webnovel

LIMA

Setibanya Alif di sebuah gedung apartemen, ia lekas membuka pintu unit di depannya dengan sebeluknya menekan tombol password yang dikirim oleh si pemilik kamar.

Saat masuk ke dalam, Alif hanya menemukan ruangan kosong yang belum sepenuhnya terisi barang. Ia lanjutkan langkah menuju kamar seseorang.

Alif menghela napas melihat Anna yang terbaring lemah dengan wajah pucat. Ia melepas jaket yang dipakai kemudian duduk diatas ranjang di samping wanita itu. Matanya berkeliling sejenak, melihat isi kamar Anna yang juga belum terisi penuh seperti ruangan lain, mengingat wanita itu baru saja sampai beberapa hari yang lalu.

"Sejak kapan kau begini?" Alif mengulurkan tangan, hendak menyentuh kening Anna yang langsung dicegah wanita itu dengan menggenggam tangannya.

"Aku tidak apa-apa. Sejak kapan kau datang?" Anna mencoba tersenyum yang malah terlihat di mata Alif sebagai senyum paksa.

"Baru saja. Aku menerima telepon dari seseorang kalau kau sakit."

Anna mengangkat tubuh, mencoba duduk. Alif dengan sigap membantu. "Itu orang yang kusewa untuk membantuku beres-beres. Aku tidak tahu kalau dia menelponmu. Maaf jika mengganggu."

"Mengganggu apanya? Justru aku khawatir kalau kau merepotkan orang lain."

Anna sedikit bersyukur karena Alif tidak bertanya macam-macam mengenai 'seseorang yang ia sewa', kenapa bisa menelpon lelaki itu.

"Apa kau sudah makan?" tanya Alif.

"Hm ... sudah."

"Sudah minum obatmu?"

Anna menatapnya ragu. "Sudah"

"Jangan mencoba untuk membohongiku."

"Aku tidak apa-apa. Kenapa harus minum obat?"

"Kalau begitu jawablah pertanyaanku sebelumnya. Apa kau sudah makan?"

"Kurasa aku sudah menjawabnya tadi."

"Jangan keras kepala. Kau tidak hanya membuat orang lain khawatir, tapi juga akan membuatnya kesusahan dengan sikap keras kepalamu itu. Aku banyak agenda hari ini, menurutmu gampang jika membatalkannya begitu saja?"

Anna yang tadinya lemas seketika sedikit tersulut emosi. "Aku sudah bilang kalau aku tidak apa-apa. Jika kau sibuk, kenapa kau datang?"

"Seseorang menelponku, mengatakan jika ada seorang wanita yang sakit, tidak mau minum obat dan belum menyentuh makanannya sama sekali. Menurutmu apa yang kupikirkan saat itu selain kau disini hanya sendirian dan butuh bantuan?!" tanpa sadar Alif membentak. Teringat rasa khawatirnya saat ia menerima telepon dari seseorang yang mengatakan jika Anna sakit sampai ia mengabaikan janji makan malam dengan Givana.

Anna mendengus. Ia paling tidak suka diomeli oleh Alif dalam kondisi apapun.

"Kalau begitu kau tidak perlu datang. Hanya cukup suruh orang yang menelponmu untuk memberiku makan."

"Kau kira jika begitu akan membuatmu makan saat itu juga?!"

"Berhentilah membentak. Aku pusing!"

Alif seketika terdiam. Sadar jika ia terlalu berlebihan. Menghela napas, ditatapnya Anna yang kini mengalihkan pandang. Ia tentu tak lupa jika Anna adalah wanita keras kepala yang ketika sedang sakit tidak mau menyentuh obat tapi memilih tidur sampai sakitnya hilang. Kebiasaan lama yang sudah ia hapal.

Alif menghela napas perlahan, mencoba lembut. Bukankah orang sakit akan senang jika diberi perhatian?

"Aku membawa martabak untukmu. Aku letakkan di meja depan. Ayo keluar." Karena Alif tahu jika ia membeli bubur akan berakhir tidak dimakan oleh wanita itu.

Anna membalikkan pandangan perlahan, menatap Alif lagi.

Alif mengulurkan tangan. Sesuai informasi yang ia dengar tadi dari orang yang membantu Anna membereskan apartemen, sekaligus orang yang sama yang menelponnya mengebarkan kalau wanita itu sakit, Anna tadi sempat keluar kamar hanya untuk minum. Setelah itu, memilih tidur.

"Ayo," ajak Alif lagi dengan tangan yang masih terulur.

Batin Anna melemah melihat raut wajah Alif. Tatapannya melembut pada lelaki itu. Padahal sebelumnya mereka sempat adu mulut. Alif ternyata masih sepeduli itu padanya.

"Aku benci mengatakan ini karena akan terdengar menjijikan ditelinga seorang pria yang sudah memiliki tunangan. Tapi aku harus. Aku ingin mengatakan kalau aku rindu dengan semua ini. Perhatianmu, tatapan matamu saat mengkhawatirkanku. Aku rindu itu semua, Al."

Alif tiba-tiba jadi susah menggerakkan badan saat Anna perlahan mendekat padanya.

"Aku ingin mengatakan yang sebenarnya padamu." Tangan Anna naik, membelai pipi Alif ringan. "Aku tidak sepenuhnya sakit. Aku hanya ... merindukanmu."

Anna memajukan wajah, menjangkau tengkuk Alif untuk mendekat padanya. "Aku merindukan ini." Ia berikan kecupan kecil di sudut bibir Alif kemudian menatap matanya, melihat bagaimana reaksi lelaki itu.

Alif seakan tersadar dengan sentuhan ringan itu. Ia menyentak pelan jari-jari lembut yang bertengger pada lehernya.

"Kenapa?"

Ternyata wajah mereka masih terlalu dekat sehingga Alif masih mendengar bisik merdu suara Anna. Ia tahan napasnya sejenak.

"Alif, aku sudah kembali. Kau tak merindukanku?"

"Anna ...," tenggorokan Alif terasa tercekat. Ada yang salah di sini. Seharusnya tidak seperti ini. Alif butuh segera pergi.

"Kau tentu tahu alasan kepergianku selama tiga tahun bukan hanya karena paksan orang tua, tapi aku juga menghindari diriku untuk kembali terluka."

Alif menyesali keputusannya saat menoleh tepat pada manik mata Anna. Wanita itu menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Siap menumpahkan bulir kristalnya kapan saja.

"Anna, aku pikir kita sudah-"

Ucapan Alif terpotong oleh gerakan Anna yang bergeser untuk lebih mendekat padanya. Alif lagi-lagi tercekat ketika wanita itu menyentuh ringan bahu kanannya.

"Kita sudah berakhir?" tanya wanita itu, lirih, berbisik.

"Tak ada kata berakhir. Maksudku, kita tetap bersahabat. Bahkan setelah kejadian itu."

Anna tersenyum miring. "Kejadian apa?"

Entah penglihatannya yang salah atau apa, tapi Alif sejenak dapat melihat Anna yang mengerling padanya.

"Kau tentu tau," jawab Alif.

"Saat di taman? Saat kau meninggalkan Givana sendiri di pesta ulang tahun teman kuliah kalian?"

Alif tercekat untuk kesekian kali. Ia menyadari satu hal. Ini memang salah. Ia telah berbohong pada Givana. Tunangannya.

Alif mencoba menggeser tubuhnya agar sedikit lebih jauh dari Anna. "Aku pikir kita tidak akan membahasnya lagi."

"Kenapa? Apa kau menyesal?"

Berdehem, Alif menggeleng. "Aku rasa tak perlu menyesali hal yang sudah menjadi masa lalu. Aku lebih memilih untuk melupakannya."

Anna seketika terdiam. Wajahnya terlihat murung untuk beberapa detik.

Alif yang melihatnya jadi merasa tak enak. Ia raih bahu Anna dan mengelusnya. "Kita masih tetap berteman 'kan?"

Tanpa diduga, Anna malah menyentaknya. "Aku mau lebih dari teman, Al."

Alif menatapnya tak mengerti.

"Aku tau ini menjijikan. Kita hanya teman dan kau sudah bertunangan. Tapi apa salah jika aku menginginkanmu?"

"Anna-"

"Aku sungguh tak menyukai Givana. Bahkan kami tidak pernah bertemu tapi aku sudah sangat membencinya."

"Anna, aku mohon jangan keterlaluan. Bagaimanapun Givana adalah tunangan dari sahabatmu."

"Sahabat?" Anna tertawa. Ia dekatkan lagi wajahnya dengan Alif. Tak peduli pria itu yang terlihat tak nyaman. Anna berbisik. "Mana ada sahabat yang berciuman?"

Tubuh Alif menegang. "Sudah kubilang jangan membahasnya lagi."

"Kenapa? Apa kau keberatan?"

Alif hanya diam.

Anna meletakkan lagi jari lentik miliknya pada leher Alif. Mengussapnya pelan.

"Ayo kita buktikan jika kita hanya sekadar sahabat."

Alif kehilangan kata-kata sehingga ia hanya diam ketika Anna mempererat tangan ditengkuknya. Menariknya lebih dekat untuk di beri kecupan yang sama. Namun kali ini lebih lama. Lebih lembut. Dan lebih dalam.

Rasa yang sama seperti dulu. Bibir lembut Anna menginvasi miliknya dengan gerakan yang berirama. Membuat Alif lagi-lagi melakukan kesalahan yang sama.

Teruntuk rasa sesalnya nanti, Alif meminta maaf sebanyak-banyaknya. Karena telah membatalkan janji, tidak jujur pada Givana siapa yang ia temui, dan pula esok hari untuk Givana yang sebenarnya masih ia janjikan pergi bersama.

Dan teruntuk wanita didepannya ini ...

... baiklah Alif akan menuruti.

***