webnovel

Marriage Contract (Fanfic)

Keluarga Hyuuga memiliki pohon ginkgo di belakang rumah besar mereka. Pohon itu menyimpan cerita mistis hingga sekarang, dipercayai sebagai tempat tinggal Dewa. Pohon ginkgo di rumah keluarga Hyuuga sudah berusia 1500 tahun. Diyakini satu-satunya pohon tertua di dunia. Ginkgo dipagari oleh pagar kayu jati. Rerumputan di sekitar ginkgo ditutupi oleh warna keemasan daunnya yang setiap hari berguguran. Saat berumur sepuluh tahun, Hinata Hyuuga, putri dari Hiashi Hyuuga menjumpai seorang anak laki-laki duduk di atas ranting raksasa pohon itu. Anak laki-laki itu mengenakan hakama berwarna putih, keesokan harinya kadang dia mengenakan hakama berwarna oranye ataupun kuning. Ketika anak itu masih duduk di ranting besar itu, Hinata mencoba meneliti wajahnya yang terselimuti oleh dedaunan ginkgo yang lebat, tetapi pada akhirnya Hinata tidak mendapatkan apa-apa dari itu. Suatu hari tiba-tiba dia mendengar suara anak laki-laki itu berbicara untuk pertama kalinya. Suaranya sangat lembut seperti anak perempuan. "Kalau kau ingin bisa berjalan, kau harus menjadi pengantinku."

BukiNyan · Anime & Comics
Not enough ratings
43 Chs

13

Langit malam itu berubah menjadi merah seluruhnya. Awan seolah mengitari secara bergantian. Warna keabu-abuannya seperti asap yang mengelilingi kobaran api yang panas. Ketika tiba saatnya langit menjadi merah seperti sekarang, Okutama selalu mengadakan persembahan bagi Dewa yang mendiami pohon ginkgo. Beruntung kalau sekarang mereka berdua berada di Tokyo, bukan di Okutama yang amat dibenci oleh Hinata.

Hinata kemudian keluar dari kamar setelah dia menutup rapat-rapat jendela kamarnya, dan mendapati Neji ternyata membuka pintu balkon lebar-lebar, memandangi langit dengan wajahnya yang sulit dapat dinilai, apa yang sedang dipikirkan oleh pemuda berambut panjang itu. "Apa yang kaulihat dari langit berwarna merah? Kau tidak berpikir itu mengerikan?"

Ketika Neji menyadari kehadiran Hinata, ia tidak keburu menutup teras, atau memiliki keinginan pada hal tersebut. Pemuda itu tetap memandangi langit, sebaliknya berpikir seandainya Hinata tahu, pada hari di mana Hizashi pergi ke dunia lain untuk menjemput keponakannya, langit menjelma seperti malam ini dengan rembulan yang indah di pucuk langit. Namun Neji tidak ingin mengungkapkan itu atau saudarinya bakal memulai pertengkaran dengan memaksa diri mereka untuk saling membenci.

"Kupikir langit menjadi indah malam ini," Neji tersenyum seperti biasa, lalu duduk di sofa minimalis ruang tamu mereka yang mungil, bersama Hinata yang segera mengambil sebungkus kue beras. "Tiba-tiba aku jadi rindu Okutama."

"Berhenti untuk membahas daerah mistis itu."

"Kau selalu menunjukkan permusuhan pada daerah tersebut, padahal itu tempat kelahiran kita, dan tentu saja kita juga besar di sana."

"Entah," jawab Hinata, tidak begitu pasti untuk mengatakan. "Aku bingung bagaimana menjelaskannya padamu, dan kupikir seandainya kau berada di posisiku, kau bakal mengerti apa yang membuatku tidak nyaman mendengar nama Okutama."

Neji mengangguk, memandangi kue beras tanpa berminat untuk mengambilnya. "Pasti sulit, harus dihadapkan pada status pengantin."

"Apa kau pikir aku tidak bisa hidup normal? Misal, menikah dengan pria di Tokyo?" Neji tidak mampu menjawab, ia mencermati saudarinya dengan ketidakmampuannya untuk berbicara atau setidaknya memberikan gadis itu kata-kata semangat menghadapi takdirnya—takdir yang dipikul oleh saudarinya jelas suatu tanda tanya besar yang hanya dapat dipahami oleh golongan tertentu. Betapa sulitnya menjadi Hinata, Neji merasa sedih secara tiba-tiba. "Omong-omong, apakah kau pernah mendengar sebelumnya bahwa ada manusia yang menikah dengan dewa sepertiku?"

Neji mencoba mencari sesuatu dalam ingatannya, tapi tidak menemukan apa-apa kecuali sebuah fakta—hanya sekadar kata-kata, "Kurasa memang sepertinya ada," Hinata mulai tertarik. "Kukira, aku harus pergi ke Okutama, agar semuanya pasti."

"Mengapa kau perlu ke sana lagi? Kurasa kau sudah tidak tertarik lagi selama kau tinggal di sini."

"Aku bukan tidak tertarik, menurutku apa pun yang terjadi, Okutama tetap rumahku," kata Neji, sebaliknya Hinata hanya menikmati kue beras itu dengan menggerus keras-keras di dalam mulutnya. "Mungkin, aku bisa menemukan sesuatu tentang Pengantin Dewa sebelum dirimu."

"Benar," Hinata berhenti mengunyah. "Kau mungkin bisa menemukan tentang itu. Nah, aku benar-benar menunggu catatan spiritual itu, dan dapat membacanya, aku pikir bisa menghancurkan segel yang membelenggu diriku. Hidup normal satu-satunya tujuanku."

"Catatan spiritual biasanya hanya disimpan oleh keluarga Cabang, ayahku memiliki kunci menuju ke perpustakaan rahasia yang menyimpan catatan spiritual kuno, aku akan pergi ke Okutama Jumat malam, supaya aku tidak membolos sekolah, aku sudah kelas tiga, dan tidak harusnya meninggalkan kelas sesuka hati jika itu bukan urusan penting."

"Aku mendukungmu Neji," Hinata jauh lebih terlihat senang. "Aku benar-benar menunggu kabar tentang catatan itu."

Sepertinya Neji mulai mengingat ketika masa kecil dia pernah menyinggung tentang kehidupan Hinata juga rasa penasaran sebagai seorang anak kecil yang serba ingin tahu—mengapa gadis itu berada di bagian paling depan dan dipuja sebagai seorang Pengantin padahal usia gadis itu seumuran dengannya.

Sementara itu tentang catatan kuno tersebut, pada waktu itu Neji tidak benar-benar memahaminya, karena usia yang terlalu kecil, tapi mungkin dia dapat meyakinkan dirinya sendiri untuk datang kembali ke Okutama, demi menemukan bahwa kata Inkarnasi terselip di dalam sana.