Isabella berada didalam kamar ayahnya. Sebuah kamar yang lebih besar dari kamar miliknya.
Dekorasi mewah dengan konsep minimalis, dan menurutnya terlalu beraroma "laki-laki".
Isabella sedang berjalan tidak terarah, berpikir apa yang sedang terjadi antara dia dan ayahnya?
Saat ini dia sudah mengenakan mantel tidur milik David, tidak terbiasa karena harus melihat dada ayahnya sendiri, atau sebenarnya untuk kondisi yang sekarang...
Bisa dikatakan kalau saat ini tubuh ayahnya adalah tubuhnya juga, dan berarti dada ayahnya adalah dadanya sendiri.
"Ahh... Aku baru ingat!" seru Isabela. Dia segera menuju tempat tidur.
Mulai mengacak-ngacak selimut dan bantalnya, mencari sesuatu yang harusnya bisa ia temukan.
"Dimana batu itu?" ucap Isabela dan terus mencari.
"Tunggu! Uhm... Semalam aku masih berada ditubuh asliku, itu berarti batu itu ada di ..." Isabella menegakkan wajahnya, tubuh tegap milik ayahnya masih berada diatas tempat tidur.
"Kamarku!" seru Isabella.
***
Sebelum Nana Meninggal Dunia.
Isabella membuka kamar jendelanya, menatap langit malam yang penuh dengan bintang yang bersinar dengan indah. Dia mengingat satu hari sebelum Nana meninggal dunia, membuat perayaan ulang tahun yang sangat sederhana.
"Cepat buat permintaanmu, karena siapa tahu ada peri baik hati yang akan mendengar dan mengabulkan permintaanmu, Bella," ucap Nana riang.
Mereka memandang kue ulang tahun Isabella yang memiliki bentuk indah. Kue ulang tahun dengan krim putih yang tebal, ditambah hiasan buah strawberry yang banyak serta beberapa potongan kiwi hijau yang segar.
"Apapun itu, sungguh? Boleh aku membuat permohonanku sendiri, Nana?" Tanya Isabela.
Nana yang ada disampingnya mengangguk pelan dan tersenyum. "Tentu saja...Apapun itu Bela cantik." Jawab Nana. "Tapi tidak boleh jika itu sesuatu yang buruk mengenai ayahmu,ok! Kau harus berjanji padaku," lanjut Nana karena sudah bisa menebak apa yang dipikirkan oleh Isabella.
"Ah... Tidak asik jika seperti itu, Uhmm... Baiklah aku akan memikirkan permintaan lainnya," ucap Isabela dan mulai memejamkan kedua matanya.
"Tuhan dan peri baik hati. Apakah mungkin jika aku bisa hidup bahagia bersama dengan Nana dan... ya ayahku yang jahat?" Mata Isabella menjadi sinis, ketika dia mengingat sosok David.
"Tapi... jika kau tidak melakukannya. Aku mohon, tolong lakukan sesuatu. Sungguh aku tidak tahan seperti ini, seandainya ayah tahu betapa sedih dan sulitnya menjadi diriku." Batin Bella yang masih memejamkan matanya.
"Mungkin... jika hal itu bisa terjadi. Sepertinya dia bisa sedikit mencintaiku. Yeah... mungkin saja." Nayla menyeringai dan masih memejamkan matanya.
Nana memperhatikan dengan seksama. "Apa kau sudah membuat permintaanmu, Bella? Jika sudah, kau harus segera meniup lilin ini. Aku tidak ingin jika kue ini terbakar, ataupun gosong." Nana mengingatkan kembali.
Isabella dengan cepat meniup lilin ulangtahunnya.
"Fuhh..."
Satu kali tiupan Isabella, telah berhasil memadamkan api pada lilin.
"Bella? Apa yang ada di tanganmu?" Tanya Nana, membuat Isabella membuka kedua matanya.
"Ini?" Isabella membuka telapak tangan kanannya.
Dia menunjukkan batu hijau yang mirip dengan kristal. Ukurannya sangat pas pada genggaman tangan Isabella.
"Ini adalah batu yang kutemukan dihalaman belakang sekolah. Aku pernah bercerita padamu Nana. Apa kau lupa?" tanya Isabella sambil memperlihatkan dengan semangat.
"Oh... batu itu. Ya, aku ingat. Sebuah batu ajaib, bukan? Batu milik seorang peri cantik, sama sepertimu karena kau adalah Putri Bella yang cantik." Ucap Nana menahan geli.
Dia ingat bagaimana Isabella menceritakan kalau dia bertemu dengan peri kecil di belakang halaman sekolah. Sehingga Nana berpikir jika itu hanyalah imaginasi Isabella.
"Simpan batu itu dengan baik, jika itu memang sangat berharga untukmu," ucap Nana tersenyum.
Baru saja Isabella merayakan ulang tahunnya yang keempat belas, tapi keeseokan harinya ia terkejut dengan Nana yang sudah pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya.
Nana ditemukan tidak bernyawa dalam tidurnya, kediaman Mahendra geger dengan berita duka kepergian Nana.
Hari itu menjadi hari yang menyedihkan bagi Isabella, usai berdebat dengan ayahnya di pemakaman.
Isabela memutuskan untuk menjauh dari semua orang. Hujan deras tidak menghentikan langkah kakinya untuk terus berlari menjauh, sampai akhirnya ia menemukan pohon rindang dan terus saja menangis dibawah pohon yang ia temukan.
Letaknya tentu saja tidak jauh dari tempat pemakaman Nana.
Felix pengawal pribadinya menemukan Isabella. Kemudian memayungi Bella yang masih saja bersedih. "Nona Bela, ayo kita pulang," ajak Felix dengan penuh simpati.
"Mengapa? Mengapa Dia mengambil Nana, mengapa bukan ayahku saja?" tanya Isabela lantang dan bersungguh-sungguh dengan perkatannya.
Suara gemuruh petir terdengar keras, kilau cahaya yang terang tidak membuat Isabella takut.
Dia menatap wajah Felix, pria itu masih mengulurkan payung yang terbuka untuknya.
"Nona Bela, ayo kita pulang." Ajak Felix. Dia melepaskan jasnya agar bisa menutupi tubuh Isabella yang mulai basah.
Isabella akhirnya menurut akan ajakan Felix, dia pulang kerumah terpisah dari ayahnya.
Saat ini ia tidak memiliki pilihan lain, dan tidak tahu harus pergi kemana selain rumahnya sendiri.
Aneh sekali? saat ini hanya ada dia dan juga ayah yang paling ia benci dirumah besar tersebut.
"Nona Bela..?" Pekik Lily terkejut.
Pelayan wanita muda itu menatap terkejut, memandang kesal pada Randy yang ada disamping Isabella. Seolah-olah menyalahkannya, yang membiarkan Isabella menjadi basah kuyub.
Segera saja Liana mengambil handuk dan memberikannya pada tubuh Isabella yang basah.
"Nona Bella, kau bisa sakit jika seperti ini." Lily berucap seperti terisak, dengan mata berkaca-kaca. Ia mengusap wajah Isabella dengan perlahan, dan memberikan tatapan kesedihan dan penuh empati.
"Lily... Hk...hk...." Tiba-tiba Isabella memeluk pelayan wanita itu, kembali ia menangis dengan penuh histeris.
"Nana... Nana sudah tidak ada, Lily. Kenapa Nana pergi meninggalkanku?" Pekik Isabela masih terus menangis dalam pelukan Lily.
Lily sudah mengajak Isabella kembali kekamarnya untuk berisitirahat, serta membantu nona muda itu untuk membersihkan diri, mengganti pakaian dan menyisir rambutnya yang biasanya dilakukan oleh Nana.
Setelahnya membaringkan tubuh Isabella diatas kasurnya yang empuk, dan memberikan kecupan pada kening Isabella.
"Selamat tidur Nona Bella, mimpi yang indah," ucap Lily sambil mematikan lampu tidur.
Tepat ketika pintu kamar Isabella tertutup, dan gelap mulai menghampirinya. Entah mengapa air mata itu bisa muncul kembali, membuat bantalnya dengan cepat menjadi basah.
Sebenarnya Lily masih berada dibalik pintu kamar Bella, ia sendiri tidak bisa menahan airmatanya untuk terlalu lama. Sungguh ia pun bersedih dengan kepergian Nana, hanya saja dia tidak ingin menunjukkannya dihadapan Isabella.
Lily menyeka air matanya, ketika dia masih berada dibalik pintu. Menarik napasnya dengan dalam dan panjang. Samar-samar ia bisa mendengar isak tangis Isabella dari dalam kamar, sungguh menyayat hatinya saat itu.
Masih dimalam yang sama, didalam kamar David. Pria itu sedang duduk pada tepi tempat tidurnya. Berbeda dengan yang dilakukan oleh Isabela, dia tidak menangis sama sekali. Tapi hanya terus diam dan sedang berpikir sesuatu.
"Apa ini rasa sedih?" Tanyanya pada dirinya sendiri.
Tidak mungkin ini perasaan sedih, karena dia tidak pernah menyayangi ibu tirinya. Dia sangat membenci hingga tulang rusuknya, dan bukankah harusnya perasaannya menjadi senang? Karena wanita itu sudah menghilang untuk selama-lamanya.
Tapi ada perasaan aneh yang tidak bisa ia ungkapkan, bukan senang dan bukan juga sedih. Rasanya hampa? Tapi mengapa?
Di malam yang sunyi pada kediaman Mahendra yang besar, anak dan ayah itu tidak bisa tidur pulas. Tubuh mereka memang sedang berbaring pada kasur empuk, tapi pikiran mereka terus saja berputar-putar.
Dan diluar sana... Sebenarnya ada sosok yang sedang mengamati, sosok yang bersembunyi dalam kegelapan.
Dia tahu kalau ada kesedihan yang sedang melanda keluarga itu, dan dia bisa mendengar setiap bisikan yang terucap pelan, yang keluar dari mulut dan perasaan ayah dan anak itu.
"Uhmm... Sepertinya aku harus mengabulkan permintaannya," ucap sosok tersebut menyeringai senang.
Sosok itu menjetikkan jarinya, dan muncul sinar putih berkilau hasil dari jentikan jarinya.
"Aku mendengar permintaanmu Isabella," ucapnya sambil meniupkan sinar putih tersebut.
Sinar putih itu melayang diudara, dalam perjalanannya menuju kediaman Mahendra. Sinar putih itu terpecah menjadi dua bagian, masuk melalui jendela kamar dan bisa menembus bagaikan sebuah sihir.
Satu sinar putih masuk kekamar Isabella, dan satunya masuk kedalam kamar David.
Sosok itu masih mengamati dari kejauhan, ia sedang duduk pada batang pohon mengayunkan kedua kakinya. Sebuah pohon besar yang berada dipekarangan milik Kediaman Mahendra.
"Semoga kisah ini berakhir dengan bahagia," ucapnya. Perlahan sosok itu pun menghilang dalam gelapnya malam.