webnovel

4: Sakit Hati

Sesampainya di rumah, Jingga langsung berlari menuju kamarnya, tak memperdulikan sekitarnya. Bahkan dia mengabaikan panggilan abangnya yang tengah berada di sofa ruang keluarga.

Jingga tak perduli dengan Arka yang pulang lebih awal darinya, padahal sesuai pendengarannya tadi abangnya itu menemani kakaknya Jihan di cafe. Yang ada di pikiran Jingga saat ini hanya ada keinginan untuk ke kamar dan menenangkan dirinya di dalam sana.

Brak

Pintu kamar gadis itu ditutup sendiri dengan sedikit kasar, persetan jika kedua orang tuanya mendengar atau abangnya yang akan mengadu pada kedua orang tuanya jika dia hampir saja merusak pintu kamarnya sendiri.

"Kenapa tuh bocah," gumam Arka setelah panggilannya tak direspon oleh Jingga dan telinganya yang mendengar suara gebrakan pintu yang dia yakini berasal dari kamar Jingga.

Awalnya Arka acuh, tapi setelah beberapa detik keningnya mengerut seperti berpikir, dia akhirnya memutuskan bangkit dari sofa dan melangkah menaiki anak tangga dengan tujuan ke kamar adiknya Jingga.

"Apa dia ngambek sama gue gara-gara gue nolak ajakan dia tapi gue malah nawarin ke Jihan buat ditemenin ke cafe?" gumam Arka di sela-sela dia menaiki anak tangga.

"Yang bener aja, baperan amat tuh bocah!" lanjut Arka dengan dugaannya yang sepenuhnya salah.

"Lah dikunci," gumam Arka lagi ketika dia sudah sampai di depan kamar Jingga, tapi sayangnya pintu kamarnya dikunci dari dalam.

Tok tok tok

Walau Arka terkesan lebih sayang ke Jihan dan terkesan tak menyayangi adik bungsunya, tapi lelaki itu masih ada rasa peduli pada adik bungsunya itu walau dia sering kali ikut andil dalam membandinh-bandingkan kedua adiknya seperti apa yang sering kali dilakukan oleh kedua orang tuanya.

Beberapa kali Arka mengetuk pintu kamar Jingga, tapi sang pemilik kamar seolah tuli tak mendengar suara ketukan pintu kamarnya, padahal kamar gadis itu bukanlah kamar yang kedap suara.

"Ck! Woe! Buka pintunya!" Arka berteriak setelah dia berdecak kesal akibat sudah berkali-kali mengetuk pintu kamar Jingga tapi gadis itu tak kunjung merespon atau setidaknya menjawab.

"Anjir! Bodoamat lah! Lagian juga gak penting kalo dia ngambek!" umpat Arka terlanjur kesal dan langsung berlalu dari sana dengan langkah lebar, kembali menuruni anak tangga menuju lantai satu.

Sedangkan di sisi lain Jingga kini tengah menenggelamkan wajahnya di bantal dengan posisi dia tengkurap di atas ranjang setelah dia meletakkan kertas hasil fotocopyannya dan ponselnya dengan asal di atas nakas.

Sejak tadi Jingga sudah mendengar suara ketukan pintu dari luar dan teriakan dari abangnya itu, untuk kali ini Jingga tak akan memikirkan perasaan orang lain, dia butuh ketenangan dan kesendirian untuk sementara waktu sebelum dia mempersiapkan diri jika bertemu dengan Langit.

"Hiks hiks." Jingga menumpahkan air matanya di bantal yang menutupi wajahnya yang memerah penuh air mata.

Bahkan bantal yang dia gunakan untuk menenggelamkan wajahnya pun terlihat sudah basah akibat air matanya sendiri.

"Jahat banget sih!" gumam Jingga dengan suara teredam bantal.

Kalimat tersebut sebenarnya ditujukan untuk Sindy. Jingga tak habis pikir dengan sepupunya itu yang merebut Langit setelah merebut perhatian keluarganya. Bahkan beberapa kali kedua orang tuanya sendiri atau kedua kakaknya lebih memilih membela Sindy atau bahkan memuji gadis yang dia anggap bermuka dua itu dari pada dirinya sendiri yang notabenya keluarga kandung.

Sedetik kemudian Jingga bangkit dari posisinya menjadi duduk bersandar pada kepala ranjang. Dia menghapus air matanya dengan kasar. "Semua yang terjadi sama aku asalnya kayaknya dari Sindy, aku baru sadar kalo selama ini Sindy selalu caper dan cari muka sampe Langit kecantol sama dia," gumam Jingga dengan pikiran melayang ke beberapa kejadian yang pernah dia lihat sebelumnya dimana perlakuan Langit ke Sindy yang menurutnya janggal hanya sebatas teman.

(Flashback on)

Jingga dengan tergesa-gesa menuju parkiran sekolah saat bell pulang telah berbunyi. Di tangan kanannya ada beberapa tumpuk buku pelajaran. Sedangkan tangannya yang menganggur merapikan rambutnya yang sedikit acak-acakan akibat hembusan angin.

"Semoga aja Langit gak terlalu lama nunggunya," gumam Jingga dengan suara pelan.

Gadis itu memang sedikit lambat keluar dari kelasnya dari temannya yang lain karena besok adalah jadwal piketnya. Biasanya memang semua siswa-siswi yang piket di keesokan harinya akan piket dihari ini setelah jam pelajaran selesai. Jadi keesokan harinya jika salah satu dari mereka ada yang terlambat, mereka sudah piket dan tak mendapatkan denda berupa membayar uang yang telah dijanjikan.

Saat Jingga hampir sampai di parkiran, keningnya mengerut ketika melihat pemandangan di depan matanya. Tak jauh darinya ada sepupunya yang terlihat tengah berbicara dengan Langit di samping motor pacarnya itu. Ditambah wajah Sindy yang terlihat memelas membuat Jingga semakin penasaran dengan apa yang menjadi obrolan pacarnya dan sepupunya itu.

"Mereka ngomongin apaan ya? Muka Sindy juga ngapain melas banget gitu coba?" gumam Jingga melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti tadi.

Namun, saat hampir sampai di hadapan Langit dan Sindy, Jingga tiba-tiba menghentikan langkahnya saat melihat Langit yang mengelus rambut Sindy dengan lembut dan dengan senyuman yang teroatri di wajah tampannya.

Hati Jingga seketika panas, ditambah dia juga melihat raut wajah Sindy yang langsung sumringah dan tersenyum malu-malu saat diperlakukan seperti itu oleh Langit.

"Huffhh! Aku gak boleh mikir macem-macem, Langit kan nganggap Sindy kayak adik sendiri," gumam Jingga setelah dia menghela nafas pelan.

Walau dipikirannya sudah bersarang berbagai macam pikiran negatif tentang mereka berdua dan juga hatinya sudah panas melihat kedekatan keduanya, Jingga tetap berusaha berpikir positif dan mempercayai ucapan Langit.

"Langit," panggil Jingga dengan memaksakan senyum manisnya.

Seketika Langit dan Sindy langsung menoleh ke arah sumber suara. Langit yang terlihat langsung menjauhkan tangannya dari kepala Sindy, sedangkan Sindy yang langsung menunduk menyembunyikan senyumnya.

Sebelum Jingga angkat suara lagi, Langit lebih dulu maju mendekati Jingga. "Sayang aku minta maaf ya gak bisa nganterin kamu," ujar Langit membuat kening Jingga semakin mengerut dengan wajah kebingungan.

"Kenapa?" tanya Jingga langsung dengan tatapan beralih ke arah Sindy yang hanya diam-diam tersenyum penuh kemenangan tanpa dia sadari.

'Apa karena Sindy?' batin Jingga sebelum dia mendengar jawaban dari Langit sendiri yang membuatnya sakit hati.

"Aku nganterin Sindy ke perpustakaan kota, dia mau nyari buku di sana tapi gak ada yang nganterin," jawab Langit dengan santainya, terkesan tak memikirkan perasaan pacarnya.

"Kenapa harus kamu? Naik ojol kan bisa?" tanya Jingga lagi dengan tatapan beralih menatap Sindy yang memasang wajah memelas.

"Em aku sebenernya rada takut kalo naik ojol kak, tapi kalo kakak gak ngijinin kak Langit buat nganterin aku gak papa kok, ak–"

"Udah, gak papa Sindy, sekali-kali gak papa aku anterin, lagian Jingga kan bisa minta jemput supir iya kan?" potong Langit membuat Jingga diam membisu.

'Jadi aku bukan prioritas dia? Lebih pentingan Sindy dari pada aku?' batin Jingga tersenyum miris.

Dalam diam Sindy tersenyum penuh kemenangan disaat Jingga hanya mengangguk pasrah.

(Flashback off)