2 Theresia's Plan

Di dalam kelas

Seorang perempuan paruh baya berkacamata, kini tengah mengajar yang mana mahasiswa dan mahasiswi tengah menyimak segala yang dikatakan olehnya. Theresia dan Irina duduk nomor tiga dari depan, agak ke tengah, dengan tatapan serius. Kelas yang dihadiri oleh tiga puluh orang itu terasa hening, karena tidak ada satupun yang bicara.

Ketika sesi tanya jawab dibuka, Irina yang dianggap gadis paling aneh tak lupa ikut menyumbangkan pertanyaan. Beberapa mahasiwa dan mahasiswi pun melakukan hal yang sama.

Para mahasiswa dan mahasiswi terlihat antusias dengan kelas Professior Luziana, karena memang apa yang mereka hadiri hari ini adalah subject yang telah diatur oleh mereka di semester sebelumnya.

"Oke, kalau begitu saya akan memberikan task dan harus dikumpulkan satu minggu lagi di hari yang sama di kelas ini. Kalau ada kesulitan, bisa datang untuk konsultasi." Professor Luziana berkata kepada seluruh mahasiswa dan mahasiswinya.

"Baik, Professor," jawab mereka yang mengikuti kelas.

Professor pun menulis di white board, kemudian satu per satu mencatat apa saja yang ditugaskan oleh mereka. Tak ada suara yang terdengar, karena semua tampak fokus mencatat tugas yang akan mereka kerjakan dan dikumpulkan di minggu selanjutnya.

Theresia melirik ke arah temannya, yang tampak tenggelam dengan kesibukan yang ada. Dia tak bisa mengerti, mengapa teman baiknya itu sama sekali tak ada niat untuk memperbaiki diri, tapi suka mengeluh jika tak mendapatkan kekasih.

Aku heran dengan Irina. Dia tidak jelek, cantik malahan, akan tetapi pola pikir sama dengan remaja belasan tahun, no, the teenager are much better than my best friend. Teenager di negara Zareath, tepatnya kota Palsa saja tahu, bagaimana dress properly. We are mostly stylish, fashionable, and yet elegant. Kaca mata bisa diganti yang modis, baju yang dikenakan bisa disesuaikan, begitu pula celana jeans yang somehow ugly to wear. Yaiks! For the sake of fashion and finding a new love to Irina, what should I do to make her dress according weather and of course fashionable, batin Theresia kesal.

Gadis berambut pirang kecoklatan, dengan sepasang mata berwarna emerald yang tengah menulis itu, tiba-tiba merasakan pandangannya menjadi buram, sehingga kini terpaksa harus melepas kaca mata yang membingkai wajah ovalnya.

Kenapa pandangan mata jadi tak enak, ya? Untung saja, sempat menyelesaikan catatan, karena apabila tak seterutama saat melihat ke arah white board yang mana terdapat catatan untuk tas dari Professor Luziana. Mungkin setelah pulang kuliah, aku akan mampir ke optik, sekaligus memeriksakan kondisinya, siapa tahu minus bertambah. Sayang sekali liburan musim panas sudah selesai, jadi tak bisa ke rumah sakit untuk operasi lasik. Tapi, waktu itu aku malah bekerja, supaya bisa mengumpulkan uang untuk kehidupan sehari-hari, pikirnya sedih.

Theresia yang duduk persis di sebelah Irina, melihat pemandangan itu, kemudian memutar otak, supaya sahabat yang dikenal sejak kecil, tak selamanya dikucilkan, hanya karena selera berpakaian yang 'aneh' for their society.

Irina itu cantik tanpa kaca mata aneh, baju yang out to date, dan kalau saja rambutnya terurai atau dibuat gaya, tentu akan lebih menarik. Semua gadis di kota ini, setidaknya pernah memiliki kekasih, bahkan banyak juga yang tinggal bersama, dan tak sedikit yang bertunangan setelah satu tahun tinggal seatap. Tahun ini, aku dan Orlando akan bertunangan, itu berarti akan menikah sesuai yang telah direncanakan. Kalau diriku menikah, sudah pasti kegiatan untuk dengan Irina berkurang, masa aku diam saja melihat sahabat sendiri tak laku? Well she is very pretty indeed. Ah, I know what I have to do! Batin Theresia girang.

Tak lama, terdengar suara bel yang menandakan kelas hari itu telah selesai. Sebagian besar mahasiswa dan mahasiswi memasukkan buku-buku, serta laptop ke dalam tas, ada pula yang telah selesai membereskan barang bawaan, sehingga langsung keluar kelas.

Theresia memasukkan semua barang yang dibawa. Ia sama sekali tak memerhatikan sekeliling, karena terlau fokus dengan apa yang ada, sehingga ketika semua telah beres, ia ingin segera keluar dari sana. Akan tetapi, betapa terkejutnya gadis cantik nan seksi itu, karena melihat Irina terlihat kesulitan untuk mengambil benda-benda, seolah apa yang ada jauh dari jangkauan.

"Kamu kenapa?" tegur Theresia.

Gadis berambut merah itu menyibakkan rambut yang memang sengaja dibiarkan terurai, sehingga menarik perhatian bagi siapa saja memandang. Irina yang ditegur, langsung mengalihkan pandangan ke arah sumber suara. Ketika menatap Theresia, yang dilihat hanya bayang-bayang, tak terlalu jelas.

"Ini, aku merasa tak enak saat selesai mencatat task dari Professor, sehingga kaca mata yang biasa dipakai harus dilepas dulu. Tadi sudah kucoba untuk memakai kaca mata, tapi jadi pusing. Sekarang, mau pulang juga sulit, karena memang tak bisa melihat dengan jelas," ucap Irina.

Sebagai sahabat yang baik, terselip rasa kasihan, sekaligus tak tega, sehingga niat untuk keluar kelas diurungkan. "Oke, aku bantu. Hari ini, kau ada berapa kelas? Biar nanti kubantu ke optik yang sudah biasa menjadi langgananmu. Mungkin saja, minus mata telah bertambah, jadi yang terjadi lensa tak sesuai dengan kebutuhan matamu," sahut Theresia.

"Ya, mungkin saja. Aku sudah lupa kapan terakhir kali memeriksakan mata, jadi sekarang seperti ini. Hari ini? Seharusnya hanya satu kelas saja, karena untuk semester kali ini aku tak ambil banyak subject. Harus kerja part time di coffee shop dan membeli makanan untuk Nana. Kamu ada berapa kelas hari ini?" tanya Irina.

Untung saja memiliki sahabat yang baik, meskipun terkadang suka bertengkar, karena perkataannya yang pedas. Aku lebih baik memilih memiliki seorang sahabat yang mengatakan secara terus terang apa kesalahan di depan, daripada lain di mulut lain di hati, batin Irina tenang.

Theresia memasukkan semua buku, termasuk pena yang dipakai oleh Irina, ke dalam tas sahabatnya. Gadis itu merasa heran, karena temannya tak mau mengganti kaca mata yang memang tak nyaman dengan soft lense.

Inilah kenapa aku geram ingin membuat Irina berubah. Urusan sekolah dan kuliah boleh lancar, akan tetapi kalau hal lain, tentu saja membutuhkan orang lain. Sabarkan dirimu, Theresia. Kalau begini, ide yang sudah muncul di kepala, harus segera dijalankan, batin Theresia, setengah jengkel.

"Aku ada tiga kelas hari ini. Kau mau menunggu? Paling semuanya selesai jam 14:00, itupun kalau mau. Kerja part time dimulai jam berapa? Kalau aku terlalu lama, kau bisa pergi terlebih dulu." Theresia menjawab pertanyaan teman baiknya itu.

Ada nada sangsi di sana, karena dia sendiri merasa tak yakin, kalau si gadis nerd akan sampai ke optik yang jaraknya tak bisa dibilang dekat. Aku memang tak bisa membantu, bukan karena tidak mau, tapi memang jadwalnya bertabrakan dengan kelas. Maafkan aku, Irina, lirih Theresia.

Irina tercenung, karena merasa tak bisa pergi sendiri, namun jam kerja akan dimulai seusai makan siang, sehingga gadis cantik berhidung mancung itu menjadi ragu untuk menunggu Theresia.

"Aku akan mencoba pergi sendiri. Hari masih pagi, jadi tak ada masalah, karena nanti akan berjalan pelan-pelan." Irina berkata dengan lembut.

"Are you sure?" tanya Theresia dengan nada ragu.

Bagaimana bisa dia berjalan dengan benar? Memang hari masih pagi dan untung saja matahari cukup terik, sehingga bisa melihat dengan jelas, tapi Irina? Ah, seandainya dia punya pacar, tak akan jadi seperti ini, gumam Theresia di dalam hati.

"I am sure and I will be fine," jawab Irina tenang.

"Oke. Ini semua barangmu sudah masuk ke dalam tas, termasuk kaca mata. Kau membawa dua tas, apakah tidak berat?" Theresia berkata, seraya menyerahkan tas-tas tersebut kepada Irina.

Irina menyambut dengan baik, karena merasakan tangan kanannya dipegang oleh Theresia, lalu menaruh tas di situ. Gadis bermata emerald itu hanya menggeleng, kemudian membawa kedua tas yang dibawa, sehingga tak jatuh. "Tidak berat, karena laptopku juga ringan.Setelah ini, akan ke loker untuk menaruh buku, baru ke optik. Jam kerjaku dimulai pukul 13:00 sampai jam 17:30. Aku ambil sedikit lembur, karena hari ini ada acara di sana," terang Irina.

Theresia hanya menatap iba, lalu tanpa banyak bicara ia bangkit berdiri, seraya menarik tangan kiri Irina. Gadis itu terlihat kaget, namun sudah biasa dan merasa tak marah sama sekali.

Untung saja, aku sudah hapal dengan kelakuan Theresia. Bagi yang tidak mengenal, sudah pasti akan mengira dia marah atau kasar, tapi itu tidak benar, karena memang beginilah cara dia membantu, pikir Irina.

Mereka pun keluar dari kelas, kemudian Theresia membantu Irina menuju loker, karena merasa tak bisa melepaskan pengawasan, kepada teman karib sejak kecilnya itu.

***

avataravatar
Next chapter