"A-aku, aku . . ." Laki-laki di hadapan Amira masih gagu. Ia gagal menyebutkan siapa yang menyuruhnya untuk mencelakai Putri Amira. Amira dan Rashid masih menunggu dengan sabar. Mereka masih memandang pesakitan yang mencoba membocorkan rahasia tentang orang yang mengincar nyawa Amira.
"Katakanlah tidak usah takut! Aku tidak akan mencelakai siapapun. Kalaupun kau mengatakan A yang melakukannya, aku sama sekali tidak akan menyerang A.'
"Tuan Pamularsih, Tuan"
Rashid dan Amira mengerutkan dahinya. Mereka belum paham siapa Pamularsih. Orang yang baru saja di sebutkan laki-laki tawanannya.
"Siapa Pamularsih?"
"Di-dia, dia anak dari Yang Mulia Sultan Adyaksa, Sultan Sepuh yang kini sudah tidak menjabat sebagai pemimpin. Tuan Pamularsih tinggal di daerah X, jauh dari istana. Kehidupannya sangat sederhana dan megenaskan. Ia dendam karena Yang Mulia Sultan Adyaksa sama sekali tidak mengakuinya sebagai anak."
Amira mengeratkan gigi-giginya mendengar kakeknya memiliki anak dari wanita lain yang ditelantarkan. Rashid yang melihat emosi Amira segera memegang tangannya, memberi kekuatan agar Amira tidak mudah menerima cerita dari orang yang baru saja dikenalnya dengan mudah.
"Bisa jadi ia hanya mengarang cerita agar kau terpancing dan akhirnya melakukan kejahatan yang tidak seharusnya kau lakukan. Bersabarlah! Jangan terlalu gegabah dalam mengambil keputusan."
Amira mengangguk. ia tarik nafas dalam untuk mengurangi kegundahan hatinya. Ia tetap berharap agar ayahnya tetap menjadi anak tunggal yang berhak mewarisi tahta dari kakeknya. Tidak ada keturunan lain, apalagi keturunan dari wanita yang tidak diketahui oleh pihak istana.
"Dimana dia tinggal?"
Laki-laki di hadapan Amira tersenyum melihat ekspresi Amira. Ia pandang wajah ayu di hadapannya sesaat, lalu menggeleng. bukan karena dia tidak percaya kalau Rashid dan Amira yang berjanji akan menolong keluarganya. Ia lakukan itu karena ia juga sedang memainkan perannya. Melindungi dirinya.
"Jangan menoba mengelabui kami. Kau akan aman kalau kau menurut pada perintah kami. Tapi sekali kau berkhianat, jangan harap ada ampun untuk penjahat sepertimu."
Laki-laki itu menggeleng.
"Saya sama sekali tidak ingin mengelabuimu, Putri. Saya hanya sedang waspada. Siapa tahu Putri dan Tuan yang akan mengelabui saya."
Rashid memegang kerah baju laki-laki itu lalu menghempaskan dengan keras di lantai kereta yang sedang mereka naiki.
"Jangan coba-coba mempermainkan kami. aku dan adikku bukan orang yang mudah mengobral janji, apaagi hanya untuk menyelamatkan keluarga orang yang sudah mengancam keselamatan kami. harusnya kamu tahu itu. bagaimana Putri Amira setiap hari. Putri saja tidak pernah menunjukkan jati diri dan identitasnya, mengapa kau meragukannya?"
"A-aku hanya sedang berjaga-jaga, Tuan. Bukan maksud saya untu . . . ."
"Sudahlah. Tidak ada gunanya juga menjelaskan tentang siapa diriku dan bagaimana sepak terjangku karena siapapun akan menganggap anak Sultan akan melakukan apapun keinginannya.'
"Bu-bukan begitu, Putri'
"Lalu bagaimana?"
"Sa-saya, yang saya tahu, Tuan Pamularsih tinggal di desa X, sebuah desa yang berada di bawah bukit menoreh, Tuan. Di sana beliau menjadi buruh tani yang menguasai tuannya. tidak ada satu pun pemilik tanah yang memiliki keberanian untuk memecatnya meski dia sudah merugikan semuanya."
"Bagaimana dengan kepala desa? Apakah dia tidak berusaha melindungi warganya?'
Laki-laki itu menggeleng. ia tahu kepala desa justru takut kepada Pamularsih. Alih-alih menyelamatkan warga, menyelamatkan dirinya saja ia tidak sanggup.
"Kepala desa tidak akan sanggup melakukannya, Tuan. Mereka kalah kekuatan dengan Tuan Pamularsih."
Rashid dan Amira saling pandang. Mereka segera mengangguk lalu kembali menotok tubuh laki-laki di hadapannya lalu membawanya ke dalam sebuah ruangan yang sudah disiapkan pengawal Sultan.
"Apakah sudah siap?"
Laki-laki yang menyambut mereka menundukkan badannya sambil melirik laki-laki yang sedang dalam cengkeraman tangan Rashid. Melihat sorot mata pengawal istana, laki-laki tersebut memandang pengawal istana dengan mata berkilat, marah.
"Sudah, Tuan. Silakan kalau Tuan siap memasukkan singa baru ke dalamnya"
Rashid menyerahkan tawanan kepada laki-laki yang sedang membungkuk di hadapannya dan menyuruh dia yang melakukan. Tawanan tersebut tersenyum sinis.
"Awas saja kalau kau sendiri.' Gumam tawanan sambil menuruti gerakan Rashid. Lima menit sudah berlalu, Rashid dan Amira yang sudah mengawasi pengawal istana selesai melaksanakan tugas, segera melangkah menuju tangga yang menghubungkan penjara bawah tanah dan ruang pribadi sultan. Di sana, Sultan Adyaksa muda sedang duduk sambil membaca buku-buku tentang politik luar negeri yang membuat negara mereka maju dan hancur. Dua sisi yang berbeda dengan pola penanganan yang beda mampu membuat negara menjadi sesuai dengan keinginan kepala negaranya.
Saat melihat Rashid dan Amira berdiri sambil menundukkan badan, Sultan Adyaksa muda tersenyum.
"Kau sudah datang, Putriku?'
Amira melangkah mendekati Sultan Adyaksa Muda dan mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dan mencium tangan lembut milik ayahnya. Sultan Adyaksa muda tersenyum lalu mengelus kepala putrinya dengan lembut. Ia peluk Amira karena bahagia melihat putrinya kembali ke istana tanpa paksaan dari siapapun.
Biasanya Amira menolak permintaannya karena beberapa alasan yang sengaja ia buat. Banyak kegiatan, banyak acara dan entah apa lagi yang membuat Amira gagal ke istana. Sultan Adyaksa muda memandang Rashid lalu mengedipkan matanya sambil tersenyum. Rashid mengangguk lalu meninggalkan mereka berdua di ruang pribadi sultan.
"Apakah kuliahmu sudah selesai, Sayang?"
Amira menggeleng.
"Masih di semester tujuh, Kanjeng Romo. Tinggal menunggu praktek Lapangan, KKN dan skripsi. Saya berharap setelah wisuda masih bisa melanjutkan kuliah di luar negeri atau dimanapun asal jangan tinggal di istana."
"Kenapa? Anak Romo kenapa? Apakah sudah tidak mau menganggap Romo sebagai orang tuamu hem?"
Sekali lagi Amira menggeleng. ia sama sekali tidak ingin membuat ayahnya kecewa dengan mengatakan kalau dia tidak mau menganggap ayahnya sebagai orang tua. Yang ia inginkan adalah, ia bisa menjadi dirinya sendiri dan bisa bereksplorasi di lingkungan tempat tinggalnya tanpa harus direcoki oleh aturan-aturan tidak tertulis istana yang sangat merepotkan.
"Amira hanya ingin seperti mereka, teman-teman Amira yang bisa bebas memilih apapun yang mereka inginkan, Kanjeng Romo. Kalau di istana rasanya semua serba palsu. Mereka mau menganggap Amira ada karena melihat Amira sebagai anak sultan. Kalau di luar istana, Amira diterima karena Amira memang memiliki kualifikasi yang bisa membuat mereka menerima Amira apa adanya."
"Sudah pintar kamu rupanya, Sayang. Anak siapa ini? Kanjeng Romo sudah kecolongan satu langkah."
Amira menunduk. bahasa halus ayahnya membuat dia tidak melanjutkan kalimatnya karena takut menyinggung perasaan ayahnya. Ia memang bukan anak semata wayang Sultan Adyaksa. Masih ada Anjani, saudara kembar yang sangat ia cintai. Meskipun sikap Anjani sangat berbeda dengan Amira.
"Romo, Amira minta maaf bila selama ini sudah membuat Kanjeng Romo marah. Amira hanya ingin menjadi diri sendiri."
"Romo mengerti. Romo juga paham apa yang membuat kamu gelisah. Tapi Romo tetap akan membuat kamu mau tinggal di tempatmu yang seharusnya. Apakah Rashid sudah memberitahu sesuatu padamu?"
Amira menggeleng. ia memang belum berbicara banyak dengan Rashid karena mata-mata yang mengintainya.
"Belum, Kanjeng Romo. Saat Kakang Rashid datang ada seorang penyusup juga yang datang."
"Penyusup?"
"Benar. Romo. Kami sudah memenjarakannya di penjara bawah tanah. Sekarang dia mungkin sedang mendekam di tempat dingin yang Romo sediakan untuk para penjahat dan pembuat onar di wilayah kekuasaan Kanjeng Romo. Kalau Romo berkenan, Romo bisa menengoknya di bawah."