"Hah! Jadi maksud kamu aku yang harus melepaskan baju serta pakaian dalammu?" loroh Kapten Sean begitu terkejut dengan ucapan Saukilla.
Secepatnya, Kapten Sean pun bergeleng kepala. Itu adalah hal konyol, rasanya tidak mungkin jika ia melakukan hal tersebut. Kapt Sean begitu menjunjung sebuah kejujuran serta rasa malu.
Sepertinya Capt Sean dan Saukilla belum sadar jika keempat prajuritnya tengah menguping dari balik daun pintu. Mereka semua tertawa dalam hati, merasa senang sebab baru kali ini melihat Kapten Sean berinteraksi, tak seperti biasanya hanya diam.
Namum, lain halnya dengan Pratu Chic Ko. Mimik wajah pria tersebut menggambarkan sesuatu yang tak bisa diartikan.
"Kau gila, ya! Apa urat malumu sudah putus?"
"Ya sudah kalau begitu, tolong carikan aku perempuan untuk membantu melepaskan baju serta pakaian dalam ini. Kau pikir aku juga tidak tertekan, meminta tolong padamu tentang hal seperti ini," kata Saukilla. Ia tampak menunduk dengan raut wajah penuh kesedihan.
Lagi-lagi Kapten Sean merasa tidak tega. Namum, ia masih enggan dan tidak memiliki keberanian untuk melakukan apa yang Killa inginkan.
'Aku tidak mungkin menuruti permintaan perempuan ini. Tidak! kau tidak boleh melakukan hal itu, Sean!'
Killa gegas melepaskan cekalan tangannya pada pundak Kapten
Sean. Ia beralih pada dinding kamar mandi yang terbuat dari bata merah yang tersusun rapi.
Sebenarnya, perempuan itu kewalahan.
iya meringis menahan rasa sakit pada kedua kakinya. Dengan susah payah,
Saukilla pun berusaha membuka pakaiannya seorang diri. Sedangkan Kapten Sean, ia hanya berdiri mematung.
"Astaga sakit sekali kakiku," keluh Saukilla. Sebenarnya, dalam hati Kapten Sean ia begitu kasihan. Tetapi untuk meminta bantuan kepada perempuan di desa militer, rasanya tidak mungkin.
"Aku harus bisa, harus berusaha ekstra agar secepatnya bisa pergi dari sini dan mencari jati diriku yang sebenarnya."
Berkali-kali Saukilla tampak tertatih kala membersihkan tubuhnya, ia sempat terpeleset dan hampir saja jatuh. Kapten Sean yang tidak tega pun berusaha menolong Saukilla. Namun perempuan itu gegas menepis tangan Kapten Sean, ia merasa malu karena berkali-kali merepotkannya.
Hatinya begitu ngilu, ia seperti seseorang yang paling menyedihkan. Bahkan, saat ia sedang lupa ingatan pun kesedihan pun tetap menyamainya. Saukilla, sungguh menyedihkan.
"Sudahlah, kau tidak boleh membantuku. Aku bisa sendiri dan setelah ini aku akan pergi dari rumahmu. Maka kamu tidak akan ada yang merepotkan lagi!" kemarahan Saukilla tampak melonjak.
Sebenarnya tak ada niatan bagi Kapt Sean untuk membuat Saukilla menangis seperti itu. Ia pun tak tahu kenapa hatinya sedikit ngilu manakala melihat perempuan menangis terlebih itu adalah Saukilla.
"Maafkan saya, say tidak bermaksud seperti itu, Nona!"
sudahlah. Lihat saja aku bisa mandi sendiri!"
Saukilla mampu berdiri, namun ia menahan rasa sakit yang tak karuan tersebut. Ia bahkan hampir saja tidak kuat. Setelah usai mandi dan mengenakan handuk, ia pun terjatuh dan pingsan.
"Aarrgghhh!"
Kapten Sean terkejut, ia segera membuka kedua bola matanya, "Apa yang terjadi denganmu! Hei bangunlah! Jangan membuatku takut seperti ini." Ucap Kapt Sean seraya terus mengguncang tubuh Saukilla. Namum, perempuan yang hanya mengenakan handuk kecil pun tak juga kunjung bangun.
Empat serdadu Kapt Sean yang sejak tadi menguping di balik pintu pun ikut panik. Rasa-rasanya mereka ingin segera masuk, tapi itu jelas tidak mungkin.
Berbalik dengan Pratu Chic Ko, ia tampak benar-benar ingin gegas membuka pintu dan menolong Saukilla. Tapi seketika temannya pun menahan.
"Eh Eh, Pratu Chic ko. Apa yang kau lakukan, ini adalah urusan Kapten Sean dengan perempuan itu. Lebih baik kita segera menjauh," tutut Praka Renjana.
"Tidak apa-apa, aku harus menolong perempuan itu!"
Namum, keributan mereka berempat pun terhenti manakala melihat knop pintu tampak sedang dimainkan oleh seseorang di dalam. Itu merupakan Kapten Sean, sehingga mereka pun gegas menjauh.
Capt Sean merasa benar-benar bersalah. Ia pun segera membawa perempuan itu ke kamar pribadinya. Sosok Saukilla yang kini sudah lebih bersih dan cantik karena ia sudah mandi pun membuat Kapt Sean terpesona.
Entah kenapa Kapten Sean merasakan dadanya berdegup kencang, ritme yang tidak beraturan seperti biasanya. Ada yang tampak menyembul saat menidurkan Saukilla di atas tempat tidurnya.
"Hei, Nona. Kamu jangan membuatku merasa bersalah seperti ini!"
"Hei, Nona!" sapa Kapt Sean lagi, ia terus mengguncang tubuh Saukilla.
Kapt Sean pun beranjak berdiri sejenak, tangan kirinya berkacak pinggang serta tangan kanannya memijat pelipis dengan kasar. Bingung, apa yang harus dilakukan, pria berusia tiga puluh tujuh tahun tersebut menatap keluar rumah melalui kaca jendela.
Ia berharap bisa menemukan sesuatu untuk menyelamatkan nyawa Saukilla. Untuk membuat perempuan di hadapannya bangun dan tegas mengenakan pakaian. Sebab hal itu membuat Sean sedikit ketakutan.
"Apa yang harus aku lakukan! Ck! Kenapa menemukan perempuan itu membuatku semakin rumit!"
"Mungkin parfum aroma terapi ini bisa membuat dia sadar, tak salah bukan aku mencobanya,"
Mulailah Kapten Sean mendekatkan aroma parfum beraroma terapi pada lubang hidung Saukilla. Rupanya berhasil, tak selang beberapa lama perempuan tersebut pun mengerjapkan mata ia tersadar namun Killa tampak seperti seorang yang kebingungan.
"Kau sudah sadar?"
"Maafkan saya, saya tidak berniat melakukan hal seperti itu. Sebab, saya belum terbiasa melakukan hal ini, Nona. Selama hidup saya, saya tidak pernah memandikan seseorang perempuan," kata Kapten Sean. ia pun terus menjelaskan rentetan kalimat kepada perempuan yang baru saja sadar.
Saukilla tak kunjung menimpali ucapan Sean, ia terus menatap lekat manik mata pria di hadapannya.
"Ahjussi," panggilnya pada Sean.
Kapten Sean pun terkejut, kedua bola matanya membulat sempurna. Apa aku tidak salah dengar, perempuan ini memanggilku dengan sebutan ahjussi? batin Kapten Sean.
"Ahjussi, apa yang terjadi denganku?"
"Ahjussi, di mana pakaianku? Aku merasa dingin," sambung Saukilla. Namun yang membuat Kapten Sean terkejut lagi adalah logat bicara perempuan tersebut. Tak lagi seperti sebelumnya.
"Kenapa perempuan ini memanggilku Ahjussi, serta logat bicaranya khas anak kecil," gumam Kapten Sean.
"Ahjussi, Aku ingin permen!"
"Aku ingin permen, Ahjussi!"
Saukilla tampak menendang-nendang, iya bak anak kecil yang marah manakala tak segera diberikan permen oleh Ibunya. Saukilla pun persis seperti itu. Capt Sean kebingungan, Ia pun keluar sejenak dan memanggil keempat serdadunya.
Tapi, ke empat serdadunya tak kunjung ditemui, tangisan Killa begitu nyaring terdengar hingga ruang utama.
"Praka Renjana! Praka Renjana, di mana kau?"
"Hei, kalian di mana!" Kapten Sean memanggil mereka, tampak begitu khawatir dan takut jika terjadi sesuatu pada Saukilla.
****
Mendung membuat sore hari di kota Bandung begitu temaram. Usai mengantar Ibu Maria, kini Merri gegas menuju basement. Di situ adalah tempat berkumpul antara teman-teman mapala. (Mahasiswa Pecinta Alam)
Bukan hal yang tidak mungkin lagi untuk Merry dan juga David berada dalam satu ruang lingkup. Hal itu karena Merry dan David mereka saling mengenal dulu di tahun 2014. David, Merri dan juga Saukilla pernah bertemu di gunung Argopuro.
"Merr, masih lama nggak?"
"Mungkin agak molor ya, Dev. Lagi kena macet nih."
"Oke, ya sudah santai saja. Hati-hati. Anak-anak juga belum kumpul semua kok," kata David yang membuat agar Merri tak terburu-buru.
Sambungan telepon terputus, Merry kembali fokus menatap jalanan. Aspal hitam, halus yang basah sebab guguran hujan Tltak bertuan.
Merry pun berdecak halus, "Ah, kenapa sih pakai acara macet segala! Nggak tahu apa, orang lagi penting!"
Merry terus memikirkan sahabatnya Saukilla. Ia yakin jika Saukilla masih hidup dan dia tersesat entah di mana itu. Jika menuruti ucapan Kak Genta serta istrinya nenek sihir Riana, mungkin mereka akan umumkan bahwa Saukilla telah tiada.
"Wah, nenek sihir itu memang benar-benar keterlaluan. Aku akan buktikan kepada polisi kalau Saukilla belum meninggal, tapi masih hidup!" Gerutu Merry seraya menyibak halus rambutnya.
Dia menatap kiri-kanan jalanan, mendung tampak gelap memayungi kota Bandung. Lampu-lampu jalan belum banyak yang menyala sebab hari belum terlalu sore.
Akhirnya setelah terjebak macet begitu lama, Merry pun tiba juga di basement itu. Basement tersebut berada di bilangan kota Bandung. Yang didirikan oleh dirinya dengan Saukilla, hasil dari menabung uang upah pekerja.
Sejak dulu Saukilla dan Merry memang sering kompak, mereka berdua tak begitu suka menghamburkan uang jika tak terlalu penting. Merry pun sampai, di sana sudah terdapat tiga mobil yang berjajar rapi. Salah satunya milik David, calon suami dari Saukilla.
"Waduh, hujan ya. Lupa nggak bawa payung lagi."
Merry pun bergegas meminta tolong kepada David untuk menjemputnya di parkiran. Tidak mungkin jika Merry menerobos hujan yang begitu deras.
"Ya, Merr. Ada apa? Sudah sampai mana?"
"Aku sudah di depan, Dev. Bisa tolong jemput atau suruh anak-anak ke sini bawa payung?" Merry menjelaskan, kemudian ia gegas menutup telepon saat salah satu di sana bersedia menjemput dirinya.
David pun datang, ia masih mengenakan setelan kerja, seorang CEO di perusahaan tambang bilangan Bandung dan juga beberapa cabangnya yang ada di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Magelang, serta Daerah istimewa Yogyakarta.
Tok ... tok ... tok ...
Merry pun menoleh dan gegas membuka pintu mobil saat melihat Dev sudah datang menjemputnya.
"Sudah lama ya, Merr?"
"Baru juga lima menit mungkin. Anak-anak sudah kumpul semua?"
"Sudah, Bu dokter," ucap David menjawab dengan gurauan.
"Ah, kamu mah, Dev. Dokternya dihilangin dulu deh kalau lagi kumpul sama anak-anak."
David menatap Merry dengan senyum, dia adalah bagian dari seseorang yang menolong sahabatnya kala terkena hipotermia di gunung Argopuro tahun 2014 lalu.
Merry sendiri sebenarnya tidak terlalu cantik, namun Ia memiliki pemikiran yang luar biasa, wawasan yang luas serta jenjang karir yang bagus. Seain itu Merry juga memiliki beberapa komunitas salah satunya peduli bencana.
Sikap yang tegas, berwibawa, tak mudah termakan gosip serta rendah hati seperti tadi misalnya. Ia tak ingin gelar doktornya membuat jarak antara ia serta sahabatnya.
"Kamu memang dari dulu rendah hati ya Merr."
"Ya nggaklah, Dev. Hatiku di atas, bukan di bawah mana mungkin rendah." Dev pun ikut tertawa manakala Merry sengaja membuat lelucon di tengah gentingnya hati seorang David Maulana Napper.
David merupakan pria matang berusia tiga puluh tujuh tahun, hampir seumuran dengan Kapten Sean mungkin hanya berbeda beberapa bulan saja. Ia adalah pria keturunan Belanda, tapi sudah lama menetap di Indonesia sejak tahun 2010 kalau tidak salah.
Pria dengan watak pemaaf, sabar dan menurut Killa, David itu tak terlalu tegas. Dia itu lemah, namun memiliki wawasan yang luas sama seperti Saukilla dan Merry. Karir yang pria itu miliki pun cukup bagus.
Hidung bangir, bola mata berwarna biru serta wajah khas orang Belanda. Bisa di kategorikan sebagai pria tertampan seantero Bandung. Apalagi, kekayaan yang ia miliki mungkin akan membuatnya mudah mendapatkan hati perempuan.
Saat marry hendak melangkah, tiba-tiba saja kakinya tergelincir. High heels yang ia kenakan membawa masalah, hingga ia terjatuh namun beruntung David sigap menangkapnya.
"Astaga, Merri. Hati-hati, kamu tak apakan?" tanya David pada Merri. Keduanya masih pada posisi yang sama, David yang berdiri seraya menahan tubuh Merry agar tidak jatuh ke lantai.
Merry merasa sedikit kikuk, entahlah tetapan David membuat ia canggung dan malu.
"Dev! Dev! ingat Saukilla, Dev!" sahut temannya.
Kemudian Merry dan David pun segera beranjak, mereka jadi kikuk dan canggung setelahnya.
'Astaga ada apa ini dengan hatiku,'
batin Merri.
_ bersambung _