webnovel

PERMINTAAN CHANDRA

Happy Reading

***

"Istrinya teman arisan almarhum mamamu ... eh, istri papa maksudnya. Mama Sita." Buru-buru Chandra meralat ucapannya. 

Istrinya baru saja meninggal beberapa bulan yang lalu karena komplikasi paru-paru.

"Oh." 

Chandra melirik Mansae sekilas. Sejak tadi putrinya ini hanya menanggapinya seperti itu. Tidak antusias sama sekali.

"Rikas dan Isma punya satu anak kandung dan satu anak angkat yang masih kuliah." 

"Lalu?" 

"Dia salah satu lulusan terbaik di kampusnya— sama seperti mu, Sae." Senyum Chandra merekah sempurna. Ia sudah bisa membayangkan betapa sempurnanya pernikahan Mansae nanti. 

"Namanya siapa, ya?" Chandra memutar kedua matanya. Lupa-lupa ingat. Maklum sudah tua.

"Tidak tahu," ucap Mansae mengedikan bahu.

"Tuan muda Bion Arkana Putra." Salah satu asisten kepercayaan Chandra yang entah ada dimana membantu tuannya untuk mengingat.

"Ah, iya, itu. Bion. Bagus 'kan namanya?" Chandra tersenyum, menatap Mansae penuh harap. 

Tapi yang diharapkan sama sekali tidak tertarik untuk tahu.

"Papa sudah beberapa kali bertemu Bion. Dia sangat sopan, tampan dan juga pintar. Papa yakin dia akan sangat pantas bersanding denganmu. Kalian akan jadi pasangan yang sempurna," lanjut Chandra tersenyum, minta pendapat Mansae.

"Aku tidak mau jodohkan, Pah." 

Hemm, Itu adalah jawaban klasik Mansae tapi Chandra tidak mau menyerah. Sebenarnya sudah banyak laki-laki yang mau melamar putrinya ini tapi, ya, itu ... Mansae selalu menolak. 

Tapi tidak untuk kali ini. Mansae harus menerima perjodohan ini. Titik!

"Kau 'kan belum kenal dan lihat orangnya. Papa punya foto dan videonya. Kau lihatlah dulu, ya?" 

Mansae menggeleng. "Untuk apa?"

"Oh, ayolah. Lihat saja dulu fotonya. Siapa tahu kau tertarik, hem? Paling tidak lihat wajahnya dulu, ya?"

Chandra memberi isyarat pada asistennya untuk memberikan beberapa foto Bion yang diberikan oleh Rikas—ayah Bion— waktu itu.

"Ini." Chandra menata foto Bion diatas meja. "Lihatlah. Dia sangat tampan dan juga berwibawa. Papa juga dengar kalau dia pria pekerja keras dan sayang keluarga." 

Cih, Mansae sedikit pun tidak melihat foto-foto itu. Ia tidak selera dengan yang namanya pernikahan. 

"Aku tidak mau menikah, Pah."

"Oh, atau kau ingin bertemu dengannya langsung? Kau ingin mengobrol dengannya dulu? Orang tua Bion juga ingin menemuimu, Sae." Chandra belum putus harapan. "Bagaimana jika papa yang mengatur jadwal pertemuannya? Kau ada waktunya kapan? Besok, lusa atau minggu depan?"

Mansae menghela napas dengan sabar. Telinga cantiknya sudah sangat panas sejak tadi. 

Jujur, jika tidak sayang dan menghormati papanya, ia sudah meneriaki papanya sejak tadi.

Huh, lebih baik pulang saja daripada menahan emosi seperti ini. Ia tidak mau meneruskan pembicaraan yang tidak akan pernah menemui kata 'Deal' ini.

Mansae beranjak dari duduknya— sebelum benar-benar pergi, ia menyempatkan minum wine dari botolnya langsung.

"Mau melarikan diri lagi?" Chandra sudah tahu akan seperti ini. Obrolan mereka akan berakhir seperti malam-malam sebelumnya. Mansae pergi begitu saja tanpa mengatakan apa-apa.

Jika selalu diakhiri seperti ini … mau sampai kapan putrinya itu akan melajang dan memiliki keluarga yang sempurna?

Chandra sudah sangat tua. Ia tidak akan bisa menjaga Mansae selamanya, dan lagi waktu kematiannya pun bisa dihitung bulan.

"Pembicaraan ini sudah selesai 'kan, pah?" Mansae mencelos kesal, meletakkan kembali botol wine yang isinya hampir habis. "Tadi papa menyuruhku untuk istirahat, kan?"

Pusing juga ternyata. Semoga saja tidak mabuk. Kalau mabuk bahaya, nih.

"Mansae tunggu dulu, nak." Chandra mencegah Mansae pergi. "Kalau kau tidak menikah, kau akan hidup dengan siapa, Sae? Lihat, Papa, Sae." Salah satu tangannya meraih tangan Mansae. "Papa sudah tidak muda lagi. Papa sudah tidak bisa berdebat denganmu lagi seperti dulu. Papa sudah tua, Sae. Kau butuh pendamping hidup untuk menemani—"

"Cukup, Pah!" Mansae yang sudah kesal, tanpa sadar berteriak pada Chandra. "Aku tidak butuh siapapun didalam hidupku. Aku bisa hidup sendiri," ucapnya sambil melepas genggaman tangan Chandra. 

"Lebih baik aku melajang seumur hidupku daripada aku terikat dengan ikatan pernikahan yang sangat mengerikan itu." Kedua mata indahnya meremang menahan tangis. Lama-lama capek juga jika ditekan seperti ini.

"Tidak semua pernikahan yang kau bayangkan semengerikan itu, Sae. Lihatlah, papa! Coba kau lihat papa dan Mamamu—"

"Cukup! Aku tidak mau dengar apa-apa lagi!" Mansae menutup telinganya— Chandra sudah sering mengatakan itu. "Kalau Papa masih terus-terusan membahas ini dan tetap memaksaku untuk menikah, aku benar-benar akan pergi dari rumah ini dan meninggalkan papa sendiri. Mau?"

"Itu lebih baik. Ambil pilihan yang terakhir, Sae!" Chandra menaikkan sedikit nada suaranya.

"Hish!!" Mansae sampai tidak bisa berkata-kata lagi. 

Menyebalkan sekali, sih!

Harus bagaimana lagi ia menolak semua ini?!

"Daripada kau hidup melajang selamanya. Tinggalkan saja papamu ini. Aku akan menerima itu. Asal kau mau menikah," ucap Chandra penuh penekanan. Kali ini ia tidak mau kalah berdebat.

"Papa!!" Mansae berteriak frustasi. 

Chandra memegang dada kirinya. Tidak sakit. Hanya akting saja— tadi asistennya yang memberitahu hal seperti ini. Melihat sifat Mansae— kemungkinan lolos 80%, kata mereka. 

"Tidak harus dengan Bion. Kau pilihlah sendiri. Siapapun prianya asalkan pria itu dari keluarga baik-baik, papa akan menerimanya dengan tangan terbuka."

Mansae mencibir kesal saat melihat gerak-gerik Chandra yang sedang kesakitan itu. Ia tahu itu hanya akting. "Dasar tua bangka keras kepala," ucapnya sambil berlalu meninggalkan Chandra. 

Jika diteruskan perdebatan ini— bisa-bisa jantung papanya akan meledak sungguhan nanti, huh!

"Kau mau kemana, Sae!" panggil Chandra yang tidak digubris Mansae.

Gagal lagi, nih? Padahal Chandra sudah berakting sebaik mungkin.

"Yah, nona Mansae. Jangan pergi, non!" Dalam sekejap ke lima asisten pribadi Chandra keluar bersamaan. 

Mereka berlima sama-sama memanggil Mansae untuk tidak pergi. Tapi yang bisa mereka lakukan hanya berdiri di belakang Chandra tanpa bisa melakukan apapun. 

Mansae pergi lagi dari rumah. Baru saja gadis manisnya itu pulang, sudah pergi lagi. Maunya apa sih?

"Kalian bilang cara ini akan berhasil?" Chandra menghela napas, bertanya pada siapa saja yang mau menjawab pertanyaannya.

"Maafkan kami, tuan." Kompak mereka berlima membungkuk. Merasa sangat bersalah. Padahal akting tuannya sudah sangat menyakinkan tadi.

"Hubungi Rikas dan Isma. Katakan pesanku pada mereka— aku Chandra Jujutsu ayah Mansae Syailendra menyetujui pertemuan besok."

"Tidak atas persetujuan Nona Mansae, tuan?" tanya salah satu asisten Chandra.

Chandra menggeleng, "Kau besok hubungi Mansae. Katakan padanya, kalau keadaanku semakin memburuk. Buatlah sedramatis mungkin. Satu lagi, untuk menyakinkan Mansae hubungi dokter Collin. Mintalah dia untuk bekerja sama denganku. Paham maksudku?"

"Siap, tuan!!" 

"Oh, satu lagi." Chandra teringat dengan putra kandung satu-satunya. "Hubungi Galaksi. Katakan hal yang sama padanya. Tapi jangan bilang ini mengenai perjodohan Mansae. Paham?"

"Siap, tuan!"

***

Salam

Busa Lin