webnovel

Pilihan yang serba salah.

KU sunggingkan bibirku kala mengingat kebod*han yang aku alami. Jika aku bisa melakukan nya, akan aku tampar keras-keras wajahku untuk menyadarkan aku dari ketidaktahuan waktu itu.

Mengelus dada, hanya itu hal yang mampu aku lakukan saat ini. Mau lari atau memberontak sudah tidak bisa aku lakukan karena kini aku sudah bukan wanita baik-baik lagi.

Sudah kepalang tanggung, aku harus tetap berada di sini demi mendapatkan uang untuk pengobatan orang tuaku. Belum lagi Ara masih sekolah, sudah pasti membutuhkan biaya yang tidak sedikit. 

Apalagi aku ingin dia selesai kuliah hingga dia menyandang gelar sarjana, supaya cita-cita ku menjadi pramugari tercapai meskipun bukan aku yang menyandang nya.

Semangat ku untuk membuat Areska sukses bukan main-main, pengorbananku selama ini tidak pernah aku keluhkan sebab rasa sayang ku lebih besar kepadanya walau aku tahu Areska bukan saudara sedarah.

Melihat gadis di pelukanku, jadi mengingatkan aku kepada Ara. Wajahnya, tatap nya, bibirnya yang suka dimajukan ketika marah karena ingin di manjakan oleh ku, semakin nampak jelas di gadis ini.

Aku berpikir bagaimana kalau dia itu Ara? Orang yang kini sedang memohon kepadaku, menginginkan pertolongan dariku itu adalah Areska, apakah aku akan meninggalkan nya? Tidak. Mungkin akan aku akan menjadi murka.

Akan ku buat bangun ini hancur dalam sekejap, dan semua yang terlibat termasuk si wanita pincang itu sudah aku serang dengan ganas.

Mungkin sama halnya dengan ibu dari gadis ini, tidak ada maaf untuk orang yang mengirimnya ke tempat seperti ini dia akan melakukan hal yang sama seperti dalam pikiran ku.

Tidak bisa, aku tidak boleh diam saja. Tidak boleh ada Anes lain lagi! Cukup aku yang terjerumus, jangan ada Wanita lain yang menjadi wanita seperti ku!

Aku bermaksud untuk menyelamatkan gadis yang bernama Reina! sebelum terlambat, dan menjadi menyesal nantinya. Akan aku cari cara untuk melepaskan Reina dari lembah hitam yang kini menjeratku.

Aku Angkat tubuhnya yang masih menyandar di tubuhku, pelukkan nya masih erat aku rasakan, ku buat dia melepaskan lingkaran tangan nya untuk berbicara serius kepadanya.

Wajah polos Reina ku usap penuh kelembutan, supaya aku bisa menghentikan tangisannya.

"Cup, cup, cup! Kau sudahi tangisannya! Supaya kita bisa mudah berpikir. Kita sama-sama cari cara supaya kamu keluar dari tempat ini!" Bisik ku perlahan, seakan aku berbicara sendiri.

Dia menyapu air matanya sambil mendekat kepadaku, terlihat wajahnya mulai sedikit tenang setelah aku berkata demikian.

"Maksud kakak, aku bisa pergi dari sini? Kakak akan membantu ku?" Tanya Reina dengan penasaran.

"Hemmm! Kita coba ya?" Aku anggukan kepala, pertanda meng-iyakan pertanyaan nya.

Dia terlihat sangat bahagia setelah aku berkata akan membantu nya keluar, dia kini terlihat semangat lagi setelah tadi sangat terkulai lemas seakan tidak berdaya lagi.

"Bagaimana caranya kakak bisa melepas kan aku? Tadi aku lihat di luar penjagaannya sangat ketat sekali, mana badannya besar-besar seram lagi. Apa kakak bisa melewatinya, atau kakak memang petarung Wanita yang sangat kuat?" Seru Reina terlihat sangat polos sekali.

Dia menganggap aku petarung dan akan melewati para pria bodyguard yang menjaga ketat di tempat ini. Mana mungkin aku bisa melakukan nya? Bukan hanya kuat, tapi ada banyak sekali para bodyguard yang bertugas.

Mana mungkin aku mampu melawan mereka? melihat bentuk tubuh yang pada berotot, juga sangat tinggi-tinggi rasanya mustahil jika aku mampu mengalahkan mereka.

jangankan membogemnya, untuk melihat wajah nya saja aku sudah harus sangat mendongakkan kepala ku sampai leherku pegal kalau terlalu lama menatap mereka.

Ku buat bibir ini melebar, tersenyum kepada Reina yang terlihat sangat kebingungan dengan ucapan ku yang akan membuat dirinya lepas dari tempat ini.

"Kita lihat saja nanti! Bantu kakak untuk berpikir, supaya bisa membuat kamu pergi dari sini! Sekarang tenang lah, dan tidur saja! Ini sudah subuh, waktunya untuk tidur." Gerutuku sambil ku bereskan bantal yang berserakan di lantai, juga sprei yang tidak beraturan tak terpasang dengan rapi.

Mungkin akibat perbuatan pria yang marah hingga membuat ranjang itu berantakan,  ketika Reina menolak untuk dia Jamah.

"Aku masih takut kak, aku tidak mau tidur!" Reina menggelengkan kepalanya dengan raut wajah takut.

"Tenang saja! Ada kakak disini, akan aku temani kau tidur." Jawabku membuat Reina tidak terlalu ketakutan.

"Benarkah? Kakak akan menemaniku disini? Kau baik sekali padaku." Reina menggenggam tanganku dengan bergetar sambil tersenyum kala menatapku.

"Emm! Sekarang tidurlah yang nyenyak! Buat dirimu lebih kuat lagi, supaya besok kamu bisa pergi!" Pintaku meminta gadis itu mau menutup matanya supaya rasa traumanya hilang untuk sementara waktu ini.

Reina merentangkan tubuhnya di tempat tidur dengan posisinya menghadap ke arah ku, sambil memegang tanganku dengan kuat. Dia sangat menginginkan aku selalu ada di dekatnya, mungkin takut aku meninggalkannya. 

Kupandangi wajahnya yang kini sudah dalam keadaan tenang, dengan sedikit ada sembab di bawah matanya yang membuat kecantikannya sedikit berkurang.

Makin ku tatap, makin ku membayang kan Ara di rumah. Ya, benar Ara. Ya Tuhan, aku melupakan nya kali ini. Aku pulang ke tempat ini, untuk meminta izin Mamy karena mau pulang menjenguk Ara yang kata mamah sedang kurang sehat.

Aku sama sekali tidak mengingat hal itu saking banyaknya pikiran, juga masalah yang menumpuk di kepalaku. Tambah lagi dengan yang sekarang ini, tambah kacau otakku kalau seperti ini.

"Ara? Bagaimana keadaanya sekarang? Kenapa aku bisa sampai lupa, sih...ya ampun?" Aku menepuk jidat ku, dengan sangat keras. Menyesal telah melupakan maksudku yang harus menjenguk adik kesayangan ku.

Aku harus pulang, aku harus menemui Areska! Jangan sampai terjadi apa-apa kepadanya! Aku tidak akan mampu memaafkan diriku sendiri jika sampai itu terjadi.

"Maafkan aku Reina, aku harus meninggalkanmu! Aku minta maaf!" Suaraku mendesah pelan, sambil ku elus wajahnya yang kini sudah tertidur pulas dengan tanganku dipeluknya erat.

Ku mencoba untuk melepaskan tangan, dengan sangat perlahan agar aku tidak membuat dia terbangun dari tidurnya.

Kucoba, dan terus ku coba meski tangan ku susah ku lepas karena pegangan nya sangat kuat sekali. Akan tetapi, itu tidak berhasil. Ku coba lagi, semakin pelan sehingga hampir aku dapat melepaskan pegangan nya.

Setelah berkali-kali gagal, kini tangan ku akhirnya terlepas tanpa membuatnya terbangun. Hingga aku bermaksud cepat-cepat meninggalkan kamar ini, untuk pulang kerumah.

Baru saja aku melangkah, suara cempreng dari luar terdengar nyaring seakan dia dekat. Ku buat  pintu kamar terbuka, ternyata benar wanita itu datang menghampiri kita.

Celingukkan mencari Reina dengan wajah yang sangat kesal.

"Mana anak itu? Kau sudah membujuknya, kan? Apa katanya, dia mau mulai melayani pelanggan malam ini?" Cerocos nya dengan tangan nya dia pasangkan di pinggangnya.

Aku menoleh ke arah ranjang yang ada Reina sedang tertidur, di ikuti si Mamy sambil berjalan mendekat  keranjang tersebut.

Ketika mendapati Reina malah tertidur, wanita ini semakin marah kepada Reina yang katanya tidak berguna itu. Dia menggoyahkan tubuh Reina dengan sangat kasar supaya dia terbangun.

"Hey! Bangun kamu! Enak saja kamu mau tidur di sini, makanya kerja biar banyak duit kalau mau tidur dengan tenang!" Bentak Mamy kepada Reina yang kini dia terbangun.

"Ada apa? Kenapa aku harus bangun jam segini?" Jawab Reina sambil menggosokkan tangan nya di kelopak mata, karena terlihat masih belum sepenuhnya sadar.

"Kenapa kamu bilang? Hallo kamu pikir kamu di sini mau ngapain, liburan? Ini bukan rumah nenek moyangmu, yang bisa kamu gunakan untuk bersantai dan tinggal secara gratis. Ini rumahku, jadi kamu harus membayar nya! Dengan kamu kerja." Mamy seakan hilang kesabarannya saat menghadapi Reina.

"Mamy? A-aku....Kakak?"

Reina terdengar berbicara dengan terbata dengan menahan tangisnya.

Aku melihat Reina menoleh padaku, dengan wajah sayu nya sehingga membuat aku menjadi kasihan. Tatapannya membuat aku jadi serba salah, sehingga aku tidak bisa berbuat apa-apa.

Satu sisi aku ingat tentang Ara, satu sisi aku juga tidak mau meninggalkan nya. Aku pun sudah berjanji untuk melepaskannya dari tempat ini, mana mungkin aku mengingkari janji yang baru beberapa jam aku buat untuknya.