webnovel

MALPIS

[17+] Kisah ini menceritakan soal Alya dan Ben. Mereka bertemu saat si kebetulan tak sengaja menghampiri mereka. Lalu mereka mulai saling memberikan perhatian saat si cinta dan rasa sayang membutakan mereka. Namun si mantan datang dan tanpa sengaja merebut kembali apa yang pernah menjadi miliknya.

adeliafahriani_ · Urban
Not enough ratings
69 Chs

Chapter 19 - Between Mita and Dewa

SETAHUN YANG LALU

Mita baru saja memarkirkan mobilnya dibasemen. Ia mengantri didepan lift dengan beberapa orang lainnya. Tak lama, seorang cowok muda berpakaian casual berdiri disampingnya dan juga sedang menunggu lift. Mita menoleh dan memperhatikan wajah cowok itu. Wajah yang baru baginya dan pertama kali ia melihatnya.

Mereka masuk ke dalam lift dan berdiri berdampingan. Mita memperhatikan pantulan cowok itu melalui pintu lift. Wajah cowok itu tampak kalem dan terlihat muda sekali. Namun gestur tubuhnya yang tinggi tidak membuatnya seperti anak SMA.

Mita keluar dari lift dan melihat cowok itu berjalan menuju restoran buffet kemudian masuk melalui pintu karyawan. Mita mengira kalau cowok itu adalah pekerja baru.

Sore harinya, saat restorannya sedang sepi, Mita bertanya pada salah satu karyawan restorannya. "Di resto buffet ada anak baru ya?" Tanyanya.

"Di resto buffet sering ada pegawai baru, mbak. Mereka banyak yang part-time bagian dapur." Jelas karyawannya.

"Tadi saya lihat cowok, kayaknya masih muda. Dia datang dari arah basemen."

Pegawai perempuannya itu mengangguk cepat. "Oh, iya saya tahu. Dia anak part-time malam bagian cuci piring."

Mita mengangguk, "Kamu bisa tahu dari mana?" Tanyanya.

"Mbak, pacar saya kan disana. Saya tahu. Lagian saya hapal wajah karyawan hotel ini dari atas sampai bawah." Ujarnya bangga. Mita mengangguk.

Beberapa hari kemudian, Mita makan di buffet Hotel Malpis saat jam sudah menunjukkan pukul 9 malam di jam akhirnya. Beberapa karyawan mengadakan makan bersama disana. Dan Mita ikut bergabung.

Saat ia sudah selesai makan dan mengobrol hingga pukul 10 malam, Mita minta ijin pulang lebih dulu. Ia berjalan ke arah pintu dan tak sengaja berpapasan dengan cowok yang tengah mengambil piring kotor.

"Dewa, tolong ini kamu bereskan sekalian ya." Panggil manager restoran itu.

"Iya, mas." Jawab si Dewa itu.

"Setelah itu kamu cuci lalu kamu boleh pulang."

"Siap, mas." Dewa memungut piring kotor dibeberapa meja.

Mita yang sudah hendak keluar dari arah restoran, akhirnya berbalik ketika ia mendengar nama Dewa dipanggil. Ia memperhatikan wajah si Dewa itu dengan teliti. Perasaanya mengatakan kalau cowok yang tengah dilihatnya ini adalah murid sahabatnya disekolah.

Mita mendekati cowok itu dengan hati-hati. "Sorry." Panggilnya.

Cowok itu menoleh dengan wajah datar. "Ya, ada apa mbak?" Tanyanya.

"Kamu Dewa Ibram?" Tanya Mita langsung. Terlalu sering mendengar Alya menyebut nama itu hingga dihapalnya diluar kepala.

Wajah cowok itu tampak kaget. Ada orang yang mengenalnya. "Mbak siapa, ya?" Ada yang Dewa takutkan saat ini. Ia menghentikkan aktifitasnya sesaat.

"Kamu bener Dewa Ibram bukan?" Tanya Mita memastikan. "Kamu SMA 278?"

Dewa bingung siapa wanita didepannya ini yang mengenalnya. Dewa melihat papan nama yang tergantung di seragam wanita itu Paramita Soraya. Ia menyipitkan matanya mengingat nama itu. Namun ia tidak mengingatnya.

"Saya Mita, teman wali kelas kamu. Alya." Ujar Mita bangga.

Dewa seperti orang ketakutan ia menoleh ke arah managernya sesaat dan berbisik pada Mita, "Mbak, jangan bilang sama ibu Alya kalau saya kerja disini. Saya pasti langsung diceramahin nanti." Pintanya.

Mita tahu kalau Dewa bukan orang berkekurangan. Tapi ia masih bingung kenapa bocah itu bekerja saat ia tinggal diapartemen mewah. "Kenapa kamu kerja disini?" Tanyanya.

Dewa menunduk sesaat, "Saya bosen sendiri dirumah. Sepi, mbak."

Mita merasa simpati pada jawaban Dewa. "Kamu mulai kerja jam berapa?"

"Saya biasanya masuk jam 5 sore. Tapi berhubung besok minggu, saya masuk pukul 2 siang." Jelasnya.

"Kalau saya mau ngobrol sama kamu, gimana?" Tanya Mita.

Dewa tampak berpikir sesaat, "Saya datang pukul 1 bisa mbak."

Mita mengangguk paham. "Bisa. Saya ada di western resto." Ia melihat jam tangannya dan mendapati kalau mereka sudah mengobrol selama sepuluh menit. "Saya duluan ya." Pamitnya.

Dewa mengangguk. Ia memanggil Mita sekali lagi, "Mbak, jangan sampai ibu Alya tahu ya." Pesannya. Mita mengangguk paham.

***

Mita dan Dewa duduk berhadapan disalah satu meja kosong di restoran buffet Hotel Malpis. Mita mengajak Dewa makan disana.

"Gimana ceritanya kamu bisa kerja disini?" Tanya Mita penasaran.

Dewa mencoba mengingat, "GM hotel ini satu apartemen dengan saya. Kami selalu berpapasan kalau dilift. Jadinya saya sering ngobrol dengan dia. Apalagi dia baru diapartemen itu." Jelasnya.

"Pak Alex tinggal diapartemen kamu? Bukannya dia sebelumnya di daerah thamrin?"

"Iya, dia pindah katanya tetangga baru diatasnya ada anak bayi jadi merasa terganggu."

Mita mengangguk paham. "Terus kamu minta kerjaan sama dia?"

Dewa tertawa kecil. "Awalnya saya bergurau aja mau part-time. Pak Alex anggap serius terus dia suruh datang kesini ketemu manager buffet ini. Saya langsung kerja."

"Kenapa Alya gak boleh tahu?"

Dewa berubah murung, "Teman mbak gak pernah cerita soal saya disekolah gimana?" Pancingnya.

Mita menatap wajah Dewa, "Hanya saya satu-satunya tempat Alya cerita soal kamu. Tapi cerita Alya gak pernah berakhir bahagia. Dia selalu punya kesalahan kamu yang buat emosi."

Dewa tersenyum hambar, "Aslinya saya itu tiga kali lipat lebih buruk dari yang teman mbak ceritakan." Ia menyuap makanannya. "Pelajaran disekolah saja saya abaikan, tugas saja saya tidak pernah kumpulkan. Pasti teman mbak bakal marah kalau tahu saya kerja disini."

Mita mengangguk pelan sambil menelan makanannya. "Kalau saya telpon Alya sekarang, saya yakin dia pasti akan langsung kesini."

Dewa melanjutkan makannya. Ia tidak berkomentar.

"Bukannya sebentar lagi mau ujian kenaikan kelas. Kamu gak belajar?" Tanya Mita. Dewa akan segera naik kelas tiga.

"Menurut mbak, apa temen mbak itu bisa jadi wali kelas lagi?" Tanyanya.

"Saya enggak tahu. Saya gak ngerti gimana sistem penilaian guru sekolah." Jawab Mita. "Kamu kenapa sebut nama Alya dari tadi temen mbak?"

Dewa tertawa. "Hahaha... apa saya diijinkan manggil Alya atau kak Alya atau mungkin mbak Alya?" Tanyanya.

Mita tertawa geli, "Suka-suka kamu aja." Ia menggelengkan kepalanya. "Saya paham kenapa Alya kesal sekali sama kamu." Ia menghabiskan makanannya. "Ingat Dewa, sebentar lagi kamu ujian. Jangan sampai nilai kamu jelek karna part-time ini." Pesan Mita. Dewa mengangguk. Ia juga menghabiskan makanannya.

"Saya mau bilang sesuatu ke kamu tapi kamu jangan marah ya. Saya rasa perlu sampaikan ini sama kamu." Ujar Mita perlahan. Dewa menoleh dan menunggu lanjutannya.

"Alya pernah bilang ke saya kalau kenaikan kelas ini sepertinya kamu terancam. Semua guru yang masuk kelas kamu saat ini seperti bom waktu. Mereka memendam kenakalan kamu dan tiba saatnya mereka akan melaporkan semuanya ke kepala sekolah." Mita diam sejenak. "Begitu banyak cerita soal kamu yang saya dengar sampai saya bingung harus memulai dari mana."

Dewa menghela napas beratnya.

"Kamu ingat terkahir kali kamu berantem?"

Dewa mengangguk, "Ingat mbak. Kenapa memangnya?"

Mita menarik napasnya sesaat, "Sebelum kejadian kamu diskrors seminggu itu, orang tua kamu sempat mau dipanggil sama kepala sekolah, tapi Alya memohon dan membujuk kepala sekolah. Dia menjelaskan kepala sekolah bagaimana kamu sebenarnya. Bukannya dapat simpati atau pertolongan, kepala sekolah malah bilang kalau Alya tidak bertanggung jawab membimbing kamu. Alya tidak kompeten menjadi wali kelas. Hanya karna kamu, reputasi Alya dimata guru lain hancur."

Dewa termenung. Ia tidak menyangka kalau dibalik sosok Alya yang ia kagumi, hormati dan sayanginya itu menyimpan sejuta kerja keras demi dirinya. Ia tahu selama ini Alya membela dirinya dan membantu dirinya, namun ia tidak memgetahui kalau sebesar itu pengorbanan wali kelasnya.

"Sejak dia menjadi wali kelas, penilaian kinerjanya menurun dan membuatnya mendapatkan banyak kritik dari guru lain termasuk kepala sekolah. Kalau kali ini nilai kamu jelek, sudah dipastikan Alya tidak akan punya kesempatan lagi untuk jadi wali kelas." Kata Mita. Ia menyampaikan keresahan hatinya tentang Alya pada Dewa. Ia mencoba sedikit membantu Alya membimbing Dewa dengan caranya. Ia berharap Dewa bisa mengerti.

Dewa diam sejenak. Ia menunduk malu. "Apa yang bisa saya lakukan mbak?"

Mita menghela napasnya, "Saya gak tahu apa yang bisa kamu lakukan. Saya bukan guru jadi gak bisa memberikan solusi tentang isi sekolah kalian. Tapi kalau saya bisa kasi saran kamu, kalau kamu tidak bisa menolong Alya setidaknya tolonglah diri kamu sendiri. Belajar yang giat ujian nanti. Kalau kamu dapat nilai bagus, kamu bisa menyelamatkan diri kamu. Selebihnya Alya juga kena imbas bangganya. Dia gak perlu malu didepan guru-guru lain." Katanya.

Dewa mengangguk paham. Ia mengerti maksud percakapan Mita padanya.

-------------------------------------------------------------------------------

Mita berdiri didepan restorannya menyambut para tamu VVIP hotelnya yang sudah memesannya terlebih dahulu untuk makan disana. Ia melihat seseorang yang dikenalnya baru saja berjalan dari arah lift seorang diri.

"Pak," panggil Mita mendekat.

Ben menoleh dengan wajah datar. "Ada apa, Mita?" Tanyanya.

Mita mengeluarkan sebuah sapu tangan dari dalam kantong roknya. "Ini saya mau kembalikan ini. Kemarin anda pernah memberikan ini pada teman saya yang lagi sedih. Tadi dia mampir sebentar dan kembalikan ini." Ia mengulurkannya.

Ben menatap sapu tangan itu. "Temen kamu tadi datang kesini?" Tanyanya. Ia memperhatikan sekelilingnya mencari sosok itu. "Dia kemana sekarang?"

Mita mengerutkan dahinya, "Udah pulang setengah jam yang lalu. Kenapa memangnya, pak? Dia tadi cuma mau kembalikan ini." Ada yang aneh menurut Mita. "Anda kenal teman saya?" Tanyanya.

Ben mengambil sapu tangan itu kemudian menggeleng pelan ke arah Mita. "Saya duluan, ya." Pamitnya pada Mita.

Ben menggenggam sapu tangan itu dan segala kedekatan singkatnya dengan Alya di Bali kemarin melintas dipikirannya satu persatu. Genggamannya semakin erat ketika ia teringat saat mereka berpisah didepan kamar wanita itu. Helaan napas berat Ben terdengar. Ia menyimpan sapu tangan itu ke dalam kantong jasnya.

***

Alya sedang memeriksa beberapa hasil ulangan muridnya saat jam istirahat. Rini masuk ke dalam ruang majelis guru dan langsung melihat ke arah Alya yang sedang fokus pada kertas didepannya.

Rini memegang lengan Alya sambil melihat sekelilingnya, "Al, tadi gue lihat Dewa diusir dari kelas." Bisiknya.

Alya langsung menoleh cepat mendengar kalimat Rini, "Pelajaran apa?"

"Gak tahu. Gue tadi gak sengaja lihat lewat jendela. Dia jalan ke arah depan." Kata Rini.

Alya melihat jadwal mata pelajaran di kelasnya dan mendapati kalau pelajaran yang baru saja berlalu adalah pelajaran Bahasa Inggeris. "Dewa ini kenapa lagi sih!" Nadanya kesal. Ini pertama kalinya ia tahu kalau Dewa diusir pelajaran Bahasa Inggeris.

Rini hanya bisa diam mendengarnya. Alya menoleh ke arah meja guru Bahasa Inggeris dan melihat kalau penghuninya belum kembali.

Saat dua jam pelajaran terakhir, Alya berjalan ke arah 12IPS1. Namun saat melewati kelasnya ia berbelok dan mampir sesaat, "Siapa yang gak masuk hari ini?" Tanyanya. Matanya memperhatikan satu-persatu muridnya.

"Hari ini semuanya datang, buk." Jawab seorang muridnya yang duduk bagian depan.

Alya tidak melihat Dewa di kursinya paling belakang, "Dewa kemana?"

Murid itu menoleh ke arah belakang, "Hmm... tadi pelajaran Bahasa Inggeris dia diusir, buk. Sampai sekarang belum kelihatan."

"Suruh ketua kelas cari Dewa sekarang." Pesan Alya. Ia meninggalkan kelasnya dan menuju kelas 12IPS1 dengan hati gelisah. Pelajaran berikut dikelasnya adalah Bahasa Indonesia.

Alya masuk ke dalam ruang majelis guru saat jam pulang berbunyi dan melihat kalau Guru Bahasa Indonesia sudah duduk dikursinya. Tidak ada guratan emosi diwajahnya. Alya mendekat dengan perasaan khawatir.

"Buk, Dewa masuk pelajaran hari ini?" Tanya Alya ragu.

Guru Bahasa Indonesia menoleh, "Masuk, buk."

Alya merasa lega. Ia kembali ke mejanya dan perasaanya tenang. Setidaknya kesempatan terakhir yang diberikan oleh guru Bahasa Indonesia tidak disia-siakan oleh bocah itu.

***

Alya baru saja tiba diparkiran pagi ini saat suami Mita menelponnya. Ia cukup kaget melihat suami sahabatnya itu menghubungi saat matahari baru saja akan meninggi.

"Halo man, ada apa?" Tanya Alya pada Razman, suami Mita.

"Alya, gue ganggu lo gak?" Suara serak Razman terdengar jelas.

"Enggak, kenapa pagi-pagi telpon gue?" Alya mulai resah.

"Al, gue mau minta tolong sama lo."

"Minta tolong apa?"

Razman diam sesaat, "Bisa gak lo ketemu sama Mita hari ini. Tolong bujukin dia balik ke rumah. Dari semalam dia tidur dirumah mama." Rumah mama yang dimaksud oleh Razman adalah rumah orang tua Mita yang bertetangga dengan Alya.

Alya memasang wajah datar. Hal yang wajar baginya, "Kalian kenapa lagi?"

Tawa tipis Razman terdengar, "Biasalah lah, Al." Serunya. "Lo bisa tolongin gue kan?" Pintanya.

Alya mengangguk, "Iya nanti pulang sekolah, gue kesana."

"Makasih, Al. Cuma lo yang bisa bujukin Mita dan kasi pengertian ke dia." Ujar Razman haru. "Makasih, Al." Ia menutup teleponnya. Alya tersenyum tipis menutup teleponnya menuju majelis guru.

***

Alya berjalan ke arah lift setelah ia memarkirkan motornya di basemen Hotel Malpis. Ia sudah mengganti pakaian dinasnya dengan blouse abu-abu berlengan panjang dengan celana jeans diatas mata kakinya serta sendal tali kesayangannya.

Alya keluar dari lift dan berjalan ke arah restoran Mita. Tas kecilnya ia gantung dibahu kanannya. Langkah kakinya mengayun ke arah restoran itu hingga ia menoleh ke kiri dan melihat seseorang yang mengenakan jas biru tua bergerak ke arahnya.

Langkah kaki Alya berhenti ketika ia melihat bahwa orang itu adalah Benjamin yang dikenalnya di Bali. Pria itu mengenakan kemeja putih lengkap dengan dasi serta jas yang tampak mahal. Sepatu hitam yang mengkilat jauh dari kesan murah meriah. Jam tangan mahal yang menempel pada pergelangan kirinya. Bahkan rambutnya juga jauh lebih pendek dan terlihat rapi daripada saat mereka berkenalan dulu.

Ben terdiam ditempatnya. Ia menatap seorang wanita yang belakangan mencuri tempat di pikiran dan juga hatinya. Wanita yang berbeda daripada wanita yang pernah ia kenal sebelumnya. Wanita yang sederhana dan menyimpan sejuta cerita. Penampilan Alya tampak muda daripada umurnya. Rambut panjangnya ia kucir rendah ke belakang dan menyisakan beberapa helai anak rambut bagian depan berayun indah. Ben menyukainya. Tampak serasi dengan wajah Alya yang manis.

Alya semakin yakin kalau Benjamin yang dikenalnya adalah Benjamin yang sama yang merupakan seorang CEO di Hotel Malpis. Alya bingung antara tersenyum atau pergi begitu saja. Ia hanya takut kalau ia memberikan senyuman dan Ben akan bersikap tidak peduli dan berlalu begitu saja.

Ben ingat saat ia pernah mengatakan ķalau dirinya adalah seorang pegawai kantoran didaerah Jakarta Selatan. Namun saat ini statusnya sudah berbeda didepan Alya. Wanita itu pasti akan menyangka kalau ia sudah dibohongi.

Alya menghadap depan kembali dan bersikap seolah ia tidak mengenalnya. Ia memberikan senyuman pada Mita yang juga sedang melihat ke arahnya.

"Alya!" Panggil Ben. Nada suaranya datar.

Alya menoleh dan cukup kaget mendengar Ben memanggilnya. Ben memberikan senyuman tipis dengan perasaan malu. Alya membalas senyuman Ben.

Ben menatap wajah Alya yang saat ini tepat berada didepannya. Ia mengajak Alya untuk berbicara sebentar di western restaurant. "Kamu apa kabar?" Tanyanya. Kecanggungan diantara mereka terlihat jelas walaupun seminggu yang lalu mereka saling berbicara lewat telepon.

Alya bahkan tidak menyandarkan bahunya di kursi itu. Punggungnya tegak hampir membentuk huruf S disana karena ia agak tidak nyaman dengan pandangan orang-orang disekitarnya, terlebih Mita yang pura-pura sibuk padahal memperhatikan mereka. "Aku baik. Kamu gimana?" Tanyanya balik.

Ben tersenyum lirih. "Kamu bisa lihat. Aku baik-baik saja." Ujarnya. "Dua minggu setelah dari Bali, iya kan?" Helaan napasnya mengembang. "Seminggu setelah aku telepon kamu." Tambahnya.

Alya mengangguk pelan. "Dua minggu... seminggu." Ia membuang wajahnya ke arah lain. Ia tidak memiliki pertanyaan yang lain. Lebih tepatnya ia tidak mau bertanya.

"Kamu gak tanya kenapa kita bisa ketemu disini?" Ben meneliti Alya dengan memiringkan kepalanya sedikit.

"Kenapa aku harus tanya?" Alya menoleh sekilas. Ia tidak ingin terlihat penasaran saat ini. Posisinya bukan disana.

Ben mengangguk paham. "Jadi kamu udah tahu semuanya tentang aku?"

Alya menghela napas keheranannya kemudian tertawa kecil. "Apa saat ini aku terlihat udah tahu tentang kamu?" Tanyanya. "Kalaupun aku udah tahu, gak perlu waktu dua minggu untuk bisa ketemu kamu." Tambahnya.

Ben menoleh ke arah Mita sekilas. Wanita didepannya ini benar. Ia bisa saja menceritakan semuanya pada Mita dan sahabatnya itu akan memberitahukan semuanya. Ben dan Alya saling berpandangan. Kemudian saling tertawa lucu.

"Jadi, setelah hari ini apa aku bisa ketemu kamu lagi lain waktu?" Wajah Ben memancarkan sebuah tanda yang berbeda setelah hari ini.

Alya diam sejenak. Ia menatap wajah Ben. Ia tidak tahu apa maksud kalimat Ben berikut. Tapi kalau maksud kalimat itu adalah untuk saling mengenal satu sama lain lebih dalam, maka Alya juga menginginkannya. Jauh sebelum ia tahu siapa Ben sebenarnya, ia sudah ingin mengenalnya. Hanya saja saat itu waktu dan kondisi mereka sama-sama tidak yakin dengan diri sendiri.

***

JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENTAR YA.