webnovel

Mata ketiga Suamiku

"Meneer! Aku mohon bertahan!" Aku membuka mataku, peluh bercucuran di keningku. Entah keberapa kalinya aku bermimpi hal yang sama secara berulang setiap malam Jumat selama satu tahun belakangan ini. Mimpi yang seolah menghantuiku, semenjak usiaku menginjak dua puluh tahun. Aku benar-benar dibuat lelah dengan mimpi tersebut, hingga suatu hari orang tuaku memaksa menjodohkanku dengan seorang pria keturunan Belanda. Dia adalah Felix, tak bisa ku sangkal jika Felix memiliki wajah rupawan, akan tetapi sikapnya sangat aneh. Sering kulihat dia melakukan hal-hal aneh, seperti orang yang kehilangan kewarasannya. Menikah dengannya juga membuatku terjerumus kedalam hal-hal diluar akal sehat, yang selama ini tidak pernah aku percaya sedikitpun. Hal yang membuat kehidupanku yang membosankan ini berbanding terbalik 180 derajat. Hingga tidak kusangka sama sekali, jika ternyata Felix mengalami mimpi yang serupa denganku. Sebenarnya apa yang terjadi pada kami hingga dihantui mimpi tersebut? Mampukah kami memecahkan segala tanda tanya yang selama ini meneror hidup kami?

Mustika_Rahmadika1 · Urban
Not enough ratings
6 Chs

Dia, Felix!

Aku kembali mengedipkan mataku, tetapi tiba-tiba wanita itu hilang bak di telan bumi.

"Karin!" Suara teriakan mama tertangkap indera pendengaranku, aku segera menoleh dan melihat mama berjalan ke arahku bersama seorang wanita.

"Karin, kenalin ini Euis, yang akan bantu-bantu kita di rumah," tutur mama seraya memperkenalkanku pada gadis berparas cantik khas pesona wanita-wanita Sunda.

Gadis itu mengulurkan tangannya, dan segera aku balas menjabat tangannya, "Saya Euis, Teh."

..........

"To-long ja-jangan," Terdengar suara seorang wanita yang begitu lirih. Sontak saja aku segera menolehkan kepalaku ke kiri dan ke kiri, mencoba mencari sumber suara itu berasal.

Seketika bulu kudukku meremang, saat aku melihat seorang wanita berkebaya compang-camping. Dengan rambut berantakan hingga menutupi sebagian wajahnya yang penuh dengan darah, dan dia merangkak ke arahku.

"To-long!"

Jantungku berpacu dengan cepat, aku memundurkan kakiku kala ia semakin merangkak maju ke arahku.

Namun, tiba-tiba datang seorang pria berpakaian tentara Jepang menghampirinya, dengan sebuah katana yang berada di tangan kanannya. Pria itu tiba-tiba menarik rambut wanita tersebut hingga mengadah lalu mengayunkan katana yang ia genggam.

Aku membuka mataku, peluh becucuran membasahi tubuhku.

Shitt! Aku bermimpi itu lagi! Aku segera beranjak dari tempat tidur dan menatap pantulan diriku pada sebuah cermin meja rias.

Arghhh! Kenapa setiap kali bermimpi itu, leherku selalu sakit bahkan meninggalkan bekas memar?

Aku pikir setelah pindah rumah maka aku tidak akan memimpikan itu lagi, tetapi aku salah. Mimpi itu seakan terus mengikutiku kemanapun aku pergi.

"Karina bangun!" Suara pekikan mama membuyarkan lamunanku.l

Aku bergegas keluar kamar, mama dan Euis tampak sedang sibuk berkutat di dapur, memasak berbagai macam makanan seakan rumah kami akan kedatangan tamu.

"Euis, tolong beliin gedang dong, yang manis ya! Dua kilo aja!" titahku, meminta bantuan kepada Euis.

Aku segera memberikan selembar uang lima puluh ribuan kepada Euis, Ah ... aku mau buat smoothies pisang strawberry sambil baca novel online kesukaanku.

"Bukannya beli sendiri, Euis lagi bantu mama!" cebik mama kepadaku, kayaknya mama lupa jika aku gak bisa mengendarai sepeda ataupun sepeda motor, sedangkan pasar di daerah ini jauh dan harus naik kendaraan agar sampai ke sana.

"Mama, aku kan gak bisa bawa motor. Kalau naik angkot bisa lusa baru sampai!" gerutuku, karena daerah di sana macetnya bukan main, apalagi kalau harus naik angkot yang ngetemnya bisa sampai jamuran.

Namun, mama hanya terkekeh mendengar ocehanku.

"Memangnya mau bikin acara apa sih, ma? Repot banget?"

"Tante Riska mau ke sini sekalian kenalin calon suamimu!"

Hah?

Muulutku menganga, secepat itukah? Aku benar-benar tidak habis pikir, deh! Dengan jalan pikiran ibu-ibu ini. Kok kayaknya, ngebet banget pengen nikahin anaknya.

Apa jangan-jangan anaknya tante Riska itu bujang lapuk? Atau ia sejenis lelaki tulang lunak? Atau ... Ahhhhh! Pikiranku dudah melayang kemana-mana.

Aku segera mengambil handuk dan segera mandi guna menjernihkan otakku.

Setelah aku selesai mandi, dengan semangat dan riang gembira, Euis menghampiriku dengan sebuah kantong kresek hitam di tangannya. Gadis itu memang baik dan periang tetapi sungguh disayangkan, ia harus putus sekolah saat masih duduk di bangku sekolah menengah pertama karena keterbatasan biaya.

Setidaknya ia adalah anak yang berguna dan bisa bekerja untuk orang tuanya, gak kayak aku! Lulusan sarjana tetapi hanya jadi beban orang tua. Hih, memalukan!

"Teh Karin, ini gedangnya, amis pisan pokoknya!" ucapnya sambil mengacungkan ibu jarinya.

Aku segera menerima bungkusan kantong plastik yang diberikan Euis lalu membukanya.

"Makas ... hah! Kok pepaya?"

Aku kesal bukan main, tetapi mama malah tertawa terbahak-bahak melihatku.

"Kumaha teh? Ini gedang sesuai mau teteh," tutur euis membela diri.

"Makanya, kalau nyuruh Euis jangan pakai bahasa Jawa, gedang di sini artinya pepaya bukan pisang! Mama diemin aja biar kamu tau rasa gak nyuruh-nyuruh orang terus," ucap mama tertawa sambil terus melakukan pekerjaannya, mencuci bahan-bahan makanan.

"Nih buat kamu aja!" gerutuku kesal, memberikan pepaya tersebut kepada Euis karena aku tidak menyukai buah berbau aneh itu.

Siang hari aku sedang asik membaca novel di sebuah platfrom online untuk mengisi kebosananku.

Seperti biasa, aku tiduran di singgasana ternyamanku apalagi kalau bukan kasur yang empuk dan lembut.

"Ka-ri-na."

Aku merasa ada yang berbisik lirih memanggil namaku. Ah, mungkin hanya imajinasiku saja, karena angin yang berhembus dari jendela yang berada di sampingku yang sengaja aku biarkan terbuka.

"Karin! Masya Allah ini anak, dipanggil kaga keluar juga! Itu kuping ape cantelan? Cepet ganti baju dan keluar, Tante Riska sama calon laki lu udeh datang!" titah mama, yang mulai keluar logat asli Betawinya kala lagi kesal atau marah-marah.

Aku segara mengganti pakaianku, lalu melangkah keluar menemui Tante Riska, sambil menerka-nerka wajah si calon suamiku itu.

Apa pria bujang lapuk atau ah! Pikiran ini sungguh jahanam!

Aku melihat mama di ruang tamu bersama seorang wanita paruh baya dengan wajah yang cantik, dan seorang pria berambut coklat yang duduk membelakangiku.

"Eh Karina, wah sudah besar kelihatan cantik sekali kamu sayang," ucap Tante Riska ramah.

Aku tersenyum, dengan sopan duduk di samping mama.

Deg...!

Gudluking! Eh, good looking!

Aku benar-benar terpana kala melihat pria yang akan di jodohkan denganku.

Pria berparas bule dengan mata sebiru langit.

Tapi, kenapa aku merasa pernah bertemu dengan dia ya? Wajahnya begitu familiar di otakku!

"Kenalkan ini anak Tante namanya Felix Squire Theodor," tutur Tante Riska.

Pria bernama Felix itu tersenyum dan mengulurkan tangannya kepadaku, "Panggil saja Fee atau Felix."

"Karina."

PLAK!

"Tuh, jauh-jauh dari Belanda langsung ke sini mau ketemu kamu!" tutur mama bersemangat sampai menepuk keras pahaku, pedihhh ma!

Mama dan Tante Riska pun melanjutkan obrolannya sedangkan aku tenggelam dalam pikiranku sendiri, sesekali melirik kepada Felix

Kenapa cowok good looking ini mau di jodohin sama aku? Hmmm ... jangan-jangan dia belok makanya di jodohkan paksa denganku! Ih, ngeri-ngeri sedap!

"Sana ajak Felix jalan-jalan!" titah mama menyerahkan kunci mobil kepadaku.

Aku mengerutkan keningku lalu menatap mama.

"Tapi ma, aku 'kan gak tau daerah sini."

"Ajak Euis!" tandas mama seakan menolak semua alasanku.

Akhirnya ,mau gak mau aku menuruti apa kemauan mama. Kami berjalan ke arah gunung salak tepatnya ke sebuah kawasan wisata hutan Pinus di daerah Cidahu.

Di sana banyak para pendaki dan juga orang-orang yang sekedar ingin menikmati pemandangan alam seperti kami.

Setelah sampai di tempat parkir, kami mulai berjalan menyusuri hutan Pinus tersebut.

Hah ... sungguh sejuk sekali udara di tempat itu, di tambah suara kicauan burung yang semakin menambah kesan asri wilayah wisata hutan Pinus ini.

"Felix, kenapa?" sapaku kepada Felik yang berada di sampingku, aku perhatikan sedari tadi ia hanya diam dengan wajah yang memucat.

"Emmm Karin, ki-kita ke sana saja ya!" ucapnya sambil menunjuk arah sebuah warung yang menyediakan makanan dan minuman hangat.

Aku menyetujuinya karena memang udara terasa semakin dingin, padahal waktu masih menunjukkan masih pukul dua siang! Sinar matahari pun sangat minim didapatkan, mungkin karena banyaknya pepohonan rimbun di sana.

Aku asik mengobrol dengan Euis sampai-sampai aku lupa dengan keberadaan Felix.

Aku melirik ke arah pria itu, ah aneh! Benar-benar aneh! Aku melihatnya merancau sendiri, entah berbicara apa.

Aduh... mama, masa iya aku mau di jodohin sama orang yang agak stress kata begitu sih!