webnovel

Mawar Biru

"Kamu seperti mawar biru. Sebuah keajaiban yang muncul dari kemustahilan" Elena merupakan seorang penerjemah novel yang telah kehilangan mimpinya untuk menjadi pelukis. Dia kembali ke kampung halamannya karena muak dengan kehidupannya. Dia mencoba mencari ketenangan akibat kejadian tak terduga yang telah dialaminya. Disaat itulah dia bertemu dengan Aidan yang dulu merupakan cinta pertamanya. Aidan merupakan seseorang pemilik toko bunga yang misterius. Kehilangan ibunya saat remaja merupakan titik balik kehancurannya. Dia menutup diri dan menghindari hubungan dekat dengan orang lain. Disaat Elena tak percaya lagi dengan perasaan cinta, Aidan seakan membuat Elena kembali ke masa indah dulu. Elena seakan kembali merasakan bahagia dan mungkin jatuh cinta lagi pada Aidan. Namun takdir yang kejam ternyata telah menanti mereka berdua. Akankah ada keajaiban untuk mereka? Ataukah kemustahilan menjadi pemenang?

szarnnd · Teen
Not enough ratings
17 Chs

Toko Buku

Angin berhembus bermain dengan rambut tipisnya. Aku terus melihat ke arah sana karna entah kenapa aku tak mampu menatap matanya. Dia berjalan mendekat ke arahku, memberikan senyuman tipis sebelum akhirnya duduk di sampingku.

Aidan mengikuti arah pandanganku yang melihat ke arah pohon di pinggir lapangan. "Apa kamu masih suka lihat pohon?"

Dia tau? Kenapa dia tau kalau aku suka melihat pohon disini?.

Aku tetap diam mencoba memahami situasi ini.

Kenapa dia bisa tau aku dulu sering kesini untuk melihat pohon?.

Aku menganggukan kepala.

"Em... bukankah menurutmu pohon itu juga bagus." Aku melihat ke arahnya, melihat wajah samping miliknya yang sedang fokus menatap pohon.

"Mungkin," gumamnya.

"Biasanya pohonya berdaun hijau tapi saat musim kemarau seperti sekarang daunnya berubah kekuningan, bukankah mereka terlihat seperti warna langit di sore hari." Aku menoleh ke arahnya memberikan senyum kemenangan.

"Musim kemarau yang dingin."

"Mirip musim gugur," kataku dengan semangat.

"AH iya, sepertinya kamu terobsesi dengan musim gugur."

Aku menoleh ke arahnya tatapan kita saling bertemu. Aku tak bisa lagi mengatakan satu katapun. Rasanya matanya sudah mengunciku, membuat semuanya menjadi diam bahkan mungkin waktupun ikut berhenti sebentar. Memberikan ruang bagi aku untuk menatap ke dalam dirinya melalui matanya.

Aidan mengajak aku mampir ke toko buku milik bibinya, tempatnya tidak terlalu jauh dari lapangan yang tadi. Dia mengajak aku untuk jalan kaki saja karna kita tidak bisa naik sepeda bersama tentu saja. Di sepanjang jalan kami hanya diam dalam keheningan masing-masing, aku sudah terbiasa dengan situasi ini. Meskipun kita dulu sering pulang bersama, nyatanya dia memang tidak banyak bicara. Meskipun dikenal sebagai anak pembuat onar, saat sekolah dia tidak pernah banyak bicara seperti teman-teman mainnya. Sebaliknya, aku malah menyukai keheningan ini. Situasi ini membiarkan indraku menjadi lebih fokus pada suasana sekitar.

Toko buku milik bibi Aidan cukup besar dan nyaman. Disini juga disediakan kursi malas dan bean bag, sangat nyaman untuk membaca buku disini.

"Mau minum kopi?" tanya Aidan.

Aku diam sejenak "Em...air putih saja"

"Oke...kopi susu."

"HA?" Aku bingung dengan maksud Aidan.

"Kamu pasti tidak suka dengan yang pahit-pahit," tebaknya.

"Emang ada yang suka kepahitan?" tanyaku.

"Pecinta kopi?" Aidan mengerutkan kening.

"Iya sih...tapi mungkin itu pahit yang berbeda."

"Apa yang beda kan sama-sama pahit."

"Iya iya... orang memang beda-beda seleranya." Aku termasuk orang yang cinta damai jadi aku lebih baik mengalah dalam perdebatan ini.

Dia menatap ku lekat-lekat, kedua alinya agak turun kebawah. Wajahnya mengisyratkan ketidaksetujuan dan keingintahuan. Aku mengalihkan pandangan ke arah lain mengamati buku-buku di rak. Cukup lama dia terdiam di depanku sebelum akhirnya pergi membuat minuman. Aku sungguh tidak megerti sikapnya yang sekarang ini, dia memang masih sama seperti dulu tapi entah kenapa sekarang sedikit terasa berbeda.

Aku melirik ke arahnya yang sedang membuat kopi sambil berjalan-jalan di sekitar rak buku. Setelah ku lihat ternyata disini sudah banyak sekali buku yang terbuka. Terlebih lagi koleksinya lumayan banyak. Bahkan ada beberapa novel klasik yang sudah lumayan langka dan sulit ditemukan ada disini. Entah kenapa aku menyukai ini, dari dulu aku selalu suka bau buku yang sudah tua. Baunya memiliki ciri tertentu dan khas. Warna kertasnya yang keusangan malah membuatku makin menyukainya, seakan mengingatkan bahwa waktu akan mengubah apapun yang ada di dunia.

"Ini kenapa banyak buku yang udah dibuka?" Aku mencoba bertanya untuk memecahkan kecanggungan kita tadi.

"Ah, karna di desa sedikit yang mau beli buku biasanya mereka datang kesini buat baca saja. Jadi bibi sengaja membuka bukunya."

"Oh...buat disewakan?"

"Iya...kalau kamu ada kartu anggota cukup dengan membayar Rp. 10.000 per bulan kamu bisa pinjam buku apa saja disini sepuasnya."

"Wah aku mau daftar jadi anggota."

"Oke."

"Tapi bibimu kemana? Dari tadi tidak kelihatan." Aku mengarahkan pandangan ke segala penjuru.

"Ah.. Hari ini dia pergi ke luar kota jadi tokonya dititipkan padaku."

"Oh begitu pantas saja, bisanya dia kan paling heboh orangnya."

"Apa ada buku yang mau kamu baca?" Aidan memberikan secangkir kopi susu padaku.

"Terima kasih kopi susunya. Aku mau lihat-lihat dulu, mungkin akan ada yang bagus." Aku menerima kopi susu darinya, hangat dari cangkirnya berpindah ke telapak tanganku.

"Nih... kayaknya cocok banget buat kamu." Dia mengambil sebuah buku dari rak, dan megarahkannya kepadaku.

Aku melihat dan membaca judul bukunya yang bercetak tebal dan kapital "DONGENG SEBELUM TIDUR: CINDERELLA DAN SEPATU KACA". Wahh dia ini kenapa lagi?

"Ya... aku bukan anak SD lagi tau." Aku berkata dengan jengkel.

"Loh, bukanya kebanyakan cewek suka cerita romance kaya gini?"

"Iya bener, tapi kan disesuaikan sama umurnya dong."

"Oh...jadi sekarang bacaanmu itu yang bertema dewasa gitu." Aidan mengangung-anggukan kepalanya sambil memberikan ekspresi aneh.

"YAAAA!" Aku berteriak lumayan keras dan memukul lenganya.

Dia tertawa, saat aku melihanya tertawa entah kenapa aku juga ikut tertawa. Meskipun dia punya cara yang menjengkelkan saat bercanda, tapi justru hal itulah yang membuatnya semakin menarik. Saat SMA pun dulu dia jarang sekali tersenyum, jadi melihatnya tertawa seperti ini merupakan kesempatan yang langka.

Aku menghabiskan banyak waktu membaca salah satu novel fiksi sejarah. Karna novelnya yang menarik membuatku terus menerus membuka halaman selanjutya sehingga tak terasa sudah banyak waktu yang berlalu. Aku melihat Aidan juga sedang membaca di sebelahku. Kami cukup lama duduk berdua dalam keheningan ini. Tapi seperti yang sudah-sudah, aku tak pernah keberatan dengan ini. Aku melirik ke arahnya sebentar, dia terlihat sangat serius membaca.

"Kenapa?" Dia menutup bukunya dan menoleh ke arahku.

Aku heran, bagaimana bisa dia jadi begitu peka? Aku langsung menunjuk ke arah jam dinding di belakangnya.

"Ah... Sepertinya ini sudah malam, aku mau pulang saja," kataku terbata-bata.

"Ah iya, tapi kamu nggak lapar? Mau makan dulu?"

"Boleh, mau makan dimana?"

Aidan mengajak aku untuk pergi makan mie ayam. Dia sepertinya masih ingat makanan kesukaanku. Aku selalu suka makanan sejenis mie apalagi yang berkuah hangat dibarengi dengan banyak sayur. Rasanya segar dan menghangatkan. Dan untung saja tempat makan yang dulu sering aku datangi masih tetap buka sampai sekarang. Salah satu yang aku rindukan dari kampung halaman adalah mie ayam ini.

"Kamu mau makan disini kan?" tanya Aidan. Dia langsung duduk setelah memesan dua mangkok mie.

"Kamu bisa baca pikiran ya?"

"Ingatanku aja yang terlalu hebat," tegasnya.

Memang Aidan itu paling hebat kalau soal membanggakan diri.

Setelah aku makan bersama dengan Aidan, dia mengantaraku pulang karena jalanan di desa ini masih banyak yang gelap saat malam hari. Dan ternyata tanpa ku sadari dia tadi membawa senter, katanya dia selalu membawa senter kalau mau pergi kemanapun untuk berjaga-jaga. Aku tau itu memang cukup aneh, tapi aku mengerti karna keadaan di desa ini memang berbeda dengan yang di kota. Saat aku sudah sampai di halaman rumah, aku melihat ke arah lampu halaman yang berkedip-kedip, sepertinya sebentar lagi lampu itu akan rusak.

"Sepertinya lampu halamanmu sebentar lagi putus." Dia fokus memperhatikan lampu yang berkedip.

"Sepertinya begitu."

"Masuklah."

"Terima kasih ya sudah mengantar aku pulang," kataku.

Dia mengangguk pelan dan ku balas dengan senyuman tipis. Saat aku ingin berbalik untuk membuka pintu, dia kemudian bersuara lagi...

"Jadi besok kamu mau datang lagi? Ke toko buku?"

Aku terdiam lagi terpaku disitu, berbalik untuk menatap matanya cukup lama mencoba mencari jawaban dan pilihan.