webnovel

Mas Kanjeng (Ketika Cinta Harus Diperjuangkan)

Kanjeng, begitu semua orang memanggilnya. Seorang lelaki salih yang sedang mencari istri. Dipertemukan dengan Acha, gadis tomboy yang ternyata memiliki trauma masa lalu. Acha yang begitu membenci Kanjeng, berusaha membuat suaminya itu menjatuhkan talak padanya. Apakah Kanjeng bisa mengobati trauma Acha? Dan, apakah Acha bisa menjadi istri salihah? Mungkinkah pernikahan mereka akan bertahan?

Reftaniar · Teen
Not enough ratings
5 Chs

4. Berantakan

Terdengar suara motor berhenti di depan rumah, aku langsung lompat dari sofa, lantas mengintip ke luar rumah. Ternyata Kanjeng sudah pulang kerja, dia memarkirkan motor di garasi sempitnya dan aku tidak menyiapkan apa pun, seperti kopi misalnya.

Meski kepala ini menunduk seolah menatap layar ponsel, tetapi telingaku terfokus pada suara langkah kaki Kanjeng. Laki-laki yang telah menjadi suamiku sibuk membawa tentengan yang entah apa itu isinya. Setelah membuka kenop pintu, buru-buru kualihkan lagi pandangan ini.

Seyumku melebar tatkala mendapati Kanjeng memasuki rumah dalam keadaan kacau balau. Tak sabar untuk melihat bagaimana ekspresi wajahnya nanti.

"Assalamu'alaikum..."

"Wa'alaikumussalam!" jawabku dengan semangat 45. Kulihat ia terkekeh sembari menyodorkan punggung tangan kanannya, karena sedang senang, kuraih tangannya kemudian mencium tangannya.

"Seneng banget kayaknya Mas pulang, kasihan kamu kesepian ya di sini," ucapnya yang kemudian mencium kepalaku dan mengusap-usapnya.

Aku tak sempat menjawab, karena fokusku pada jemari Kanjeng yang sibuk mengambil beberapa sampah makanan yang memang sengaja dibuang sembarang. Setelah menaruh sampah itu pada tempatnya, ia mengambil sapu dan pengki, lalu menyapu lantai yang kotor karena sengaja aku memasuki rumah pakai sendal meski dari luar rumah.

"Kamu udah salat?" tanyanya sambil menyapu.

"U-udah," jawabku tergagap. Aku masih syok, bagaimana bisa ia setenang itu? Beberapa kali aku menggelengkan kepala, mencoba sadar agar tak terbawa suasana.

"Pinter banget istriku, Mas bawa bakso kesukaan kamu. Makan dulu sana, nanti kalo dingin nggak enak, loh." Ya Allah... malah nawarin makan dia!

Ia mengambil mangkuk serta sendok dan garpu setelah mencuci tangan. Diberikannya itu padaku. "Nih, makan ya. Mas mau ngepel dulu. Jangan ke mana-mana, licin."

Jangan tersentuh. Jangan! Bisa saja akal-akalan dia, kan? Setelah mendapatkan apa yang diinginkan, dia akan pergi meninggalkan! Semua laki-laki begitu, sudah terbaca modusnya seperti apa. Baik di awal, busuk di belakang!

Sengaja, aku memakan bakso di dalam kamar. Di atas tempat tidur sambil menonton drama korea. "Pedes! Mau es jeruk!" pintaku dengan lantang. Keringat mengucur deras di pelipis, bibir terasa panas karena aku menuangkan sambal seperti orang kesetanan. 2 bungkus sekaligus.

Kanjeng berlari menghampiri, tetapi gelas yang ia bawa hanyalah air putih biasa. Aku yang sudah tak tahan malas protes. "Biar Mas suapin," ucapnya yang menyodorkan air putih itu pada bibirku yang rasanya sudah bengkak.

Refleks, kusembur air yang rupanya air hangat, hingga mengenai wajah dan pakaiannya. "Gue kepedesan di kasih air panas!" Air mata mengalir deras setelahnya, cairan kental keluar dari hidung.

"Ya ampun, enggak lama pedasnya ilang, kok. Kalau minum air dingin nanti malah makin pedas. Lap dulu itu ingus kamu," katanya yang langsung dengan sigap mengambil tisu. Kemudian mengelap wajahku yang sudah banjir, dan juga ingus yang tanpa jijik ia lap. Rasa pedasnya memang sudah hilang, tetapi tubuh ini bergidig menyaksikan perlakuannya padaku.

"Ilang, kan? Udah ya, Mas mau lanjut ngepel. Nanti kalau udah selesai, taro aja di situ mangkuknya. Nanti Mas yang ambil," ucapnya yang langsung menghilang dari balik pintu setelah menutupnya dengan senyuman seperti biasanya.

***

Setelah semua rapi, Kanjeng memasuki kamar. Saat salat isya tadi, aku melihat semua tempat yang semulanya berantakan sudah bersih dan wangi. Sepetinya, misi pertama tidak mempan.

"Udah mau tidur?" tanyanya yang langsung duduk di sebelahku. "Mas tahu, kamu pasti kaget dengan berbagai pekerjaan rumah yang harus dikerjakan. Enggak apa-apa, kok, kalau rumah berantakan. Kita bisa bagi tugas. Jangan merasa tertekan, ya? Yang terpenting buat Mas, kamu udah salat dan makan. Itu cukup buat Mas. Pelan-pelan aja, ya?" sambungnya kemudian.

Aku langsung memunggunginya, seolah malas mendengarkan. Padahal telinga ini sudah dipasang baik-baik, dan menyimak setiap kata yang terucap dari bibir tipis miliknya.

"Udah ngantuk, ya? Selamat tidur." Jantung ini berdetak lebih cepat dari biasanya, saat sebuah tangan kekar melingkar di pinggangku. Nafasku memburu, keringat dingin mulai bercucuran, tanganku gemetar tak karuan.

Aku ... merasa takut.

"Kamu kenapa?" Dari suaranya, sepertinya Kanjeng panik dan langsung melepaskan pelukannya itu. Sementara aku, masih gemetaran.

"Maaf ya, Mas enggak bermaksud. Mas tidur duluan, ya," ucapnya yang langsung keluar kamar. Meninggalkanku sendirian. Argh! Mau gila rasanya. Tidak kah ia tahu kenapa aku seperti ini? Bahkan tanpa menunggu jawabanku ia langsung pergi begitu saja!

Dengan rasa takut yang kian menjadi, aku menggulung diri dalam selimut. Setelah meneguk sebutir obat dari dalam laci.

***

Semalam aku tetidur, kulirik jam sudah menunjukkan pukul 02.00. Kerongkongan terasa kering sekali. Saat hendak mengambil air, ternyata sudah ada botol air minum di meja sebelah ranjang. Terkadang, Kanjeng begitu manis dan pengertian, sayang sekali harus menikah dengan orang sepertiku.

Tidak bisa tidur, aku mengunduh film agar terkantuk. Namun sebelumnya, aku mengintip Kanjeng yang tertidur pulas di sofa, dengan laptop yang masih terbuka dalam keadaan mati. Aku masih tidak tahu apa pekerjaan Kanjeng, karena aku tidak mau tahu.

*

Niat ingin tidur lagi setelah subuh, ternyata mata ini tetap terjaga. Pagi ini, aku dapat melihat Kanjeng berangkat kerja. Kenapa ia tidak mengendarai mobil? Pertanyaan itu tak sampai dan kembali tertelan begitu saja.

"Macet kalau bawa mobil. Lebih cepat naik motor, Mas bawa jas hujan kok," ucapnya dengan lembut. Aku langsung berdecak. Bicara apa dia ini.

"Mas berangkat, ya. Kamu tidur lagi sana kalau ngantuk." Ia mengusap pucuk kepalaku setelah menciuminya. Entah kenapa aku diam saja dan tidak berontak, tubuh ini terasa kaku tiap kali ia melakukan itu.

"Assalamu'alaikum, Sayangku."

Sosoknya, mulai menghilang dari pandanganku. "Wa'alaikumussalam." Aku lantas segera memasuki rumah, nanti jam 10, aku hendak pergi ke rumah teman, karena merasa bosan di rumah saja.

Setelah beberapa saat, terdengar suara motor berhenti di depan rumah. "Assalamu'alaikum." Itu, suara Ibu! Gawat! Cucian piring numpuk!

"Acha! Udah bangun belum lo? Awas aja ya kalau masih molor! Gue gibeng lo!" Astaga, kenapa Abang harus ikut, sih. Kalau begini caranya bisa dapat ceramah selama tujuh turunan!

Dengan tergesa, aku membuka pintu. Sebuah cengiran melebar tatkala melihat Abang dan Ibu sudah di depan mata. Jantungku tak mau santai, kenapa gugup sekali bertemu mereka.

"Hehe, ngapain Bang, pagi-pagi ke rumah?"

"Emang kagak boleh gue sama Ibu ke rumah?" tanyanya yang langsung masuk padahal belum dipersilakan. "Kenapa lo gugup? Ada yang lo sembunyiin, ya?"

"Enggak!" kilahku. "Sini masuk Bu, Ibu mau Acha buatin minum apa?"

"Kamu kok, kayak sama siapa aja. Nanti Ibu ambil sendiri. Ibu cuma mau ngeliat kamu, Ibu kangen," ucapnya yang langsung memelukku. Hangat sekali.

"Acha juga kangen Ibu."

Sebuah tangan mengusap-usap perutku.

"Jadi, udah cek belum? Kembar enggak?"

"IBU!!!!!!"

Bersambung...

***