webnovel

Hari-hari Sibuk yang Melelahkan

***

Sebagai pekerja kantoran yang bekerja dari hari Senin sampai Jumat, dari jam delapan pagi sampai jam lima sore dan itupun belum dihitung dengan lembur, Aletta sudah cukup sibuk dibuatnya. Ditambah lagi proyek MH fashion yang membuatnya kehilangan cukup banyak energi untuk berpikir dan bekerja. Belum lagi cibiran orang-orang yang meremehkannya hanya karena Aletta anak baru yang cukup membuat kepalanya cenat-cenut walaupun dia berusaha untuk tidak menanggapinya.

"Aku tidak mau," tolak Aletta yang menatap Varrel dan Stefani bergantian. Meskipun tubuhnya terasa lelah dan pegal, dia tetap datang ke rumah orang tuanya.

"Ale... ini permintaan Joshua." Stefani menghentikan makan malamnya dan menatap putrinya dengan memohon.

"Nah, karena itu permintaan Joshua, aku jadi tambah tidak mau," ujarnya yang kembali melanjutkan makan malam.

"Le," panggil Varrel lagi. "Jangan begitu. Sepupumu ini mau menikah. Dia ingin kamu hadir satu hari sebelum acara pernikahannya. Mungkin dia merindukanmu," sambung Varrel yang membuat Aletta memasang ekspresi geli ketika mendengar kalimat Joshua mungkin merindukannya.

"Pa, aku juga ada acara berturut-turut akhir bulan ini. Aku ingin berangkat bersama kalian saja, lalu pulang lebih dahulu."

"Memangnya acara apa?" tanya Stefani. "Kalau tidak terlalu penting, lebih baik ditunda, Le. Kita baru pertama kali berkumpul lagi bersama keluarga besar."

Horor. Kalimat berkumpul bersama keluarga besar itu terasa horor bagi Aletta yang berusia dua puluh enam tahun, tetapi belum mempunyai gandengan.

Aletta menghitung dengan jari. "Hmm, launching majalah untuk pertama kalinya dengan MH fashion, lalu pergi ke pernikahan Joshua, dan di hari Minggunya...." Maniknya secara tak sengaja terkunci dengan Stefani. "Ada reuni SMA." Dia memutus tatapan dengan Stefani, kemudian memegang sendok lagi.

"Lagipula aku tidak bisa mengambil cuti untuk pergi lebih dahulu. Belum ada kuota cuti untuk anak baru sepertiku. Jadi, katakan saja yang sejujurnya pada Joshua."

"Kamu datang ke reuni SMA?" tanya Stefani menatapnya dengan intens.

Aletta menarik sudut bibir. "Datang," ujarnya yang sebenarnya hanya digunakan untuk menambah alasan agar dia bisa pulang lebih dahulu dan tidak menyanggupi permintaan Joshua.

Stefani menatapnya lebih intens, membuat Aletta merasa kepanasan dengan tatapan tersebut. Dia menatap Stefani, lalu menjawabnya dengan lebih meyakinkan.

"Aku akan datang. Jangan menatapku seperti itu, Ma."

"Yang benar? Nanti Mama tanya ke Gea deh."

"Ma!" seru Aletta spontan. "Masa lebih percaya orang lain daripada anak sendiri?" rengeknya.

"Habisnya tidak meyakinkan begitu, sih." Stefani mengerucutkan bibir, kemudian kembali melanjutkan makan malam.

"Setiap hari dia selalu mengirimkan pesan atau meneleponku agar aku ikut reuni. Akhir-akhir ini malah lebih banyak pesan yang datang, membuat ponselku panas saja," ujar Aletta kembali menyuap makan malam.

"Jadi, tidak bisa, nih?" tanya Varrel menatap putrinya.

Aletta menggeleng. "Tidak bisa. Katakan saja yang sejujurnya."

"Ya sudah. Nanti Papa hubungi Joshua," putus Varrel yang membuat mereka kembali melanjutkan makan malam dengan tenang.

***

Sebuah helikopter mendarat di atas gedung. Baling-balingnya mengeluarkan suara bising yang cukup mengganggu telinga orang-orang yang berada di atas sana.

"Ken, pak Nanggala mana?" ujar salah satu kru helikopter yang turun.

"Sudah saya hubungi. Beliau masih di ruangannya tadi. Nanti menyusul, katanya." Pria itu berbicara dengan sedikit kencang agar terdengar.

"Coba kamu hubungi lagi," katanya yang membuat Ken mengeluarkan ponsel dan menelepon bosnya itu. Baru tujuh detik setelah Ken menelepon, bosnya itu muncul sembari menenteng jas dan menggendong tas di punggung dengan ekspresi setengah mengantuk.

"Nah, itu dia!" seru Ken yang langsung mematikan telepon. Kru helikopter yang turun langsung menghampiri dan mengulurkan tangan.

"Selamat malam, Pak Nanggala!"

"Ya, selamat malam." Pria yang setengah mengantuk itu menjawab uluran tangan sembari tersenyum tipis. "Maaf, membuat kalian menunggu. Aku pergi ke toilet lebih dahulu tadi."

"Tidak apa-apa, Pak. Kami belum lama sampai di sini. Kita berangkat sekarang, Pak?"

Pria itu mengangguk singkat. Dia melirik sekilas Ken yang berdiri tak jauh darinya.

"Mari, Pak." Kru helikopter itu memimpin jalan, kemudian diikuti oleh Arkhano dan Ken di belakangnya. Mereka langsung naik dan duduk di kursi masing-masing, kemudian memakai headphone agar suara bising dari baling-baling tak menganggu pendengaran.

Beberapa karyawan penting yang melepas kepergian wakil CEO dan sekretaris Wijaya Company melambaikan tangan saat helikopter mulai terbang.

"Kita sampai di Bali pukul berapa?" tanya pria yang di tempat kerja akrab disapa Nanggala itu.

"Kurang lebih jam setengah sembilan malam, Pak. Kami akan mendarat di salah satu gedung cabang Wijaya Company," ujar pilot helikopter.

"Ya sudah." Nanggala menoleh pada Ken. "Kalau kamu mau tidur, tidur saja."

Ken yang sedang melihat pemandangan lewat jendela pun menoleh. "Loh, sepertinya Bapak yang seharusnya tidur. Mata Bapak saja sudah seperti panda."

"Cih, itu mah biar jadi urusanku," ujarnya sembari membuka tas punggungnya.

"Bapak mau bekerja lagi?" tanya Ken yang menatapnya horor. Dia menebak kalau bosnya itu akan membuka laptop dan mengecek email-email yang masuk.

"Satu setengah jam juga waktu yang berharga untukku. Kamu tahu kan kalau kita mempercepat perjalanan dinas kali ini?" kata Nanggala sembari menyalakan laptop yang tadi hanya dimatikan dengan mode sleep.

"Saya tahu, Pak." Ken mengangguk. Alisnya mengerut menatap Nanggala. "Tapi, Pak, saya jadi khawatir dengan Bapak. Sudah berapa hari Bapak tidak tidur?"

"Siapa bilang? Aku tidur."

"Berapa jam?"

"Dua jam," jawabnya dengan santai seolah itu bukanlah hal yang harus dipermasalahkan.

"Pak! Lebih baik Bapak tidur saja sekarang! Saya benar-benar khawatir saat sampai nanti, Bapak malah tidak tidur dan kembali bekerja."

Nanggala menoleh pada sekretarisnya yang terlihat benar-benar mengkhawatirkannya.

"Terima kasih atas kekhawatiran mu, tapi aku juga harus menyelesaikan semuanya sebelum hari Minggu nanti." Nanggala tetap berbicara dengan tegas walaupun rasa lelah tercetak jelas di wajahnya. "Dan kuberikan saran untukmu. Lebih baik kamu mengkhawatirkan dirimu saja yang saat di Bali nanti akan menyesuaikan diri dengan jadwalku yang jauh lebih sibuk daripada biasanya," sambungnya yang kembali menatap laptop dan mulai fokus dengan pekerjaannya.

Ken hanya menatap bosnya dalam diam, kemudian menghela napas berat. Dia mengalihkan tatapan dengan melihat pemandangan gemerlap lampu yang ada di bawah sana.

Banyak pertanyaan yang muncul di kepala Ken. Dan salah satunya adalah, "Sepenting itukah reuni SMA yang membuatnya memajukan dan memadatkan semua pekerjaan? Sampai rela untuk memangkas jam tidur yang jadi tidak manusiawi. Hanya 2 jam!"

Ken melirik bosnya yang menatap layar laptop dengan mata setengah terbuka. Pria itu merasa heran dengan ketahanan tubuh bosnya yang anehnya tidak sakit meskipun telah bekerja sedemikan keras.

Dan meskipun Nanggala mengatakan untuk mengkhawatirkan dirinya sendiri, Ken lebih khawatir dengan Nanggala yang terlalu memaksakan diri untuk tetap bekerja dan mengabaikan rasa kantuk yang pasti sangat menyiksanya.

———