, Jen!" ujar Elis dengan nada bercanda.

Jeni mendesis kesal mendengar ucapan Elis, "Astaga!" Jeni menempelkan telapak tangannya di bagian kening Elis, "mau enggak otaknya Elis, Jeni kompres pakek es batu?" ujar Jeni dengan gemas.

"Haha! Apaan deh, Jen! Habisnya elu jadi orang prasangka buruk terus sih," ujar Elis.

Lalu aku menimbrung pembicaraan Jeni dan Elis.

"El, kalau menurut gue apa yang dibilang Jeni itu ada benarnya juga tahu, elu harus hati-hati sama tuh, cowok," ujarku.

"Hati-hati untuk apa sih? Kalau sama cowok ganteng itu gak perlu hati-hati," sahut Elis dengan santainya.

"Ah udah ah, ngomong sama Elis mah bikin emosi aja!" sengit Jeni.

"Haha! Iya, Jen, Mel, gue dengerin kalian kok, pasti gue juga bakalan hati-hati, termasuk sama cowok seganteng Julian sekalipun!" ujar Elis.

"Nah gitu dong!" kataku sambil menepuk pundak Elis.

Akhirnya rasa penasaranku dan Jeni sudah terobati, kami sudah bertemu dengan Julian, dan pria itu memang tampan.

Hanya saja pikiran kami jadi tak tenang, aku dan Jeni takut jika Julian itu memiliki niat tertentu dengan cara mendekati Elis.

Tapi yasudahlah, aku dan Jeni tidak bisa terus berpikiran buruk terhadap Julian, lagi pula Elis juga berjanji akan berhati-hati terhadap Julian.

Sore harinya aku dan Jeni berpamitan untuk pulang.

"El, kita pulang dulu ya," ujar Jeni.

"Iya, El, nanti malam kalau jadi pergi sama Julian kamu tetap harus hati-hati ya?" ujarku.

"Iya, Mel! Jangan bawel deh!" sahut Elis.

"Huh, dikasih tahu juga!" ocehku.

"Iya, Mel Sayangku!" ujar Elis seraya mencubit pipiku dengan gemas.

***

Sepulang dari kosan Elis, aku mampir ke mini market.

Seperti biasa aku membeli beberapa makanan ringan untuk persediaan nanti malam, dan beberpa produk kosmetik.

"Mbak Mel," Tiba-tiba terdengar suara yang tak asing menyapaku.

"Bagas?"

"Hay, Mbak Mel," sahutnya sambil tersenyum.

"Kok kamu bisa ada di sini sih?" tanyaku.

"Iya, Mbak, Bunda lagi sakit katanya kangen makanya aku datang ke Jakarta," jawabnya.

"Ow," Aku mengangguk paham.

"Mbak, aku tadi ke rumah Mbak Mel, tapi Mbak Mel, gak ada,"

"Iya, Gas! Aku tadi ke kosan Elis," sahutku.

"Oww,"

Entah aku merasa senang atau merasa sedih atas kedatangan Bagas, jujur aku masih takut jika Bagas membahas tentang perasaannya kepadaku.

Andai saja dia tidak menyukaiku, mungkin aku akan bersikap biasa saja terhadap Bagas, dan aku juga tidak akan merasa terusik seperti ini.

"Mbak Mel, kenapa diam aja? Mbak Mel, gak suka ya aku ada di sini?" tanya Bagas.

"Eh, eng-gak kok! Aku suka!" jawabku sedikit terbata-bata.

"Terus kenapa, Mbak Mel, kayak terbebani begitu? Mbak Mel, masih mikirin tentang perasaanku kepada, Mbak Mel, ya?" tanya Bagas.

Dan mendadak suasananya menjadi hening.

"Mbak Mel jangan mikirin itu, tolong anggap aku tidak pernah mengatakan apapun sama, Mbak Mel. Lagi pula sekarang aku sudah belajar mencintai Laras kok. Dia gadis yang baik, dan dia juga sangat perhatian kepadaku," pungkas Bagas.

"Maaf ya, Gas," ucapku.

"Maaf untuk apa? Mbak Mel, 'kan gak salah?"

"Ah, iya sih tapi—"

"Mbak, nanti malam jalan-jalan yuk! Mumpung aku masih di Jakarta!" ajak Bagas.

"Ah, gitu ya?" Aku sedikit ragu untuk menerima ajakan Bagas, tapi setelah kupikir-pikir tak ada salahnya juga, "ok, aku mau, Gas!" jawabku.

Bersambung ....