webnovel

Kamar Tidur.

Lampu krem tua di langit-langit kamarku. Bukan kamarku.

"Mau makan apa?" oh iya, ini kamar hotel. Perempuan itu sudah bangun duluan, menonton berita olahraga pagi di televisi tiga puluh dua inci di seberang kami.

"Terserah kamu," jawabku. Ternyata ponsel sudah siap di tangan kirinya sembari matanya terpaku pada Subaru yang terperosok ke parit-parit jalan kotor di layar kaca itu.

"Kebetulan ada Pizza daging, pesen satu untuk berdua aja kali ya?" Ia menoleh ke arahku, dan aku menoleh ke arah jam meja. Sudah jam sepuluh pagi, ya. "Boleh juga, tuh," jawabku. Toh, tidak perlu terburu-buru karena hari ini Minggu.

Kini ia kembali duduk di atas ranjang ini. Kesempatan.

"Ihihihihahahahah duh kamu ngapain sih!?" jari-jariku lantas semakin menjadi meraba-raba pinggangnya di balik tank top yang mudah disusupi, "eh eh ehahahah udah stop dong ehahaha!!" langsung ia mengambil bantal dan menepis gelitikanku dengan sekali pukul.

"Eit!" tak menyerah, sekali lagi kudekap dia.

"T-tunggu! Ah!" tidak mungkin Ia bisa kabur kalau aku dekap penuh perutnya, "bentar, ih!" tubuhnya terasa agak hangat ketika kucubit lehernya dengan pagutan bibirku, "Ben...tar..."

Pelukanku bertambah erat, dan omelannya perlahan berubah menjadi gerutu manja saat kedua telapak tanganku meremas lemah pinggangnya. Gemas aku bermain dengan sedikit lemak yang selalu membuatnya minder ini, meski justru lekuk tubuh yang seperti ini sangat jauh lebih baik dimiliki ketika memadu keringat seperti tadi malam.

"Yak, lepas," langsung saja kulepas dekapanku itu, sementara ia mencuri pandang nanar terhadapku.

"Iseng banget, sih," desisnya sambil bangkit berdiri. Celana boyshorts hitam ketat yang mewarnai pinggulnya berayun langkah demi langkah, seolah mengundang. Belum lagi tank top putihnya yang agak tembus pandang, mempertontonkan punggungnya yang berlekuk menggoda untuk kudekap kesekian kalinya.

"Jadi, tadi beneran udah di pesan?"

"Iya. Paling-paling setengah jam lagi baru diantar."

Aku menghela nafas dan turun dari ranjang. Oh, ternyata aku sudah mengenakan celana pendek. Televisi pun sudah berganti siaran menjadi siaran gulat profesional. Ternyata aku menginjak sesuatu.

"Aku mandi, ya!" sahutnya dari kamar mandi. Biliknya dibatasi kaca-kaca buram dan sedikit menjorok ke dalam supaya tak terlihat dari pintu masuk. Tapi yang lebih penting lagi ialah benda yang tak sengaja kupijak di bawah kakiku ini.

Kemeja kerjanya tergeletak begitu saja di dekat lemari baju, begitu pula blazernya. Roknya ditelantarkan di sisi ranjang yang satunya lagi. Kulihat sepatu kami yang tertinggal persis di dekat pintu masuk. Celana dalamnya? Di atas tempat tidur ini.

Bra-nya yang tidak sengaja kuinjak ini lantas kutinggalkan di atas tempat tidur, apalagi ketika kepalanya mengintip dari balik pintu kamar mandi. "Aku lagi mandi, lho," ulangnya sambil tersenyum. Hanya warna kulitnya saja yang tampak menempel di balik sekat kaca bening nan buram itu.

Next chapter