Ini di luar ekpentasi ku. Aku pikir Jeremy hanya akan gatal gatal saja tanpa harus masuk Rumah Sakit.
Aku segera ke rumah sakit! Nafas ku sampai tersengal sengal karena rasa cemas menguasai ku juga jarak tempuh dari parkiran membuat ku lari sekencang mungkin.
Kulihat Bik Sanah ada di depan ruangan.
" Bagaimana dengan Jeremy Bik?
" Masih di observasi Nyonya" Jawab Sanah masih terlihat getir disana. Aku mengatur nafas sesegera mungkin. Lutut ku sampai meleleh.
Dan kulihat ada sosok lain yang juga tampak kelelahan berlari dia Devan dengan adik nya Dave.
Aku langsung memutus kontak saat Devan melihat ku.
" Ini bagaimana bisa sih Bik! Kenapa Jeremy bisa masuk kesini " Serang Dave dengan wajah buas.
Bik Sanah tampak ketakutan ia melirik ku dengan takut takut.
" Maaf siapa keluarga pasien? Seorang dokter menyela kondisi kami.
" Saya orangtua nya" Kata Devan lalu mengikuti dokter itu.
" Katakan bik apa yang terjadi?" Dave masih menyulut amarah.
Bik Sanah hanya menunduk takut.
" Aku yang salah! " Ungkap ku membuat Dave menatap ku kaget tak percaya.
" Aku memang sengaja memasukan udang di bekal nya" Jawab ku siap menerima kemarahan Dave. Aku tak mau Dave salah sangka dengan Bik Sanah.
" Apa Len.. Elo pelaku nya? Ya ampuuun Alenaaa otak loe dimana siiiih hah.. Loe bilang sengaja?? Loe gila!!
Dave meneriaki ku dengan nyaring. Bahkan aku yakin tangan nya ingin menggampar ku.
" Loe tau ga fisik Jeremy seperti apa!! Dia sangat anti dengan seafood! Kondisi nya tak sehat seperti anak lain. " Omel pria ini cukup membuat orang disekitar menatap kearah kami.
Aku hanya diam saja, menyahut hanya akan membuat Dave membenci ku setengah mati.
" Loe apa bedanya sama nyokap tiru loe hah"
Perkataan nya seolah menampar wajah ku. Entah kenapa aku takut melihat Dave yang sekarang. Dimana keangkuhan ku sebelum nya.
Devan lalu keluar dari sana.
" Bagaimana? Apa Jeremy baik baik saja?" Cecar Dave panik.
" Dia masih belum sadar! Demam nya cukup tinggi" Jawab Devan dengan suara rendah, tersirat rasa kekhawatiran nya disana.
" Puas loe sekarang Len! Awas kalau Jeremy tambah parah gue yang akan membawa loe kepolisi" Ancam Dave membuat ku getir juga. Aku tak berharap kalau ini akan seperti ini. Dave lalu masuk kedalam ruangan yang merawat Jeremy.
Meninggal kan aku dan Devan saja.
Aku merasa aura mencekam di sekitar ku! Kali ini aku keterlaluan. Aku sadar dan aku salah. Aku siap menerima konsekuensi nya.
" Kamu tidak ingin melihat nya?" Pertanyaan itu keluar dari mulut Devan. Aku kaget tak percaya. Kenapa ia tak memarahi ku seperti Dave. Bahkan aku yakin Devan siap membunuh ku karena aku menyelakai puteranya.
" Aku akan kembali nanti" Kata ku tak cukup nyali untuk masuk. Aku pergi dari sana, tubuh ku seperti angin saja berjalan dan entah kenapa air mata ku keluar. Aku meruntuki kebodohan ku. Hanya untuk keegoisanku aku menyelakai anak kecil. Bahkan yang kuingat sorot rasa kesepian nya yang dalam saat melihat ku pertama kali.
Aku masuk kedalam kamar Jeremy, kegelisahan ku rasanya hampir membuat ku setengah gila karena rasa bersalah.
Kulihat kamar ini didesain dengan tokoh karakter komik sebuah bus berwarna biru.
Kamar tidur nya cukup besar dengan berbagai macam robot dan mobil mobilan disana, aku yakin Devan memanjakan nya dengan macam macam mainan.
Sebenarnya Aku tak tau apa yang ingin aku cari disini. Hanya saja aku ingin menenangkan diri dan ini caraku.
Kamar dinding anak ini bersih. Biasanya usia seperti Jeremy masih aktif dalam hal coret mencoret.
Ada meja belajar kecil lengkap dengan buku buku gambar dan hal lainnya.
Aku rasa Jeremy memang anak yang pintar. Ia mampu mewarna dengan sangat bagus. Bisa ku lihat kumpulan buku gambar nya di sana.
Dan kali ini aku duduk di atas kasur nya yang tidak terlalu besar. Cukup menampung tubuh kecil nya.
Sesat aku kembali merenung, Aku kehilangan Mama saat berumur 8 tahun. Diumur seperti Jeremy saat ini aku ingat masih tidur dengan kedua orangtua ku. Tentu ini cukup mengesankan anak sekecil Jeremy tidur sendirian. Bahkan aku yang sudah umur 8 tahun selepas Mama meninggal. Masih tidur dengan Papa.
Bisa terbayang betapa kesepian nya Jeremy. Ia masih sangat haus kasih sayang orang dewasa terutama orang tua nya dan kemungkinan besar Devan juga tak pernah menemani nya tidur berdua apalagi Jessy. Mengingat bagaimana karakternya nya.
Aku bersalah dan menyesal. Tapi sisi keegoisan ku masih tersisa sedikit. Aku terlanjur melakukan nya jadi kenapa tidak sekalian saja. Aku janji setelah semua nya kudapatkan aku akan meminta maaf pada anak ini, memperlakukan nya dengan baik segenap jiwa.
Terdengar suara mobil masuk. Segera aku bergegas keluar dari sana. Aku masuk ke kamar. Ini mungkin yang datang adalah Devan. seharus nya ia menemani putera nya di sana bukan nya pulang. Ah atau dia mau menyidang ku. Baiklah ini yang aky tunggu.
Sekarang aku duduk di sudut kasur, aku sudah menyelipkan kamera di salah satu titik dekat AC dikamar ini. Aku yakin bisa memprovokasi nya dan memancing amarahnya dengan apa yang aku lakukan. Devan bisa hilang kendali dan melakukan kekerasan. Aku bisa membuat bukti untuk di persidangan perceraian nanti.
Tebakan ku benar yang datang adalah Devan.
Ia mendorong pintu dan masuk kedalam.
Aku pindah kesudut ruangan sambil menyisir rambut ku.
" Bagaimana keadaan anak itu? Tanya ku dengan nada acuh.
Devan melepas dasi dan jam tangan nya ia hanya diam saja.
" Aku tak tau kalau udang membuat nya seperti sekarang ini! Apa kamu marah?
Aku berhenti menyisir rambut ku. Berjalan dengan tenang kearah nya.
" Dev..
Aku memanggil nya dengan menyentuh nya. Biasanya orang marah akan benci di sentuh. Dan benar saja ia menepis nya.
" Kamu marah! " Ulang ku.
Kurasakan punggung nya bergetar dan ia berbalik kearahku.
" Apa kamu sengaja menyelakai Jeremy?" Tanya nya dengan rahang mengeras dan mata menukik tajam.
Aku menggeleng dengan kaget " Aku sungguh tak sengaja! Mungkin ada udang kebuat saat aku memasukan bumbu" Kata ku dengan sedikit gemetar. Bagaimana pun juga jiwa nya seperti ini membuat nyali ku menciut.
" Benarkah. Bahkan sebelumnya kamu meminta ku agar dia tidak bicara dengan mu! Jadi apa maksud mu menyiapkan nya bekal..
Aku mundur dengan rasa takut mulai kurasakan lebih dalam. Kamera aku letakan membelakangi ku, aku yakin kamera tidak akan menangkap 1 arah depan ku.
" Aku hanya memperingatinya" Ucap ku dengan suara kecil kamera tidak akan menangkap suara ku. Lalu aku tersenyum mengejek. Dan reaksi yang kuharapkan terwujud. Tangan Devan mengulur keleher ku. Bahkan kaki ku terhalang sudut ranjang. Tubuh ku terdorong ke belakang dengan lambat seperti pasokan udara yang menghilang diudara. Kurasakan bagaimana tenaga nya seperti tertumpu di tangan ini
Dan bagaimana oksigen yang aku ambil menipis rasa sakit mengalir sangat cepat, seolah nyawa ku tergantung di tangan itu.
Aku terus menatap nya tajam membuat pria ini semakin bringas ingin membuat ku mati saat itu juga.
Aku rasakan tubuh ku sangat lemas seperti kantung pasir yang lenyap di telan waktu. Hingga tangan nya mengendor. Jari jari kuat itu seolah kehilangan pijakan. Berangsur bisa ku rasakan darah mengalir naik kewajah ku dan udara ikut masuk kedalam hidung ini.
Devan kemudian melepas tangan nya aku membungkuk terbatuk berulang kali. Dia melakukan nya. Aku berhasil...
Pekik ku terus berusaha mencoba bernafas banyak banyak meski leher ini terasa patah tapi ada kebahagian tersendiri. Semua sudah berakhir.
Keesokan nya aku pergi kerumah sakit.
Aku datang untuk perdamaian.
Tapi tak menyangka ada Devan disana. Tapi aku tak bisa mundur lagi.
Pertama ku ketuk pintu disana.
Dua bapak-anak ini menoleh dengan cara yang sama bahkan sudut matanya juga sama.
Aku tersenyum kaku" Boleh aku masuk" Ucap ku sambil masuk sendiri.
Mata tajam ini mengawasi ku dengan sangat dalam. Berbeda dengan Jeremy yang tampak tersenyum. Tentu ia tidak tau aku yang membuat nya terbaring dibangsal itu.
" Tante.. Tante kesini jenguk Jeremy?" Ucap nya polos
Aku tersenyum kecil. Senyum ku bukan pura-pura. Ku mendalami manik mata bocah ini. Pipinya sangat menggemaskan dengan rona merah di dua sisi pipinya.
" Tante kesini mau minta maaf sama kamu!
Tante yang naruh udang di bekal Jeremy" Ucap ku, tentu berat mengaku kesalahan pada anak kecil. Orang dewasa tentu punya sisi keengganan mengaku kesalahan pada yang muda. Tapi aku memang datang untuk perdamaian toh aku sudah mendapat rekaman video nya.
Jeremy memandang ku teduh. Aku rasa ia mengerti kalau aku membuat nya celaka.
" Tidak apa apa kok Tan. Jeremy memang sering sakit! " Jawab anak ini polos semakin membuat ku menyesal.
Dan tentu anak kecil memang mudah melupakan kesalahan orang lain, entah dengan 1 makhluk disana.
" Terimakasih pangeran kecil! Oh Ini tante belikan kamu mainan"
Ku taruh paper bag di nakas bangsal disana. Wajah Jeremy segera berubah menjadi keceriaan lagi.
" Ini sungguh untuk Jeremy? Tante?" Pekik nya kegirangan bahkan ia juga menoleh pada Devan.
Dengan sangat antusias Jeremy mengambil Bis Kecil berwarna biru yang cukup besar itu. Mata nya berbinar bahagia ia tampak sangat menyukai benda yang aku bawakan. Tentu saja itu kartun kesukaan nya.
"Jeremy masih saja melihat detail bis itu. " Jeremy suka sekali tante... Terimakasih " Ucapnya sangat polos dan mengharukan buat ku Bahkan orang yang aku lukai masih bisa mengucapkan terimakasih. Oh betapa hina nya kamu Alena.
Aku menatap nya suka cita. Kata maaf terus aku lontar kan dari hati ku.
" Jaga Bis itu dengan baik ya Jeremy" Kata ku lalu mengusap punggung tangan nya.
Anak ini mengangguk antusias dan mulai menjalankan bis itu di udara lengkap dengan nyanyian nya.
Aku melihat Devan yang tak bersuara sekali pun. Bahkan setelah mencekik ku tadi malam ia pergi dan tak kembali lagi.
" Tante masih ada urusan! Tante pamit dulu! Selamat tinggal" Kata ku pelan. Lalu mengabaikan bagaimana anak ini masih terlena dengan mainan barunya.
Aku berhenti didekat Devan.
" Selamat tinggal" Kata ku mengulangi ucapan ku sebelum nya.
Sesuai dugaan ku ia tak bergeming. Aku kembali melangkah maju.
Ucapan selamat tinggal ku penuh makna.
Tentu saja itu adalah akhir kisah kami.
Setelah dari sana aku menuju ke pengadilan agama untuk mengurus surat perceraian ku lengkap dengan video yang sudah aku dapatkan. Kali ini ia pasti tidak akan mengelak.
*
*
*
Aku harus mulai menata pelan semua yang sudah aku pilih.
Aku kembali ke rumah Papa. Aku menceritakan semua nya.
Walau ini tak pantas karena kondisi Papa tapi aku ingin Papaku tau keadaan ku. Beruntung nya Papa mendukung apa yang aku pilih.
" Jadi... Kalian akan bercerai juga!!" Sindir Natasya saat aku keluar dari kamar Papa. Aku rasa ia menguping pembicaraan kami
" Bukan urusan mu" Kata ku memilih malas meladeni Natasya kali ini.
" Ck! Padahal dia terlihat sudah terjamin! Aku rasa otak mu ada di dengkul.. Ternyata kamu pintar juga ya setelah dia tak ada nilai nya langsung cari pengganti."
Aku hanya berlalu tanpa mau meladeninya, sementara mengabaikan permasalahan ku pada Natasya, lagipula aku juga sudah dapat kiriman dari Rudy terkait kecurangan yang Natasya lakukan. Kali ini aku fokus pada prosedur perceraian dulu dan aku sudah menghubungi Randy! Ia bilang akan membantu ku dan menjanjikan kemenangan di tangan ku.
Dan untuk Natasya aku berusaha mengumpulkan bukti lain, target pertama ku adalah Aldo!
Ponsel ku berdering. Ada nama Devan disana. Aku segera mengangkat nya dengan tenang tapi berbeda dengan yang menelepon.
" Apa yang kamu lakukan? ALENA APA YANG KAMU AJUKAN " ia berteriak gila disana. Sampai sampai telinga ku mendenging.
" Seperti yang kamu terima! Kali ini aku sudah mengantongi bukti! Pengadilan akan berpihak padaku! Ikuti saja prosedur nya" Balas ku serasa mendadak tuli.
Aku menarik nafas lagi. "Masih untung aku tidak melapor kepolisi" Kata ku dengan suara lebih tenang dan jelas.
" Kita perlu bicara!"
" Untuk apa? Menyekik ku lagi? Menarik rambut ku sampai keakar? Memukul wajah ku?" Aku menyudutkan nya dengan hal apa yang ia pernah perbuat, aku berhasil membuat nya terdiam beberapa saat.
" Kita ketemu dipengadilan. Okey!!
" Alena.. Ka-
Aku langsung mematikan telepon secara sepihak rasanya aku puas membuat nya kembali panik.
Mata ku terpejam. Rasa amarah dan kesedihan sudah hancur lebur. Ini adalah titik balik dari semua yang aku alami. Membandingkan apa yang sudah ia lakukan. Ia beberapa kali membantu ku tapi banyak juga goresan yang ia perbuat! Aku kira semua sudah sebanding. Dan aku lebih memilih hidup tanpa dia, bebas dan punya kehidupan normal seperti lain nya.
*
Sayup sayup aku mendengar suara orang bertengkar.
Dengan pelan aku menuruni tangga,dan menuju dinding yang letaknya dekat dengan tempat tidur Papa, aku mendengar jelas apa yang mereka debatkan
Rasanya emosi ku terbakar disana rasanya dinding ini mau aku robohkan lalu ku tarik keluar Natasya disana, tapi Aku harus menahan nya, aku belajar dari emosi sesaat yang tak menguntungkan. Kali ini aku harus bisa belajar dengan nama nya siasat dan strategi.
"Tunggu saja tanggal main nya Natasya..."
*
" Kamu mau bekerja di kantor Papa, nak?" Tanya Papa saat aku menyiapkan obat yang harus ia minum.
" Kamu bisa bekerja disana. Nanti dibantu sama Aldo dan juga Om Hardi! " Kata Papa lagi.
Aku tersenyum sendiri, padahal aku ingin mengajukan diri tapi Papa lebih dulu menawarkan nya padaku.
Aku menatap Papa sebentar " Aku mau. Asal ada saham untuk ku disana" Pinta ku tentu membuat Papa kaget.
" Aku perlu saham untuk bisa masuk kesana Pa! Bukan bekerja otodidak "
Papa menarik nafas " Baiklah, papa akan beri saham papa untuk kamu"
Aku mengerutkan kening. Aku hanya minta persenan saham bukan saham milik Papa 100 %.
" Papa percaya sama kamu" Kata Papa mengerti apa yang aku rasakan setelah pembicaraan kami yang lain.
Aku mengangguk dan mengucapkan terimakasih.
Aku memang ingin masuk perusahaan papa. Beberapa hari ini aku mencari informasi tentang perusahaan papa yang jalan di tempat. Tanpa akses kekuasaan aku tidak bisa mencari detail apa yang terjadi disana.
" Kapan kamu mau bekerja?"
" Bukan besok! Nanti ada saat nya pa" Jawab ku lagi lagi mendapat kepercayaan dari Papa. Aku memeluk nya singkat.
Lalu pintu didorong, muncul nenek sihir dalam wujud manusia. Siapa lagi kalau bukan Mama Natasya.
Ia nampak curiga dengan obrolan kami mata nya bergantian ke aku dan Papa.
" Kalian seru sekali apa yang di bicarakan?? Tutur nya penuh muslihat.
" Bukan apa apa! Alena hanya minta pendapat tentang Devan" Jawab Papa sepemikiran dengan ku. Ada hal yang harus kami tutupi dari wanita rubah ini.
Mata Mama Natasya menyipit
" Benarkah tadi aku sempat curi dengar katanya saham, apa itu??
" Wow! Bukan nya tadi anda bilang mau masak. Kenapa bisa dengar! Apa kamu nguping? "
Natasya menegakkan punggung nya dan melihat ku kesal. " Jangan bilang seperti itu Alena! Aku sudah selesai hanya saja waktu mau masuk aku dengar kata saham.
" Ooh. Begitu! Kami memang membicarakan saham, tapi ini tidak ada hubungan nya dengan kamu" Jawab ku seperti menyalakan api dalam kolam minyak. Amarah nya kembali terlihat.
" Papi! Lihat puteri mu dia semakin hari semakin tidak sopan! " Natasya merengek disana.
" Alena, tahan emosi! " Kata Papa tapi aku kendengarnya bukan teguran atas ketidak sopanan ku tapi ia mencoba meminta ku jangan meladeni wanita itu.
Kulihat Mama Natasya tersenyum gembira disana, ia pikir sudah Berhasil membuat ku ditegur Papa.
" Tentu Pa! Baiklah.. Ini sudah malam. Alena ke atas dulu" Ucap ku lalu mencium tangan papa.
Aku beranjak dari sana, berhenti di sebelah Natasya yang mehunuskan mata nya seperti pedang.
" Kamu tau! Keriput mu sangat banyak! Sebaiknya sering sering treatment.." Bisik ku saat berpapasan dengan Natasya.
Ia tampak berang, sebelum api meledak aku buru buru kabur dari sana.
Ponsel ku bergetar. Ada telepon dari Randy. Dengan cepat aku masuk kamar dan menguncinya
" Iya Rand..
" Suami kamu peretas ya? " Tanya Randy begitu saja.
" Kenapa? Apa kamu tau dia?"
" Yaa sedikit banyak! Dia masuk ke komputer ku! Seperti nya dia kesal aku sebagai lawyer kamu"
" Benarkah!" Hmm apa itu mengganggu system di komputer mu" Rasa cemas sempat menguasai ku. Kalau memang aslinya Devan adalah peretas. Aku takut Randy akan mengalami kerugian.
" Tidak masalah. Itu artinya nya dugaan ku benar! Aku senang bermitra dengan mu Len.. Aku akan meladeni suami dengan senang hati" Jawab Randy lalu ia terkekeh disana. Aku hanya ngeh. Apa itu merupakan suatu kesenangan bagi Randy. Ya aku tau dia tipe yang suka tantangan. Mungkin ia juga punya bakat seperti Devan sehingga mehadapi Devan adalah tantangan nya tersendiri. Dan itu artinya aku beruntung ketemu dengan Randy! Ia pengacara ku yang tepat.
" Kamu juga bisa menghilangkan peretas di ponsel ku kan! "
" Tentu! Itu sangat mudah"
Aku tersenyum mendengar nya. Dugaan ku tepat.
" Bantu aku! Aku yakin dia ada hidup di ponsel ini! "
" Jelas! Aku akan melakukan nya setelah ini.. Oh.. Apakah kamu kangen manjat! Aku rasa kita bisa nostalgia pekan ini! "
Kata nya kemudian. Tentu aku pasti rindu dengan olahraga itu.
" Baiklah.. " Jawab ku lalu memutuskan telepon.
Aku melempar tubuh ku ke kasur ini. Aku semakin yakin kebebasan ku akan semakin ada didepan mata. Dan Randy aku bisa mengandalkan nya untuk urusan ku yang lain. Sekali gayung 2 - 3 pulau terlampaui. Kuman kuman di hidup ku saat nya dibasmi.
*
*
*
" Benar ini Alena??"
Susan masih bertanya disana. Nomor nya masih sama dan setelah ponsel ini di bersihkan oleh jin jin peretas yang entah dari siapa. Dan aku bisa menghubungi Susan lagi.
" Ini aku! Apa suara ku berubah jadi Raisa! Kamu sampai tidak kenal?" Kulempar candaan ku seperti biasa. Dan Susan tertawa singkat. " Ini benar kamu Len. Aku sangat senang..
Kami mengobrol sebentar tentang apa yang terjadi. Aku cukup terbuka pada Susan.
" Apa kamu ingin ke Jakarta. Aku perlu otak mu di sini! Kata ku pada intinya dari tujuan ku menghubungi Susan.
Susan adalah rekan kerja ku yang punya otak pintar. Di tim kami dia cukup gesit dalam memenangan tender, bahkan aku yakin kemampuan nya melebihi BuTut hanya saja aku sering menemukan BuTut mengklam ia yang melakukan nya.
" Kamu langsung jadi Manager Marketing Sus, dan semua nya aku urus! Cukup kamu ada dipihak ku! Soal nya Perusahaan Papa lagi krisis banyak jin iprit yang perlu di bersihkan" Kata ku dengan mengebu. Aldo adalah alasan ku ingin membersihkan perusahaan Papa.
Dan aku senang bukan main. Susan bersedia.
Aku mengakhiri percakapan panjang kami. Jam 5 aku janji ke Universitas ku dulu. Randy bilang ia sekarang sambil aktif sebagai pelatih disana.
Aku jadi gugup sendiru buku buku jari ini sampai memutih. Rock climbing sudah lama ku tinggalkan. Semoga saja aku masih bisa bermain seperti dulu, dan sensasi memanjat seperti sudah didepan mata.
Kampus lama ku tidak terlalu jauh tapi padat nya Kota Jakarta tentu membuat perjalanan menjadi lebih lama. Aku tiba disana sampai pukul setengah 7.
Tempat itu tidak banyak yang berubah. Aku langsung menuju area Rock climbing yang berada di timur gedung ini.
Dan seperti jadwal ku dulu. Banyak anggota latihan disana. Suara pekikan mereka sampai terdapat dari depan gedung.
Di dalam gedung tinggi itu tampak menjulang tembok panjat dan tali tali bergantungan dengan beberapa anak manusia memanjat disana.
Mata ku langsung menangkap sosok Randy. Pria itu tampak sama dengan perawakan nya 3 tahun lalu. Ia mengenakan kaos oblong dan tampak aktif memanjat sambil mengarahkan anggota pemula disana.
Aku menunggu di kursi penonton.
Ponsel ku bergetar ada nama Devan lagi.
" Ya...
" Kamu dimana?" Sambar nya seperti biasa.
Aku tersenyum. Ia pasti sudah tidak dapat melacak keberadaan ku lagi.
" Kenapa? Apa ponsel ku tak bisa di baca lagi!"
Devan tak menjawab. Mungkin ia kaget aku mengetahui. tindakan nya atau ia hanya aneh aku mengatakan hal yang tidak masuk akal.
" Berhenti bermain main Alena! Aku di depan rumah mu! Kata Bik Lilies kamu pergi!"
" Ya aku memang pergi! Sudah ku bilang jangan mencari ku! Bukan nya jadwal persidangan kita sudah kamu terima! Kita ketemu disana"
Bip
Aku langsung mematikan telepon. Dan kulihat di udara Randy melambaikan tangan. Ia sudah melihat ku disini. Aku balas melambaikan tangan nya.
Pria itu seperti laba laba yang turun melalui tali perlahan tapi cukup gesit dan lincah.
" Lama menunggu ku?" Tanya nya dengan keringat cukup banyak. Kulit Randy sawo matang tapi ia terlihat seksi dengan keringat disana, secara perawakan Randy ini kurus tapi berisi padat dengan otot seukuran tubuh nya. Tapi ia punya aura hamble namun tepat.
" Jalan macet! Kurasa kamu yang lama menunggu"
Randy tertawa singkat" Ayo kita mulai" Kata nya mengedipkan mata. Dan di depan dinding raksana ini aku menerima perlengkapan yang membuat ku bahagia saja, melakukan hal yang lama di tinggalkan, ini kesenangan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata ada rasa mengebu ngebu seperti anak kecil yang baru mendapatkan hadiah mainan.
" Sebentar..
Aku mengangkat kepala dan Randy menghadap kearahku.
Ia memegang tali pengamatan helm ku.
" Apa kamu lupa klik 2 kali! Amankan kepala mu!"
Aku tersenyum malu. Aku sudah melupakan beberapa peraturan bermain.
Lalu aku dan Randy kembali merayap di dinding berbatu batu itu. Kegugupan ku berubah jadi sensasi yang menyenangkan. Aku seperti pemula tapi kaki dan otak ini rupanya masih tidak melupakan bagaimana cara berpijak yang baik. Di sebelah Randy juga sambil mengarahkan.
Pijakan batu seperti dorongan untuk terus mencapai puncak. Lagi dan lagi. Rasa lelah sama sekali tidak terasa. Aku terlalu bersemangat sampai melupakan daya tahan kaki.
Hingga di tengah perjalanan kaki ku tergelincir. Tangan ku terlepas.
Aku menggantung dan siap siap badan ini menabrak dinding. Tapi kemudian dengan cepat Randy memanjat menangkap tali ku alhasil ia juga bergelantungan dengan ku. Mirip dua ikan yang menempel diudara. Jantung ku sampai berdetak kencang gugup grogi dan aneh saja. Randy bergelantungan di belakang ku. Meski cara nya menyelamatkan tapi tangan nya memeluk pinggang ini cukup membuat ku mati gaya.
Kami turun perlahan.
" Sorry.. " Kata ku segera mengurai dan melepas helm. Nafas ku ngos ngosan disana. Bahkan aku menyembunyikan wajah ku yang memerah.
" Tidak masalah! Untung nya kamu tidak apa apa! Kita break dulu" Randy mengajak ku istirahat, ia tersenyum singkat dan mengusap kepala ku.
Aku mengangguk sambil melepaskan attribut rock climbing lainnya.