"Tidak, Dev!" Teriak Merry seraya menutup kedua matanya dengan telapak tangan. Ia benar-benar terkejut.
Dengan buru-buru David pun segera memungut handuk yang tergeletak sembarangan di atas lantai. Ia juga tak kalah histerisnya dengan Merry. Dalam hati ia merutuki kenapa listrik harus menyala saat dirinya tak mengenakan pakaian lengkap.
Sesudah itu, keduanya pun saling tatap. Mereka sama-sama kikuk tak tahu harus berbuat apa. David yang tampak tengah duduk di soffa ujung ranjang pun masih mencoba menenangkan diri. Hati, napsu dan kesadarannya terus saja berperang.
Dia bukanlah pria mudah polos. David sudah berusia lebih dari tiga puluh tahun. Dan kini yang ada di hadapannya sana adalah perempuan cantik, memiliki bentuk tubuh yang sintal serta mereka hanya berdua di dalam kamar. Kemudian, suasana yang begitu mendukung.
Dengan cepat, David pun gegas menghampiri Merry yang terlihat datar. Ia yakin sosok seperti Merry bukanlah perempuan gampangan. Dan kecerobohannya tadi benar-benar membuat David merasa bersalah sekaligus tak enak hati.
"Merr!"
"Ya, Dev."
"Maafkan aku. Tolong jangan berpikir yang tidak-tidak. Tadi tak seperti yang kamu kira,' jelas David.
Pria dewasa itu duduk di tepi ranjang dengan kaki yang terjulur ke bawah. Ia tampak memunggungi sosok Merry, rasanya masih tak enak hati untuk menatap wajahnya langsung.
"Sudahlah, Dev. Lupakan saja."
"Ya sudah, kalau begitu kamu segera tidur di ranjang sini ya. Aku akan tidur di sofa sana," tutur David.
Namun entah setan mana yang tengah merasuk ke dalam diri mereka berdua. Tiba-tiba saja bibir mereka berdua saling memagut satu sama lain, David terus menyapukan halus lidahnya pada bibir ranum Merry.
Agaknya, mereka berdua tidak sadar akan hal itu. Sehingga membuat David lebih yakin jika sosok itu adalah Saukilla calon istrinya bukanlah Merry. Cuaca yang mendukung, gradasi kamar, serta udara dan waktu begitu memaksa mereka untuk melakukan hal yang tak seharusnya.
Entah David dalam keadaan sadar atau tidak yang jelas ia menatap lekat wajah Merri. Namun setelah itu, Ia tetap melanjutkan aksinya. Malah lebih dari hal yang tadi. David mulai menjelajah ke celah baju milik Merry. Di sana ia mulai melepaskan pengait bra dan meraba kedua milik perempuan itu.
Rupanya David begitu merindukan Saukilla, jelas sehingga sosok di hadapannya pun tampak seperti calon istrinya. Padahal sejatinya itu adalah Merry. Lagi pula Merry juga sangat menginginkan hal itu sehingga ia pun tak menolak atau pun menghentikan aksinya.
David mulai mendorong pelan tubuh Merry ke atas ranjang berukuran king size. Kemudian ia mulai mengendus pada setiap lekuk tubuh perempuan tersebut. Namun, kesadaran David perlahan mulai datang manakala sebuah dering telepon mengembalikan kesadarannya.
Triiing .... triiing .... triinngg ....
Sebelum David benar-benar meninggalkan Merri, keduanya pun saling bertatap sejenak. Kemudian, David pun bergegas meraih benda berbentuk persegi panjang yang terletak di atas nakas samping ranjang. Tertera sebuah nama yang begitu ia kenali pada layar display ponselnya
"Hallo, maaf, Tuan. Kami mengganggu waktu Anda. Ada hal yang harus kami sampaikan," kata salah satu anggota tim elit asal Belanda.
"Ya. Katakan saja, apa yang kalian dapatkan dari pencarian calon istri saya?"
"Kami menemukan beberapa barang yang diduga merupakan milik Nona Saukilla yang ada di perbatasan antara pulau Jeju Korea Selatan."
David pun sejenak tersenyum lega, tampak dari tatapan kedua matanya setelah itu pria tersebut gegas melanjutkan introgasinya pada lawan bicara di seberang sana.
"Kalian mengenakan nomor telepon Korea Selatan, itu artinya kalian sedang berada di Korea Selatan?" tanya David pada lawan bicaranya.
"Benar, Tuan. Kami sedang ada di desa militer. Kami menemukan potongan Coat serta ikat rambut seperti yang digunakan oleh Nona Saukilla."
"Baiklah, tolong segera kirimkan gambarnya ke saya."
"Baik, Tuan. Segera kami kirim."
Agaknya David tidak menyadari jika sosok di belakang sana sedang menangis. Merri merasa bersalah dengan sahabatnya, karena hampir saja melakukan hal gila dengan David yang tak lain merupakan calon suami Saukilla.
Namum, David tidak menyadari hal tersebut. Saking ia bahagianya sebab usaha pencarian Saukilla ini membuahkan hasil juga. David sudah meyakinkan diri dan mengatakan untuk menerima apa pun hasil dari pencarian tersebut.
Triiing ....
Sebuah pesan gambar via WhatsApp di sana memperlihatkan potongan Coat milik Saukilla serta ikat rambut berwarna biru. David mulai mengezoom gambar ikat rambut tersebut, ia benar-benar yakin jika itu adalah milik Saukilla.
Xxxx xxx Xxx.
To Tuan David : [Kami bisa memastikan jika Nona Saukilla masih hidup dan ia ditemukan oleh warga sekitar. Berikan kami waktu lebih panjang untuk melakukan pencarian selanjutnya]
Itu merupakan isi pesan dari tim elite asal Belanda. Dengan gegas David pun segera menghampiri Merri yang terlihat murung. Wajahnya datar dan dampak jejak Air mata. Namum sayangnya pria itu tidak menyadari akan hal yang tadi sempat ia lakukan bersama Merri.
"Saukilla masih hidup, Merr. Barusan tim elit Belanda memberitahuku jika mereka menemukan potongan barang-barang yang dikenakan oleh Saukilla."
"Aku begitu bahagia, Merr."
David terus mengguncang tubuh Merry dengan senyuman. Merry bisa mendapati bahwa David begitu bahagia akan kabar itu. Terbukti memang dari kedua tatap matanya, sehingga Merri Ia hanya tersenyum miris akan semua itu.
'Secepat itukah kamu melupakan kejadian yang baru saja beberapa menit yang lalu. Sebegitu cintanya kah kamu dengan Saukilla,' Batin Merri.
Dalam hati sebenarnya perempuan itu ingin menangis. Namun ia mencoba menahan, ia tidak ingin terbawa suasana dan tak ingin membiarkan perasaan salah itu terus berkembang. Merry begitu takut jika cinta yang tak terbalaskan membuat persahabatannya dengan Saukilla hancur.
"Aku begitu bahagia, Merr. Semoga Saukilla bisa ditemukan dalam keadaan selamat dan kemudian kami bisa segera menikah."
Entah dia refleks atau sengaja, David pun memeluk erat tubuh Merry.
*****
"Aku akan membuat makanan ini untuk, Ahjussi, dia harus makan yang banyak supaya tidak sakit dan bisa terus menjagaku."
Rupanya monolog Nora didengarkan oleh Kapten Sean yang sedari tadi menguping di balik daun pintu. Ia masih tidak percaya 100% jika sosok Nora Saukilla tengah terganggu saraf ingatannya.
"Nora, tolong katakan pada saya apa yang sebenarnya kau inginkan! Sebenarnya Kau hanya pura-pura saja kan!" Kelakar captain Sean seraya melangkah mendekati Nora, perempuan tersebut sedang membuat sarapan pagi.
Dengan cepat Nora pun menoleh kebelakang, tepat di mana Kapten Sean yang berada. "Ahjussi! Ahjussi semalam tidur di mana,bkenapa tidak menemaniku tidur?"
Loroh Nora Saukilla seraya bergegas memeluk tubuh Captain Sean dengan kedua lengannya yang melingkar pada pinggang Kapten Sean. Perempuan tersebut pun juga menyandarkan wajahnya ke dada bidang tentara nasional Korea Selatan tersebut.
"Ahjussi, nanti malam aku tidak akan tidur jika kau tidak menemaniku!"
'Bagaimana aku bisa mengetahui jika perempuan ini mengalami gangguan pada sarafnya. Yang aku takutkan hanyalah perempuan ini merupakan mata-mata dari negara lain.'
"Ahjussi, parfum yang ada di atas bantal apakah milikmu?"
"Kenapa memangnya?"
"Aku begitu suka dengan wanginya. Sepertinya dulu aku pernah menggunakan parfum tersebut. Tapi di mana, Ahjussi. Apakah kau tahu?" tanya Nora Saukilla begitu polos. Ia masih setia memeluk tubuh Captain Sean, namun kali ini Nora mendongakkan wajahnya menatap pria tampan penuh cinta.
Diusianya yang matang tiga puluh lima tahun tak memungkiri bahwa hasrat Kapten Sean memuncak tatkala dipeluk oleh perempuan itu. Ia memang merasa nyaman manakala dekat dengan Saukilla. Tapi, sebelum mengetahui jati diri perempuan tersebut sepenuhnya, Captain Sean terus melarang hatinya untuk tidak jatuh cinta.
"Ahjussi, apakah kau menyayangiku?"
"Apa?"
Kapten Sean begitu terkejut mendapati pertanyaan seperti itu. Tak pernah ia dengarkan pertanyaan tersebut selama tiga puluh lima tahun hidup di muka bumi. Pertanyaan tersebut membuat dadanya berdegup cukup kencang. Entahlah, sebutan apa yang tepat untuk perasaan tersebut.
'Menyayangi perempuan ini?'
'Lantas ada apa dengan hatiku, apakah aku mencintai Nora?'