webnovel

Vespa Biru

"Dis! Kesini!" Teriak Ines yang berjarak 20 meter dari tempat Disha berdiri. Wanita itu terheran sejak tadi asistennya hanya berkutat dengan kamera DSLR miliknya.

"Bentar lagi Mbak, ombaknya lagi naik nih!" Jawab Disha tak kalah keras.

Satu hal yang baru Ines tau, ternyata Disha ini memiliki hobi fotografi. Lihat saja, sejak sampai sini ia tak kunjung berhenti memotret hal-hal yang dilihatnya. Bahkan wanita itu memotret beberapa ruangan dan benda-benda mati sejak di hotel. Padahal jika dilihat, benda yang ia foto tak memiliki nilai estetika. Namun entah kenapa wanita itu acap kali memotretnya. Hah, Disha yang lugu.

Seorang pria bertubuh jangkung yang memunggungi Ines tampak mengenakan beberapa perlengkapan untuk menyelam. Hal itu menarik keingintahuan Ines untuk melihat nuansa alam bawah laut.

Bagi beberapa orang, diving merupakan kegiatan yang mengasyikkan serta jarang di temui pemandangan yang disuguhkan alam bawah laut. Namun beberapa dari mereka ada pula yang naas tenggelam lantaran menyelam terlalu dalam hingga tak bisa memperkirakan bahaya yang makin mengintai.

Hal itulah yang membuat Ines mengurungkan niatnya untuk menyelam di pantai ini. Hingga sebuah tepukan di bahunya membuyarkan lamunan gadis itu.

"Kenapa Mbak? Mbak minta difotoin juga?"

"Nggak ah. Tiap hari ketemu sama lensa kamera, bosen." Wanita itu terkekeh di akhir kalimatnya.

Disha lantas menarik tangan Ines untuk duduk di kursi pantai yang tak jauh dari tempat mereka berdiri. "Kok aku jadi laper, ya?"

"Lah kan kita baru aja makan siang tadi di hotel. Masa udah laper, Dis?"

Si wanita yang ditanya hanya mengangkat bahunya. Lalu fokus lagi melihat kameranya yang menampilkan foto-foto hasil jepretannya.

"Mbak lihat deh. Ini tadi aku habis foto peselancar guanteng banget, Mbak." Ujarnya hiperbola seraya menunjukkan pada Ines gambar seorang pria berbadan kekar tengah menaiki papan selancar di tengah-tengah ombak yang menggulung.

"Biasa aja." Ines mencibir tak setuju. "Masih ganteng Saga malah."

Sementara Disha tergelak mendengar pujian yang keluar langsung dari mulut bosnya. "Katanya ndak cinta. Kok muji ganteng?"

"Memangnya muji ganteng harus cinta dulu?"

Disha malah tergagap sendiri mendengar pertanyaan yang dibalikkan Ines padanya. Wanita itu memainkan tali kameranya, seolah bingung harus menjawab apa.

Ines terkekeh kemudian. "Pas kamu bilang kalau peselancar tadi ganteng, emang kamu cinta sama dia?"

Disha menggeleng lemah sebagai jawaban.

"Makanya. Sama, kan? Kita nggak perlu punya rasa istimewa dulu hanya untuk memuji orang lain."

Disha berdeham. "Iya Mbak, kamu bener."

Keduanya lantas terdiam. Menikmati angin sepoi-sepoi dari arah pantai yang menerbangkan benda-benda di sekitarnya.

Pun daun yang makin berguguran, telah mengering hingga jatuh oleh angin. Seperti judul novel Tere Liye, Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin.

Ines mencepol rambutnya ke atas. Beberapa anak rambut samping yang tak terikat, menjuntai ke leher putihnya menambah kesan manis di sana. Beberapa orang tampak asik bersepeda di pinggiran pantai. Ada yang sendirian, ada pula sepasang anak manusia yang lagi kasmaran. Mereka pasti anak-anak SMA yang sedang cinta-cintanya.

Ah, jadi rindu. Ines membatin.

"Kok masih ada vespa sih di sini?"

Mendengar kata vespa dari mulut wanita di sebelahnya, Ines segera menoleh. Dan benar saja, sebuah vespa biru tengah berputar melewati pepohonan dengan pola zigzag. Motor kuno itu ditunggangi oleh 2 anak remaja yang sedang dimabuk asmara. Si gadis di belakangnya memeluk pria yang mengendalikan vespa.

Tak mau membuang waktu hanya dengan menatap, Disha kembali mengarahkan kameranya ke arah dua sejoli di atas vespa itu. Hasil cekrekannya ia lihat sendiri kemudian tersenyum.

"Mereka so sweet ya, Mbak?" Ujar Disha masih menatap hasil bidikannya. Sementara Ines, kedua bola mata indahnya tak berpindah dari pemandangan romantis itu.

"Iya, mirip."

"Mirip siapa?"

Sontak Ines terperangah mendengar penuturan Disha. Sial! Hampir saja ia keceplosan. Dirinya tak sadar saat mengatakan itu.

Sebab ketika melihat dua sejoli di sana, jujur saja, pikirannya seakan dikembalikan pada masa 6 tahun yang lalu. Masa-masa di mana Ines merengek pada Juan untuk diantar pulang sekolah menaiki vespa biru pria itu. Kendati Juan mendengus dengan wajah datarnya yang terkesan angkuh, pria itu tetap mengantar Ines sampai rumah. Tiap hari, tak pernah absen Ines selalu menunggu Juan di parkiran hanya untuk meminta diantar pulang. Dirinya jadi ingat kala itu di tengah perjalanan pulang, ia asik mengoceh topik A hingga Z. Namun Juan hanya mengangguk, menggeleng, berdeham, atau bahkan diam sebagai jawaban. Pernah pula suatu sore, Ines meminta Juan bermain-main di jalan pintas menuju rumahnya. Jalan pintas yang dikelilingi pepohonan rimbun. Dan persis seperti kedua sejoli di sana, vespa tua itu berlenggak-lenggok memutari pepohonan dengan pola zigzag sesuai permintaan Ines.

Pada saat itu Ines tak tau, apa alasan Juan mau-mau saja menurutinya. Padahal pria itu acap kali menolak dengan tegas pada gadis seangkatannya yang meminta diantar pulang.

Dan hingga kini Ines masih tak tau. Bahwa cinta selalu memiliki cara untuk membahagiakan pasangannya meski cara itu tak mampu dipahami orang lain selain dirinya.

"Mbak Ines!"

"Hah? Kenapa?"

"Kok bengong? Jadi gimana? Yang tadi maksudnya mirip siapa?"

Disha kembali ke mode kepo dan cerewetnya.

"Em, nggak kok. Aku---"

Sial! Lidahnya seketika terselip.

"Apa?"

"Itu... si gadis yang dibonceng mirip teman aku maksudnya."

"Ooh. Kirain mirip siapa. Aku kira yang cowok mirip mantannya Mbak Ines gitu. Jadi kamunya nostalgia, haha." Disha terkekeh tanpa dosa. Tak tau saja bahwa Ines tengah ketar-ketir mendengar ucapannya.

Tapi Disha benar. Ines memang tengah nostalgia. Tapi bukan nostalgia kenangan bersama mantan. Karena dirinya dan Juan tak pernah jadi apa-apa saat itu.

Sayang sekali, kisah indah SMA-nya begitu singkat.

Tapi tak apa, singkat asal melekat. Dari pada mengukir kisah lama tapi tak berakhir sama-sama. Isn't it?

"Diving berani Mbak?"

"Dih, nyari bahaya aja kamu. Aku nggak mau. Dan aku juga nggak izinin kamu menyelam."

"Yah, belum juga bilang." Wajah Disha ditekuk seketika.

"Yaudah snorkeling gimana? Ndak dalem kok, ya? Masa kita disini cuma mau main pasir sama di tepian pantai aja? Mana asik lah, Mbak?" Rengek Disha lagi.

Ines tampak berpikir sejenak. Benar juga yang dibilang Disha. Untuk apa ia sampai sini kalau hanya melihat-lihat seperti ini?

"Boleh, aku juga pengin nyoba. Besok tapi, jangan sekarang."

"Kenapa?"

"Udah mau sore. Nanti kalo butuh apa-apa ribet, Dis."

Si wanita yang merengek tadi hanya mengangguk. Masih asisten baru, baiknya nurut saja.

"Aku laper nih, mau ke resto dekat sini dulu, Mbak. Namanya Sun Osing. Mau nitip ndak kamu?"

"Naik apa?"

Disha menoleh ke kanan kiri, berharap ada alat transportasi yang bisa ia naiki. "Mau nyewa sepeda aja. Deket kok 500 meter, aku abis googling."

"Yaudah, samain kayak yang kamu pesan aja."

Sepeninggal Disha, Ines mengeluarkan ponselnya. Sejak di pesawat tadi, wanita itu sama sekali belum membuka benda pipih tersebut. Sengaja, ia tidak ingin diganggu oleh siapapun. Ia juga tidak ingin mendapat pesan tentang pekerjaan atau apapun untuk saat ini.

Dirinya merasa lebih lega ketika memilih memblokir nomor serta seluruh sosial media Saga. Biasanya, kemana pun ia pergi Saga akan selalu menerornya dengan berbagai macam kata yang sarat akan kekhawatiran. Puluhan panggilan masuk, ratusan pesan spam, dan video call setiap jam. Bayangkan jika Ines tak menutup akses komunikasi dengan pria itu. Entah terasa apa liburannya kali ini. Belum jadi siapa-siapa saja sudah posesif. Gimana kalo udah jadi pacar? Atau bahkan jadi suami? Oh My God, mungkin dia akan dikurung dalam kamar seharian.

Ines lantas berdiri, berniat pindah ke bangku sebelah yang lebih rindang. Baru berjalan selangkah, tiba-tiba dia terjatuh dan lututnya mengenai sebuah batu yang ujungnya lancip. Wanita itu menoleh ke belakang, posisi kedua tangan dan kedua lutut Ines menyentuh pasir pantai dan sebuah batu yang mengganjal.

Ternyata, sleevless floral dress yang ia kenakan tersangkut pada paku di bangku tersebut hingga membuat dressnya robek. Pantas saja sebelum jatuh ia merasa seperti ditahan dari belakang.

Sebuah suara asing mendekatinya. Orang itu menepuk pelan bahu terbuka Ines. Dan-

****

Dan baca di part selanjutnya aja deh😭👍

Dukung cerita ini, stay tuned^^

Tapi tak apa, singkat asal melekat. Dari pada mengukir kisah lama tapi tak berakhir sama-sama. Isn't it?

olistorycreators' thoughts