webnovel

Prolog. Travel to another world

Pada saat seluruh hidupnya kacau karena seorang wanita serta pekerjaan yang tidak ada habisnya. Maron harus mengalami sebuah peristiwa yang membuatnya kehilangan banyak hal. Dia harus kehilangan pekerjaannya dan juga seluruh harta kekayaannya. Seluruh tabungannya hilang bagaikan dilahap oleh api. Dia sama sekali tidak bisa memikirkan apa yang terjadi beberapa waktu lalu.

Di kala matahari masih menampakkan kegagahannya serta sinar yang begitu hangat serta terang, Maron masih berada di dalam kamarnya dan membaca sebuah buku. Dia yang terbiasa menghabiskan waktunya untuk mencerna berbagai macam buku meninggalkan segala kesibukan yang dia miliki hanya untuk menaruh seluruh tenaga serta energinya untuk menghabiskan beberapa buku. Dia sama sekali tidak bisa melupakan setiap buku yang dia baca, tidak peduli cerita macam apa yang tersaji di dalam buku tersebut. Dia akan mendalami setiap buku tersebut.

Ketika terik matahari begitu menyengat dan membuat kulit terasa terbakar. Maron berada di dalam kamarnya dan dia sedang membaca sebuah buku yang menceritakan kisah sebuah kerajaan yang mampu mencerna dan menguasai wilayah lain ataupun planet lain. Maron terlalu fokus pada buku tersebut, sehingga dia tidak menyadari ada sekumpulan asap yang memenuhi ruangannya hingga mengurangi kadar oksigen yang ada di tempat tersebut. Maron yang sedang memperhatikan setiap detail di dalam buku itupun perlahan-lahan mulai sadar bila saja ada sesuatu yang janggal di kamarnya.

Maron mulai memperhatikan sekelilingnya dengan lebih cermat, sorot matanya menajam dengan kilatan tertentu saat dia melihat ada sebuah asap yang mengepul dan memenuhi kamarnya. Perlahan-lahan dadanya mulai terasa sesak saat dia menghirup udara yang ada di dalam kamarnya. Matanya pun ikut memerah saat dia merasakan dadanya sesak. Menghirup udara tak lagi menyenangkan untuknya saat ini. Asap yang ada di dalam ruangannya benar-benar menutupi seluruh pernafasan serta pandangannya.

"Uh ... Ugh ... Apa yang terjadi? Darimana datangnya asap-asap ini? Huft ... Kenapa bisa ada asap di dalam tempat ini? Aku ... "

Rasa sesak yang menghantam dadanya membuatnya tak berdaya. Pandangan mata yang awalnya begitu jelas mulai menjadi kabur dan dia sama sekali tidak bisa melihat semuanya dengan jelas. Segala pergerakan atau apapun yang berada di depannya menjadi kabur. Asap berwarna hitam pekat nan membuat mata perih itu semakin pekat dan bertambah. Maron yang berada di sana pun tidak bisa berbuat apa-apa.

Walau langkah kakinya tak berhenti di kala dia mendekati pintu kamarnya, dia yang tak mendapatkan suplai udara segar mulai melemah. Luas kamarnya sendiri tak sebegitu luasnya, tapi untuk menjangkau pintu kamar dari ranjang memang sedikit memakan waktu. Ditambah lagi dengan situasi yang saat ini tengah dia hadapi. Maron tidak mampu berbuat apa-apa dengan keadaan ini. Dia hanya bisa merasakan rasa sesak di dadanya sambil menatap langit-langit kamarnya di kala dia terjatuh dan terbaring di lantai.

"Huft ... Huft ... Huft .. si .. al!! Apa ini akhirku? Siapa .. sia ... Yang melakukan ini?" suara yang terbata-bata itu benar-benar menjadi akhir dari dirinya. Maron yang terjebak di dalam kamarnya sendiri harus menerima bila akhir hidupnya ada pada saat itu jua.

Kebakaran yang terjadi pada saat itu sangatlah besar lima rumah menjadi korban dari si jago api. Termasuk dengan rumah yang ditinggali oleh Maron. Entah bagaimana kebakaran itu bisa terjadi, padahal rumah-rumah itu memiliki jarak yang cukup jauh serta tidak berhimpitan.

Tanpa tahu apa yang terjadi dengan kehidupannya yang dulu, Maron hanya bisa menerima apa yang ada di depan matanya saat ini. Setelah ia menutup mata untuk kali terakhir, dia merasa seperti dipaksa untuk membuka matanya kembali. Sewaktu dia membuka matanya di saat dia merasa dipaksa untuk melakukannya. Maron melihat sebuah ruangan yang sangat asing. Dekorasi ranjang yang terlalu mewah untuknya dengan guci serta beberapa senjata yang hanya ada di era dingin. Dua bilah pedang serta sebuah tombak tertata rapi di dekat ranjangnya. Alat atau benda yang hanya bisa dijadikan sebuah pajangan ataupun senjata yang hanya dia ketahui melalui buku-buku kini terpampang jelas di depan matanya.

"Huh? Apa yang terjadi? Di mana ini?" pikiran Maron melayang jauh melampaui apa yang biasanya ia lakukan. Dia benar-benar kehilangan arah dan pandangan saat dia membuka matanya. Segala hal yang dia lihat saat ini terlalu ambigu. Ranjang yang mewah yang hanya bisa dia lihat melalui sebuah buku, persenjataan yang melepaskan aura cukup mengintimidasi, lantas berbagai macam perabotan maupun pernak-pernik yang hanya pantas berada di kamar seorang Pangeran maupun Raja.

Selimut yang saat ini melekat di tubuhnya pun terasa sangat halus. Ornamen yang melekat pada pakaian yang dia kenakan termasuk dengan bahan dari keduanya sendiri sangatl mewah untuknya. Walaupun lembut tapi hangat serasa terbuat dari sutra tapi sehangat kain wol. Maron memandangi semua yang ada di sekitarnya dengan rasa khawatir dan bingung yang tak dapat dia katakan. Dia sama sekali tidak mengerti dengan apa yang terjadi di sekitarnya.

"Aku harus tenang, aku tidak boleh larut dalam kebingungan. Tempat ini memang tidak aku ketahui tapi bukan berarti aku harus bingung dengan semua ini. Aku harus memperhatikan setiap hal yang ada di sini," pikirnya di saat rasa bingung dan bimbang menggerogoti batinnya.

Walaupun ada rasa tak nyaman yang bergerak di dalam benaknya. Dia benar-benar merasa bila apa yang ada di sekitarnya merupakan sebuah kamar yang hanya diperuntukkan oleh orang-orang kasta atas. Sorot matanya menangkap setiap hal yang ada di kamar tersebut, dan pandangannya terus terpaku serta tertuju pada senjata-senjata yang ada di samping ranjangnya. Memang dia tak melihat adanya baju tempur, tapi senjata-senjata itu sudah lebih dari cukup untuk menjadi sebuah bukti bila saja dia saat ini berada di tempat yang berbeda.

"Tempat semacam ini hanya bisa aku lihat dari ilustrasi yang tercetak di buku-buku yang menceritakan tentang sejarah ataupun kerajaan. Mungkinkah saat ini aku berada di dunia lain? Tentu saja, tidak. Hal itu sangat mustahil dan tak bisa dipercaya. Huft ... Aku harus menenangkan pikiranku," gumamnya. Walaupun ada secercah pikiran yang tak biasa melintas di benaknya. Maron tidak lantas mempercayai hal tersebut.

Dia lebih suka untuk melihat semuanya dengan jelas tanpa adanya sebuah praduga. Walau terkadang apa yang dilihatnya benar-benar menjadi suatu hal yang tidak menyenangkan bahkan sangat menyakitkan. Namun, bila hal itu ditampilkan di depan matanya dengan jelas dan tanpa ditutup-tutupi. Mau tidak mau, suka tidak suka, dia harus menerimanya. Maron pun hanya menanti apa yang akan terjadi setelah ini.

Beberapa menit berlalu dan ia juga tak bisa langsung keluar dari ranjangnya. Tubuhnya tak mampu menahan apa yang dia rasakan. Nyeri serta rasa tak nyaman yang menjalar di seluruh sendi dan sarafnya membuat dia meringis kesakitan sepanjang waktu. Walaupun rasa sakit itu tak berhenti-henti mengikis dirinya. Dia hanya bisa menerimanya tanpa mampu berbuat apa-apa. Semakin dia melihat sekitarnya, semakin dia merasa bila ini menarik tapi juga membingungkan.

Apa yang bisa dia lakukan dengan segala keterbatasan yang dia miliki saat ini? Tanpa kekuatan yang seharusnya ada di dalam tubuhnya, dia hanya bisa berbaring di atas ranjang yang nyaman, lembut, dan empuk itu dengan sorot mata yang tak menentu. Ada sebuah harapan akan sesuatu hal yang baik. Akan tetapi, ada juga sesuatu hal yang tak menyenangkan yang mungkin saja ada di sekitarnya.

Tanpa tahu apa yang akan terjadi dan menanti sesuatu yang belum ada jelasnya. Maron hanya menatap ke langit-langit ranjang maupun kamarnya. Semakin dia mengerti keadaan yang ada di depan matanya ini, semakin dia dipaksa untuk menerimanya walau dia sendiri masih belum yakin akan apa yang terjadi setelahnya. Di saat dia harus menerima kenyataan bahwa ia sudah mati di dunia asalnya, dia masih belum bisa menerimanya dengan ikhlas. Seolah, masih ada sesuatu hal yang harus ia selesaikan di tempat itu. Namun, daya apa yang dia miliki di waktu dia dipindahkan ke sebuah tempat yang tak dia ketahui ini.

Di waktu dia menanti seseorang untuk membuka pintu kamarnya. Samar-samar terdengar langkah kaki yang tak biasa, derap langkah itu tak beraturan seolah tengah terburu-buru, dan dikejar sesuatu hal yang menakutkan. Maron mendengarnya suara itu dan mencoba untuk menenangkan diri karena rasa khawatir yang entah dari mana asalnya merasuk ke dalam benaknya.

"Siapa itu? Apa aku akan baik-baik saja?" tanya Maron saat dia melihat sekitarnya dengan tenang seolah dia sedang berada di sebuah hutan yang memiliki pemandangan menakjubkan dengan runtuhan air dari langit yang meluncur dengan cepatnya ke tanah dan melewati sela-sela batu. Walaupun ada rasa was-was yang menaungi benaknya, dia tetap berusaha untuk tenang.

Dia tidak tahu ada di mana, jadi dia benar-benar berusaha untuk tetap tenang walaupun batinnya tidak karuan. Tak lama, sebuah derap langkah kaki itu semakin keras dan suaranya tidak berkurang. Dia mengarahkan matanya ke arah pintu dengan tatapan yang was-was. Dia hanya berharap jika sosok yang nantinya membuka pintu itu tak memiliki niat jahat atau dia benar-benar kacau.

Bukan suatu perkara yang mudah untuk dia. Tidak tahu bagaimana keadaan di dunia sebelumnya, buta akan dunia yang saat ini ia tempati, bahkan tak ada suara pengantar laksana novel-novel lainnya. Dia benar-benar kosong dan seputih kertas. Pastinya, dia bukan seseorang dari kasta rendah karena tempat yang dia tinggali mencerminkan seorang Bangsawan bahkan Raja. Maron menghela nafas sambil memandangi sosok yang membuka pintu.

Seorang pria paruh baya yang mengenakan full plate armor serta membawa sebuah pedang di pinggangnya. Perawakannya tinggi dan berotot dengan dada yang bidang. Wajahnya menunjukkan kerutan, dan tatapan matanya tajam tapi juga teduh. Selain itu, kumis dan janggut yang begitu rapi semakin membuat wajahnya terlihat tampan tapi maskulin.

Pria itu terlihat khawatir saat melihat Maron yang terbaring di Kasur. Dia tidak bisa tidak menyalahkan dirinya karena membuat Maron sampai pada kondisi seperti itu. Beberapa waktu lalu, mereka sedang berperang melawan kerajaan lain, dan pada saat yang kritis, dia tidak bisa melindungi Maron. Dia masih merasa kesal sekaligus menyesal dengan kejadian waktu itu.

"Yang Mulia, Maafkan ketidakbecusanku dalam memimpin pasukan. Situasi masih bisa kita kendalikan. Namun, akibat tindakanku waktu itu, Yang Mulia berbaring di ranjang tanpa bisa berbuat apa-apa," ucap Pria itu saat masuk ke dalam kamar Maron. Dia tampak sangat menyesal hingga menundukkan kepalanya.