Khalid masih melangkah meninggalkan ruang jenazah dengan langkah semakin cepat. Pikiran dan perasaannya yang sebenarnya sedih tidak ia tampakkan pada orang lain karena ia takut semua orang akan menganggapnya cengeng.
"Mengapa tidak semua orang paham dengan tindakanku ? Aku ini laki-laki, masa iya harus menangis ketika aku ditinggalkan kekasihku? Tidak. Apa kata Bunda kalau aku menangisi cinta.' Gumamnya.
"Siapapun akan memaklumi tangisanmu karena saat kau menangis saat itulah orang tahu bahwa ada kelembutan dalam jiwamu."
Khalid mendesah mendengar suara wanita yang sejak tadi menyaksikan kebingungannya, yang kini meninggalkannya di taman seorang diri. Ia ingin berlari mengejar wanita tersebut, namun dia sudah terlanjur sampai di tempat lautan mobil berjejer, menenggelamkan tubuhnya di antara kerumunan manusia yang sedang berdiri di sana.
"Siapa wanita itu? Berani sekali dia bilang seolah-olah menasihatiku." Gumam Khalid sambil memandang kerumunan manusia di tempat parkir. Ia ingin sekali mengejar wanita yang ia anggap kurang ajar, namun tiba-tiba Andi mencolek lengannya membuat semua niat awalnya buyar.
"Kamu mau kemana? Tidak seharusnya kau meninggalkan kekasihmu padahal ini kesempatanmu bersamanya untuk yang terakhir kalinya."
Khalid mengusap rambutnya dengan kasar. Ia memandang Andi dengan sorot mata tajam.
"Aku lelah. Ingin pulang"
Andi memegang tangan Khalid dan mencoba untuk membuatnya duduk.
"Duduklah! Biarkan pikiran kita berfikir dengan jernih, agar kau bisa menangkap kesempatan ini. jangan terlalu egois."
"Shit."
"Kenapa marah?"
"Siapa yang marah."
"Ha ha ha" Andi terkekeh. Menang dengan pertengkaran yang sengaja ia buat dengan Khalid. Andi sebenarnya tahu bahwa cara melampiaskan kesedihan Khalid dan dirinya memang berbeda. Namun sekali lagi, sifat usilnya memang sengaja ia buat demi melihat sikap asli Khalid. Andi yang sudah hafal kini memandang wajah sahabat sekaligus bossnya dengan senyum dikulum.
"Rasanya aku bahagia sekali mengetahui sisi lemahmu."
"Sisi lemahku yang bagaimana? Aku bukan orang lemah, Andi." Sahut Khalid cemberut.
"Baik, kau memang bukan orang lemah. Tapi orang yang naïf karena menyembunyikan kesedihanmu dengan sikap arogan yang sama sekali tidak pernah kau munculkan."
Khalid membuang nafasnya kasar.
"Aku sebenarnya ingin mengejar wanita yang mengejekku tadi. Bukan karena arogan. Tapi karena penasaran pada wanita itu."
"Wanita?"
"Ya"
"Hhh, dasar playboy. Kekasihmu baru saja meninggal saja kau sudah tergoda wanita lain."
"Aku tidak tergoda. Hanya penasaran saja pada wanita yang mencoba memberiku nasihat. di"
Sesaat mereka sibuk dengan pikiran masing-masing, ketika di hadapannya melintas bed pasien yang diiringi oleh beberapa keluarganya yang masih berkabung. Di antara beberapa orang yang melintas, Khalid tidak menemukan keberadaan Amira. Khalid mencoba menengok ke dalam selasar rumah sakit, barangkali Amira tertinggal di sana namun nihil.
"Itu Mutia. Ayo kita ikuti Mutia dan keluarganya." Ajak Andi sambil berlari meninggalkan Khalid yang masih duduk di tempatnya. Khalid berdiri lalu berlari mengkuti langkah Andi yang mencoba menyamakan dengan langkah keluarga Mutia.
"Apakah kau akan mengikuti mereka sampai rumah malam ini? Pemakaman akan dilaksanakan esok." Andi menggeleng.
"Lalu mengapa kau menyuruhku menunggunya di sini? Kau saja tidak ingin ikut mereka ke rumah."
Andi memukul lengan Khalid yang dimatanya nampak sangat bodoh. Bukan Khalid yang seperti dia lihat selama ini. Khalid mengelus bekas pukulan Andi tanpa protes sama sekali.
"Kau ini ya, benar-benar tidak manusiawi. Kau yang seharusnya menunggu mayat kekasihmu itu sampai dia dimakamkan. Bukan aku."
"Maksudnya?"
"Kau ini bodoh sekali. Setidaknya tungguilah kekasihmu itu beberapa jam dulu sebagai bukti bahwa kau mencintainya."
"Aku sudah tidak mencintainya."
"What ?"
"Iya. Sejak dia mengatakan akan memutuskan hubungan, aku merasa bahwa diriku sudah dicampakkannya."
Khalid tersenyum kecut. Ia sama sekali tidak ingin mengingat memori apapun tentang dirinya dan Mutia namun ia gagal. Bayangan wanita yang sudah bersamanya selama dua tahun semakin lama semakin menari di pelupuk matanya. Bagaimana sikap manja yang ditunjukkan Mutia, yang selalu membuatnya merasa jengah, sikap arogannya yang kadang membuat Khalid merasa harga dirinya terkoyak dan sikap lemah lembut palsu yang selalu membuatnya selalu mengalah karena lelah.
"Setelah ini paling tidak aku ingin kau mengikutiku ke rumahnya sebentar saja ya!" rengek Andi.
"Tidak. Aku cukup ikut sampai di sini. Besok aku harus ke luar negeri untuk mengadakan meeting dengan klien."
"Kamu ini benar-benar ya."
"Sudahlah. Sampaikan salamku pada kedua orang tua Mutia dan kerabatnya bahwa aku dan dia sudah tidak ada hubungan apa-apa."
Selesai mengatakan kalimatnya, Khalid langsung menuju tempat parkir khususnya dan memasuki mobil mewahnya. Ia menghidupkan mobilnya lalu meninggalkan area rumah sakit tanpa melihat bagaimana Mutia dibawa pulang. Sesampai di apartemennya, ia langsung masuk kamar dan merebahkan tubuhnya di ranjang. tak berapa lama ia pun terlelap dalam buaian mimpinya.
Dalam mimpi ia bertemu kembali dengan gadis bernama Amira yang selalu mengolok dan memarahinya karena ia tidak peduli pada kematian Mutia. Khalid mengibaskan tangannya, mencoba menepis tangan Amira yang mulai menyentuh wajahnya dan mencubit pipinya keras. Wajahnya kesal karena merasa gagal membuat Khalid menangia.
"Pergi kau dari sin . . . " Khalid terjaga. Ia memandang sekeliling ruangan. Matanya ia kedip-kedipkan, mencoba mengingat kembali mimpi yang terasa sangat nyata.
"Amira, mengapa dia muncul dalam mimpiku? Gadis egois dan kasar. Awas saja kalau sampai ketemu lagi. Aku habisi kau baru tau siapa aku" umpat Khalid kesal.
Khalid mencoba memejamkan matanya kembali namun pikirannya sama sekali tidak bisa ia ajak kompromi. Bayangan Amira dan Mutia datang bergantian mengusik perasaannya. Mutia dengan wajah hancurnya dan Amira yang cantik walau sangat kasar.
"Kalau kau bisa sedikit tersenyum, kau pasti sangat manis, Amira. Tapi awal bertemu saja kau sudah membuatku kesal apalagi kalau kita sering bertemu. Mau jadi apa aku"
Khalid bangun. Ia melangkah menuju kamar mandi untuk membasuh mukanya dan membuang hajat yang entah berapa lama ia tahan. Saat keluar, matanya menatap jam dinding yang masih menunjukkan pukul 24.30. masih sangat dini dan Khalid sudah tidak bisa memejamkan matanya lagi.
Ia ambil remot dan menyalakan televisi, menyaksikan siaran tentang kecelakaan tadi siang di jalan utama dimana seorang wanita yang mengalami kecelakaan tunggal sedang diitolong oleh beberapa laki-laki.
"Huft, rasanya bosan ketika menyaksikan semua channel menyiarkan kematianmu< Mutia. Apakah mereka tidak memiliki sumber berita yang lain? Atau kau memang sudah menjadi selebriti?"
Khalid melemparkan remot dan mencoba mengambil ponsel yang ia letakkan di nakas. Tangannya menggeser layar dan mencoba menghubungi Andi, asistennya. Berkali-kali ia telpon, namun berkali-kali pula ia gagal terhubung.
"Kemana anak itu? Mengapa panggilanku tidak disambut sama sekali?"
Khalid meremas rambutnya. Ia rebahkan tubuhnya dan sekali lagi ia mencoba memejamkan matanya. Setelah berkali-kali gagal, ia mencoba berselancar di dunia maya, mencari seseorang bernama Amira dan mencoba mengintip postingannya. Entah mengapa, Khalid merasa sangat ingin mengetahui jati diri Amira.
Setelah lelah berselancar, ia bangkit. Ia ambil pakaian dan memasukkannya dalam koper kecil. Ia tata pakaian dan kelengkapan pribadinya agar ia bisa berangkat secepatnya. Ia tidak ingin terganggu oleh bayangan wanita yang belum ia kenal.
Setelah selesai dengan persiapannya ia segera melangkah ke kamar mandi. Ia menghabiskan satu jam untuk berendam. Setelah tubuhnya segar, ia segera keluar kamar dan memakai pakaian santai dan melangkah keluar kamar.
"Tuan mau kemana malam-malam begini?"
Seorang pelayan yang bertugas jaga malam menatap Khalid dengan penuh rasa penasaran. Ia tahu tuannya memang akan pergi keluar kota untuk menemui klien, tapi malam ini ia benar-benar tidak habis pikir dengan Khalid yang diluar kebiasaan.
"Aku akan ke luar kota. bukankan kau tahu semua jadwalku?"
"Iya, Tuan, tapi . . . ."
"Sudahlah. Siapkan mobil dan beritahu Andi kalau aku akan berangkat saat ini juga. Siapkan jet pribadi dan aku menunggu di terminal C"
"Baik Tuan"
Penjaga malam segera melaksanakan perintah. Setelah menunggu lima menit, supir pribadi Khalid menyambut Tuan mudanya dan mengantarnya ke bandara pribadinya dan menurunkannya di terminal C.
"Apakah Andi sudah datang?"
Penjaga bandara menggeleng. ia memang belum melihat kedatangan Andi, namun ia tahu kalau malam ini Andi mengirim pesan kepadanya agar menghandle keberangkatan Khalid.
"Saya yang akan menggantikan Tuan Andi menghandle keberangkatan Tuan"
Khalid mengangguk. ia tidak ingin terlalu banyak berpikir. Ia memaklumi ketidakhadiran Andi yang pasti sedang berada di rumah Mutia dan mengikuti semua kegiatan di sana.
Setelah melakukan perjalanan selama lima jam, Khalid sampai di sebuah pulau yang akan digunakan untuk meeting dengan klien. Pulau yang akan dikembangkan menjadi resort dan tempat wisata alam bagi turis mancanegara.
Waktu masih menunjukkan pukul sepuluh ketika Khalid sampai di hotel tempatnya menginap selama beberapa hari di sana. Setelah meletakkan semua barangnya, ia duduk menunggu office boy datang membawakan sarapannya sesuai pesananny. Ia merasa enggan untuk keluar kamar. Disamping karena ia tak ingin ada wartawan yang mengejarnya, ia juga ingin menenangkan pikiran yang sejak semalam terganggu karena kehadiran Amira. Khalid mengambil ponsel lalu merebahkan tubuhnya di ranjang king size. Ia tersenyum melihat video kiriman Andi tentang prosesi pemberangkatan jenazah Mutia dan pemakaman kekasihnya. Ia melihat betapa semua orang bersedih atas meninggalnya wanitanya. Bukan hanya orang tua Mutia namun beberapa kerabatnya nampak meneteskan air mata.
Mata Khalid masih mengawasi satu persatu pelayat, hingga akhirnya matanya menangkap sesosok wanita yang sejak kemarin ingin dicarinya.
"Dia? Kenapa dia ada di saat pemakaman Mutia? Siapakah wanita itu? Kalaupun aku belum sempat mengejarnya, ternyata pakaian yang dipakainya saat ini sama dengan yang kemarin dia pakai. Siapa wanita itu dan apa hubungannya dengan Mutia?"