Alya bawa mobilnya menyusuri jalan ibu kota menuju rumah orang tuanya. Ia baru saja dari Bandara menjemput kedua orang tuanya pulang dari Bali. Ia melirik melalui cermin tengah dan tampak kedua orang yang duduk di belakang itu memancarkan kebahagiaan.
"Tadi mertuamu kirim salam untukmu." Seru Sarinah.
"Iya." Alya menyahut dengan ceria.
"Ben kemana, Al?" Tanya Sarinah balik.
Bola mata Alya bergoyang mencari alasan. "Sibuk, ma." Singkatnya.
"Iya lah, pasti sibuk. Resort sebesar itu saja harus dua orang yang mengurus seperti abang iparmu. Apalagi Hotel yang cuma suamimu seorang yang mengurus." Komentar Yusril.
Alya memberikan senyuman tipisnya dan pandangannya ke arah depan. Bukan itu yang sebarnya terjadi. Ia memang tidak memberitahukan soal kepulangan orang tuanya pada Ben. Belajar dari pengalamannya yang sudah, Ben selalu sibuk dan dipastikan tidak akan sempat untuk menjemput ke Bandara. Lagipula, ia tidak ingin menyusahkan suaminya hanya untuk urusan seperti itu.
Alya sudah membantu mamanya membongkar isi koper dibantu dengan Dira yang juga datang ke sana. Dan sekarang adik bungsunya beserta iparnya itu tengah asyik mengobrol sekaligus mendengarkan cerita mamanya soal Bali. Sedangkan Alya memilih menonton televisi. Yusril ikut bergabung dengan putri sulungnya. Ia melirik putrinya yang saat itu melamun.
"Kamu baik-baik saja?" Tanya Yusril menyandarkan tubuhnya pada sofa kesayangannya.
Alya tersadar. Ia menoleh dan mengembangkan bibirnya sekilas.
"Sekolah baik-baik saja?" Tanya Yusril sekali lagi. Ia tahu putrinya sedang memikirkan sesuatu yang berat.
"Sekolah baik, Pak." Alya mengangguk sekilas.
Yusril mengambil remot TV dan menukar ke saluran favoritnya. "Masalah didalam rumah tangga itu wajar. Tapi jangan kamu biarkan berlarut. Harus diselesaikan, agar tidak mengundang orang lain masuk." Ucapnya
Alya menoleh dengan wajah datar. Pria disebelah ini begitu peka.
"Istri yang sudah sepuluh tahun saja, terkadang masih terkejut dengan perubahan sikap suaminya. Manusia itu berubah karena lingkungan dan itu lumrah. Tapi, tidak serta merta karena perubahan itu kamu merasa asing. Harusnya kamu lebih memahami dan mengimbangi dengan bijak." Nasehatnya.
Alya menghela napas beratnya. Ia menunduk malu pada bapaknya itu.
Yusril menepuk punggung putrinya pelan. "Murid itu memerlukan seorang guru dikelas, suami memerlukan istri dirumah. Artinya, tanggung jawab kamu sama besarnya, hanya saja perannya yang berbeda." Senyumnya mengembang tulus. Alya menyambutnya dengan hangat.
***
Alya duduk di meja makan bersama suaminya. Ia senang melihat Ben pulang awal malam ini seperti dulu. Bahkan pria itu makan malam dirumah. Perubahan drastis yang terjadi pada suaminya akhir-akhir ini memang membuatnya bingung. Tapi mengingat pesan bapaknya tadi, ia sedang belajar memahami dan mengimbangi.
"Tadi sore kamu kemana? Tumben kamu pakai mobil." Tanya Ben lembut. Mulutnya setengah mengunyah makanannya. "Aku lihat posisi mobil kamu berubah." Tidak ada intonasi curiga disana. Ia hanya ingin tahu kegiatan istrinya. Karena setahunya Alya lebih suka menggunakan motor daripada mobil.
"Aku jemput Bapak sama mama di Bandara." Jawab Alya.
Kunyahan dimulut Ben terhenti. Ia menoleh ke arah istrinya. "Kamu gak bilang sama aku, kalau orang tua kamu pulang hari ini?" Nadanya berubah tegas.
Alya merasakan perubahan intonasi itu. Ia menarik napasnya untuk mengimbangi suaminya. "Aku gak mau ganggu kamu."
"Seenggaknya kamu harus bilang sama aku." Gaya bicara Ben berubah ketus. "Nanti apa kata orang tua kamu, aku gak antar mereka dan sekarang aku gak jemput." Ia meneguk air putihnya sedikit lalu meletakkan gelas itu kembali dengan sedikit membanting.
Alya memegang lengan kiri pria itu. "Mereka mengerti kalau kamu sibuk. Mereka gak marah sama sekali." Ia menenangkan suaminya. Ben menyelesaikan makan malamnya dalam hening. Tidak ada pembicaraan lagi setelah itu.
Alya duduk dipinggir tempat tidurnya dan melihat Ben sibuk mengetik sesuatu di ponselnya. Ia mengatur kalimatnya sesaat kemudian berbalik dan duduk menghadap suaminya. "Kamu marah ya soal tadi?" Tanya Alya lembut. Ia mengingat kalimat bapaknya untuk menyelesaikan masalah yang ada.
"Sudahlah." Sahut Ben menoleh sekilas.
"Tapi kamu seperti marah sama aku." Alya memajukan posisi duduknya. "Aku minta maaf ya." Ia menyentuh lengan kiri pria itu lembut sambil mencari celah untuk bermanja disana.
"Hmm..." komentar Ben. Ia masih sibuk mengetik sesuatu di ponselnya.
Alya merasa suasana hati pria itu mulai membaik. Ia menempelkan tubuhnya disamping Ben. Ia ingin bermanja malam ini. Alya mengelus lengan pria itu lembut. Ia melihat Ben mengetik beberapa memo soal kerjaannya di ponsel itu. "Hotel baik-baik aja, Ben?" Tanya Alya sekedar berbasa-basi.
"Baik." Jawab Ben singkat.
"Apa ada masalah dikantor yang mungkin bisa aku bantu?" Ia menatap wajah suaminya lembut.
Ben melirik Alya sekilas. "Gak ada."
"Elena kabarnya gimana?" Tanya Alya lagi.
Ben menjauhkan tubuhnya dari Alya setelah mendengar pertanyaan itu. "Kenapa kamu tanya soal Elena?" Nadanya berubah ketus kembali.
Alya mengerutkan dahinya. "Aku cuma tanya aja."
"Iya, kenapa kamu bawa-bawa nama Elena sekarang?" Intonasinya berubah marah.
"Ben, aku cuma sekedar tanya. Gak ada maksud apapun. Aku cuma mau tahu aja."
"Kenapa kamu mau tahu. Kamu kenapa sih malam ini banyak pertanyaan. Kamu ingin tahu soal apa sebenarnya?" Ben meletakkan ponselnya. Tatapannya lurus pada istrinya. Entah kenapa menyinggung nama Elena membuatnya berang.
Alya menghela napasnya. "Kenapa aku menyebut nama Elena membuat kamu semarah ini. Padahal tadi semuanya baik-baik aja." Matanya mulai berair.
"Pertanyaan kamu malam ini cukup. Aku capek." Ben membaringkan tubuhnya dan membelakangi istrinya. Alya menatap punggung suaminya dan menyeka air matanya yang baru saja jatuh. Segala nasehat dari bapaknya hilang. Sekarang ia kembali menjadi Alya yang merasa kalau suaminya berubah.
***
Dewa mendapatkan telepon dari mamanya. Sudah lama wanita itu tidak menelepon putranya. Senyum di bibirnya merekah. "Halo, mah?" Sapa Dewa lembut.
"Kamu dimana?" Suara Irma terdengar parau.
"Di apartemen."
"Ujian gimana?"
"Tinggal dua hari lagi." Serunya riang.
Irma batuk sekilas. "Liburan nanti kamu mau kemana?" tanyanya.
"Disini aja." Sahut Dewa. "Mama sakit ya?" Tanyanya balik.
"Enggak." Irma kembali batuk. "Cuma masuk angin saja. Disini lagi winter soalnya." Irma diam sejenak. "Kamu gak mau liburan ke Amerika saja? Mama rindu sama kamu." Bujuknya.
Dewa hening. Ia sedang tidak ingin pergi kemanapun. Lebih tepatnya ia tidak bisa meninggalkan Hotel Malpis dalam waktu dekat. Ia harus membongkar perselingkuhan Ben dan menjaga wali kelasnya dari sakit hati yang mungkin akan segera terjadi. "Dewa gak bisa, mah." Serunya.
"Kenapa?" Irma kembali batuk. Tubuhnya memang sakit belakangan ini.
"Libur tahun depan aja Dewa kesana." Usulnya lirih. Ia juga ingin bertemu dengan mamanya karena rindu. Tapi mamanya memiliki papa tirinya yang bisa menjaga mamanya. Tapi Alya tidak memiliki siapapun kalau ia mengetahui perselingkuhan suaminya.
"Ya sudah, kalau itu mau kamu. Mama gak bisa paksa." Seru Irma. Sekali lagi ia batuk. "Kirim salam untuk Ibu Alya, ya." Katanya.
"Iya, mah." Dewa memutuskan sambungan telepon itu. Ia baru saja mengambil keputusan yang besar.
***
Agusman mamasuki lobi Hotel Malpis. Ia berjalan santai ke arah galerinya yang tampak lebih mewah sekarang ini dengan beberapa furniture yang terpampang didepan galeri itu. Ia melihat Elena sedang berdiri membelakanginya.
"Elena." Panggilnya.
Elena menoleh dan kaget melihat Agusman muncul didepannya tanpa kabar terlebih dahulu. "Kenapa anda tidak memberitahu saya kalau mau datang?" Ia mengulurkan tangannya.
"Saya sengaja kasi kejutan ke kamu." Seru Agusman sambil menyambut uluran tangan itu. "Kamu sudah makan, yuk kita makan dulu." Ajaknya.
Elena mengangguk setuju. Ia menutup galerinya sementara dan memenuhi ajakan pria itu.
Agusman mengajak Elena untuk makan di restoran oriental di Hotel Malpis. Ia memesan meja untuk enam orang. Dan ia memilih duduk disebelah Elena.
"Apa anda menunggu seseorang, Pak?" Tanya Elena saat memperhatikan posisi duduk pria itu.
"Iya." Sahut Agusman. Ia menoleh ke arah pintu masuk. "Itu mereka." Tunjuknya.
Elena menoleh ke arah yang dilihat oleh pria itu. Ia melihat Ben dan Arif serta pria berotot yang selalu menemani Agusman kemanapun. Ia bertukar pandang dengan Ben dari jarak jauh.
Ben memberikan senyuman dan uluran tangannya kepada Agusman. "Untung saja hari ini agenda saya kosong." Serunya.
Agusman berjabat tangan dengan erat. "Saya akan mengatur ulang jadwal kamu." Candanya. Mereka tertawa bersama.
Mereka duduk bersama dimeja itu. Dan posisinya sama persis seperti pertama kali saat Agusman mengenalkan Elena sebagai penanggung jawab galeri, dimana Elena dan Ben duduk berhadapan. Saat itu Agusman sengaja mengatur posisi duduknya karena ia ingin mendekatkan Elena dengan Ben. Namun kali ini, ia ingin memastikan reaksi keduanya.
"Saya tidak menyangka kalau galeri ini sukses." Seru Agusman disela makan. "Elena bahkan harus membuat double untuk satu desain." Senyumnya menyeringai.
Ben mengangguk mengiyakan kalimat pria itu. Sedikit banyak ia tahu soal itu karena Elena selalu cerita disela-sela kebersamaaan mereka. Agusman melihat tatapan Ben ke arah Elena yang berbeda seperti pertama kali mereka bertemu dulu.
"Saya mau berterima kasih kepada kamu karna membantu Elena selama ini. Saya denger Elena juga lebih sering menginap disini daripada di apartemen." Komentarnya.
Elena tercekat. Apa maksud Agusman, benaknya.
"Elena sibuk belakangan. Di juga sering bolak-balik gudang. Mungkin kalau menginap disini lebih mudah turun-naik ke galeri dari pada di apartemen." Jelas Ben agar Agusman tidak salah paham.
"Hahaha..." tawa Agusman pecah. Ia sampai harus meneguk airnya untuk melonggarkan tenggorokannya. "Maksud saya juga gitu. Saya senang karena kamu memudahkan Elena dalam segala hal." Barisan giginya yang tampak kuning dan berkarang itu terumbar. Arif hanya menunduk dan mendengarkan pembicaraan itu. Ia tahu maksud Agusman bukan itu sebenarnya.
Ben membalas tawa Agusman dengan tenang. Ia berharap pria itu mengerti maksud penjelasannya. Ia melirik ke arah Elena sekilas.
"Saya terpaksa harus pergi lebih dulu karena ada meeting setelah ini." Ben berpamitan dengan pria itu setelah makan malam mereka selesai.
Agusman mengangguk paham. "Lain kali kita makan malam berdua saja." Candanya.
Ben tertawa. "Saya permisi dulu." Ia melihat ke arah Elena sekilas kemudian pergi dari tempat itu.
Agusman mengganti posisi duduknya menghadap Elena, tempat dimana Ben duduk sebelumnya. Elena merasa aneh dengan sikap pria itu hari ini.
Agusman mengesampingkan gelas minuman bekas Ben dari hadapannya. Ia menatap Elena dengan lembut. "Kamu baik-baik saja?" Tanyanya ramah.
Elena mengangguk. Ia tidak mengerti apa maksud pertanyaan itu.
"Maaf saya tidak sempat menelepon kamu waktu tahu Roy ditangkap polisi." Ia menegakkan tubuhnya. "Setidaknya karena itu kamu bisa terbebas dari Roy. Saya mengenal keluarga Roy. Saya tidak bisa serta merta membuat dia menjauhi kamu dengan cara kasar. Bali itu kecil, ruang lingkup kerjanya jauh lebih kecil. Lebih baik menghindari musuh dari pada kehilangan nama baik dan pelanggan setia. Kamu tahu kan maksud saya?"
Elena mengangguk paham. Senyumnya terumbar. "Saya mengerti, Pak."
"Tanpa saya, kamu sudah punya penolong yang lain." Seyum nakal Agusman mengembang. "Saya tahu apa yang terjadi dengan kamu dan Ben selama ini."
Elena kaku. Kelopak matanya bahkan takut untuk berkedip.
"Saya sudah pernah bilang kalau saya tidak akan mencampuri urusan pribadi kamu dengan siapapun. Tapi jangan melibatkan orang lain didalam gubungan kalian. Maksud saya Alya." Helaan napasnya terdengar. "Jangan sampai Alya tahu nantinya dan malah merusak galeri yang sudah susah payah kita bangun. Kamu pasti mengerti maksud saya."
Elena mengayunkan kepalanya pelan. Tatapannya melemah pada Agusman. "Saya akan lebih hati-hati, Pak." Jawabnya.
Mendengar ucapan Elena membuat Agusman semakin resah. Maksud hatinya membuka pikiran wanita ini kalau hubungannya dengan Ben adalah salah tapi sepertinya Elena belum mau melepaskan Ben. Agusman juga berusaha menepati kalimatnya kalau ia tidak akan mencampurinya.
***
JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENTAR YA.