webnovel

Sekedar Contoh

Raka bernapas lega ketika melihat Shika yang diam, mengikuti perintahnya. Laki-laki yang kini tengah duduk lemas sambil menyenderkan kepala ke tembok dengan posisi miring itu, sempat was-was jika Shika benar-benar menghampirinya. Dia tidak ingin Shika merasa kasihan pada dirinya yang rapuh ini.

Raka memejamkan mata. Sakit rasanya pernyataan cintanya itu ditolak oleh Shika. Hatinya hancur lebur, remuk redam. Pikirannya sudah melayang pada bagaimana kehidupan dia tanpa Shika. Pasti sangat menyesakkan dada, tetapi apa mau dikata, Raka tidak bisa memaksa Shika untuk menerima cintanya. Biarlah dia yang merasakan sakit hati serta kecewa yang tidak berkesudahan ini.

"Sosok kuat dan pemberani dalam diri seorang Raka hilang begitu saja saat ungkapan perasaan serta pernyataan cintanya itu ditolak oleh sang gadis pujaan. Dia berubah menjadi sosok yang rapuh, dan lemah tak berdaya."  Mia menghampiri Raka. Perempuan dengan cardigan rajut itu berjongkok di samping kanan Raka, dia memiringkan wajah guna mengamati bagaimana keadan Raka saat ini. "Cinta memang sebuah misteri yang tidak terpecahkan. Cinta bisa membuat orang yang lemah akan menjadi kuat, begitupun sebaliknya. Yang kuat menjadi lemah ketika cinta itu tidak lagi bisa memberikan sebuah kenyamanan di sana."

Yang dikatakan Mia benar. Dirinya begitu rapuh sekarang. Apalagi ditambah dengan hilangnya Shika dari pandangan. Shika kini semakin jauh dari jangkauan, memang dulu pun seperti itu. Namun sekarang, seakan akan tembok besar yang menghalangi mereka. Sekeras apapun Raka berusaha merobohkan benteng itu, tidak akan biaa merubah apapun. Shika tetap akan bersama dengan kekasihnya. Memikirkan itu, membuat Raka merasa kehilangan, kesepian serta kehampaan karena tidak ada lagi sosok Shika di sekelilingnya.

Raka mendongak, matanya tertuju langsung pada Shika yang berdiri kaku di samping laptop yang berisi poin-poin materi yang saat ini mereka bahas yang terpancar ke proyektor kelas. Shika kini menjauh. Lagi-lagi, fakta itu membuat dada Raka kian sesak.

Raka butuh seseorang untuk bisa menjadi pendengar tentang curahan hatinya saat ini. Dia butuh seseorang yang mampu memberinya semangat untuk kembali bangkit dari kerapuhan ini. Namun nyatanya, semua itu tidak mungkin ada. Danis ataupun siapapun tidak mungkin percaya bahwa kini, dia tengah merasakan patah hati karena ditolak cintanya oleh Shika. Yang ada, mereka akan menertawakan Raka dan berakhir dengan sakit hati. Merasa dipermainkan oleh mereka.

Entah dorongan dari mana, Raka bangkit. Matanya tidak lepas dari benda mengilap berukuran kecil yang tersimpan di atas meja. Tidak jauh dari posisi berdirinya sekarang.

"Raka yang rapuh ini, merasa sudah tidak ada lagi tempat untuk dia mencurahkan isi hati. Menyeruakkan rasa sakit yang menyesakkan dada." Mia kembali menceritakan bagimana keadan Raka sekarang. Kini posisi Mia berdiri di samping Raka yang tengah memegang silet.

Apa? Silet? Ya, benda kecil mengilap itu adalah silet. Entah siapa yang meletakkan benda kecil nan tajam itu di atas meja, Raka tidak peduli. Dia saat ini tidak bisa berpikir jernih lagi. Dia butuh sebuah  pelampiasan untuk menghilangkan, atau setidaknya untuk mengurangi rasa sakit hati ini.

Dengan perlahan, Raka mengarahkan silet yang tengah dipegangnya ke arah lengan kirinya. Silet yang berada di tangan kanan itu mulai membuat goresan. Memulainya dari lengan atas, lalu kemudian mulai turun ke pergelangan dengan bertahap. Goresan yang tidak terlalu dalam, namun menghasilkan darah yang bercucuran ke lantai. Tidak sampai membuat menembus urat nadi, tetapi cukup menimbulkan rasa perih ketika terkena air.

Perbuatan Raka tersebut, ternyata tidak luput dari penglihatan Shika. Perempuan itu tidak bisa menyembunyikan keterkejutan di wajahnya. Dengan tangan yang menutup mulut, matanya membulat menatap ke arah Raka. Sungguh, perempuan itu tidak menyangka Raka akan melakukan itu.

Shika hendak berteriak ketika melihat Raka akan menggores tangannya kembali. Namun aksinya itu terhenti ketika mendengar Mia kembali menceritakan keadaan Raka sekarang.

"Ini adalah cara Raka untuk melampiaskan rasa sakitnya. Dia putus asa. Tidak ada lagi yang dia butuhkan, selain pelarian."

Seharusnya sekarang yang Raka rasakan ada perih. Namun kenyataanya, malah rasa lega serta menyenangkan menyenggapi hatinya. Rasanya, tetes demi tetes darah yang menetes ke lantai, seperti rasa sakit yang kini Raka rasakan. Semakin banyak darah yang menetes, maka berkurang pula rasa sakit hatinya itu.

Dengan mata yang terpejam, Raka mulai meresapi rasa menyenangkan yang hinggap di hatinya. Rasa tenang serta sedikit lega begitu terasa. Seperti ada yang mengangkat batu besar dari punggungnya yang sedari tadi terasa berat. Sungguh, dia tidak menyesal telah melakukan ini. Karena nyatanya, aksinya ini memang benar-benar mampu mengurangi rasa sakit yang dia rasakan.

Raka menoleh, matanya bertemu pandang denga Shika. Raka tidak marah. Oleh sebab itu, seutas senyum terbit di bibirnya. Meyakinkan kepada pujaan hatinya bahwa dia baik-baik saja. Meski goresan tadi tidak sepenuhnya membuat perasaan Raka kembali seperti semula, tetapi cukup membuat hatinya sedikit tenang.

"Nah, jadi itu, ya, teman-teman. Contoh kecil dari Self Harm."

Apa? Contoh?

Mendengar itu, membuat Shika yang awalnya pandangannya terkunci pada lengan Raka, seketika menoleh pada Mia yang kini maju ke tengah-tengah mereka. Shika yang masih berdiam kaku dengan tidak merubah posisi sedikit pun, dan Raka yang kini mengelap goresan di lengannya menggunakan tisu.

Bibir Shika terkatup rapat. Lidahnya pun terasa kelu. Jadi, yang tadi itu sekedar contoh? Contoh yang mampu membuat jantung Shika berdetak tak karuan karena dirundung rasa takut dan rasa bersalah? Jika itu memang contoh dalam materi ini, kenapa mereka tidak memberitahu rencana ini pada Shika? Malah membiarkan dia menjadi orang yang bodoh, mengira bahwa yang Raka lakukan adalah sungguhan. Bukankah mereka satu team? Tetapi mengapa seolah-olah hanya mereka berdua saja yang ada di team ini. Shika hanya pajangankah?

Dada shika bergemuruh. Perasaan kesal, marah, serta kecewa kini menghampiri hatinya. Dia benci ini. Tidak suka ketika posisi dan perasannya dipermainkan oleh mereka. Kalau mereka tidak ingin Shika ada diantara mereka, seharusnya jujur saja. Tak usah dengan cara seperti ini.

Shika memasang senyumnya kembali ketika melakukan penutupan.

"Sekian penyampain materi dari kami," ucap Mia dengan wajah cerianya.

"Kalau ada sumur di ladang." Shika berpantun.

"Bolehkah kita menumpang mandi." Raka menambahkan.

"Kalau ada umur yang panjang." Mia melanjutkan.

"Bolehlah kita berjumpa lagi," ucap mereka serempak dengan ekspresi ceria yang tidak luntur dari wajah mereka.

"Assalamu'alakum warahmatullahi wabarakatuh." Tutup mereka dengan kompak dan semangat.

Suara tepuk tangan menjadi penyambut dari berakhirnya latihan mereka. Mia dan Raka saling bertatapan dengan wajah ceria dan perasaan lega. Karena mereka mampu menampilkan sesuatu yang mengejutkan untuk Putra dan audience nantinya.

Apalagi Putra berdiri dari duduknya dengan wajah yang memancarkan ekspresi takjub pada penampilan mereka. Dia tidak menyangka akan ada adegan seperti ini sebagai contoh dari materi yang mereka sampaikan.

"Keren." Satu kata yang mendeskripsikan penampilan mereka. "Ini keren banget. Saya kira gak akan ada kejutan seperti ini. Kemarin-kemarin masih memepermasalahkan dengan kecanggungan Shika. Tapi melihat ini, terbukti bahwa Shika memang benar-benar mau ikut lomba."

Shika terdiam. Bibirnya ingin mencela ucapan seniirnya ini. "Tidak tahukah anda, bahwa dalam penampilan ini, tidak ada sedikitpun campur tangan Shika," batin Shika berbicara.

Namun apa daya, lagi-lagi dia hanya bisa terdiam. Membiarkan Putra terus mengomentari penampilan mereka yang menurutnya sangat menakjubkan.