webnovel

Majikanku Cinta Lamaku

Cinta lama di masa remaja yang masih melekat apik di hati seorang gadis bernama lengkap Wiyana Aqila, membuat dia tak menyangka bisa kembali bertemu dengan pria yang dia cintai. Awalnya dia sangat bahagia kembali bertemu setelah bertahun tahun lamanya mereka berpisah, sayangnya Wiyana tak sempat mengatakan isi hatinya. Sampai di hari mereka bertemu kembali, dia cukup terluka ketika tahu bahwa pria yang dia cintai ternyata telah memiliki anak. "Kamu pria yang sangat buruk, Ken bernasib sial karena mempunyai papa sepertimu!" "Kalau begitu berikan dia perlakuan baik itu," tandas Haidar tiba tiba saja sukses membuat Wiyana gelagapan. Tak pernah terbesit dalam benaknya untuk bekerja di bawah naungan pria yang ia cintai, padahal pria itu sudah melupakan dirinya. Bagaimana kah Wiyana akan menjalani hari harinya? Sanggupkah dia menjalani hari menjadi pengasuh anak dari pria yang cintai? Temukan jawabannya dalam kisah ini.

SinagaKiyowo · Urban
Not enough ratings
392 Chs

Dua Keras Kepala

Pagi pagi sekali Wiyana sampai di depan gerbang tinggi, di mana dia akan bekerja.

Pagi ini Wiyana tampak rapi, gadis itu menghela napas panjang terlebih dahulu.

Setelahnya tangannya terangkat siap untuk menekan bel di gerbang tanpa cela itu.

Belum dia menekan bel, suara berat dan gesekan yang tercipta dari gerbang besi dan aspal terdengar memekakkan telinga.

Wiyana sontak menutup telinga dengan ke dua tangannya, matanya tertutup rapat.

Suara bising dari  gerbang bergantikan dengan suara mesin mobil, tak lama setelahnya sang pengendara mematikan mesin mobilnya.

"Nona!" Pengawal yang malam itu memberikan air pada Wiyana berusaha untuk menegur, agar Wiyana bergeser dari depan mobil.

Haidar menurunkan kaca mobilnya, dia mengangkat telapaknya memberikan kode pada anak buahnya untuk diam saja.

Dan, membiarkan Wiyana sampai sadar sendiri. Maka, anak buah itu menurut.

Haidar kembali fokus menatap lurus ke depan, di mana masih ada Wiyana dengan wajahnya yang berkerut.

"Siapa kamu sebenarnya?" gumam Haidar, harus ia akui.

Semenjak Wiyana memasuki hidupnya, tiba tiba perasaan perasaan aneh yang kerap menganggu dirinya semakin menjadi jadi.

"Saya merasa memiliki kesalahan besar ketika melihat wajahnya," tambah Haidar masih menyorot pada Wiyana.

Sadar kalau tak ada yang terjadi lagi, Wiyana awalnya mengintip dengan satu mata. Lantas ke dua matanya terbuka lebar.

Dia menggerutu, dan langsung menyingkir dari jalannya mobil Haidar.

"Kenapa kamu tidak menyuruh saya untuk bergeser?" protes Wiyana.

Dia merasa seperti orang bodoh karena terus bertingkah di depan Haidar.

Alih alih menjawab, Haidar malah menaikkan kembali kaca mobilnya. Dan, setelah itu dia melesat dari sana tanpa sepatah kata pun.

"Apa pun pertanyaan yang menganggu saya, akan saya cari tau sendiri."

Ya, itu baru namanya Haidar. Dia tak pernah ingin merendahkan sedikit saja harga dirinya dengan bertanya langsung pada orang yang bersangkutan.

Haidar pikir, hal seperti itu akan menurunkan harga dirinya. Yang benar saja.

"Ishhhh, duda satu itu. Ngeselin!" gemas Wiyana sembari menghentak hentakan kakinya ke tanah.

"Mari, Nona!" ajak salah satu anak buah Haidar yang sudah siap di dalam mobil hitam yang sejak tadi terparkir di dekat sana.

"Ke mana?"

"Ke gerbang ke dua," jawabnya sopan.

Wiyana menggeleng cepat, lalu dia membungkuk tubuhnya sembari berkata.

"Saya bisa sendiri, terima kasih."

Dengan itu maka Wiyana langsung berjalan dengan hati yang riang, di sela sela langkahnya dia bersenandung kecil.

Menikmati angin dan udara yang sejuk di pagi itu, udaranya sangat segar dan ini kali pertama Wiyana tidak takut berjalan sendiri di padatnya kebun pinus Haidar.

"Kenapa dia pilih pohon pinus? Bukannya merawat pohon pinus sulit?"

Wiyana melihat sekelilingnya, ternyata berjalan di tengah lebatnya kebun Pinus Haidar tidak terlalu buruk.

Harus Wiyana akui ia menikmati udara segar di sana, hingga dia tak sadar kalau kini sudah sampai di gerbang ke dua.

Belum tangannya menyentuh bel, gerbangnya sudah terbuka secara otomatis.

"Wah, wah wah, kerennnn."

Wiyana kegirangan, hanya karena hal sepele itu. Hatinya berbunga bunga mengingat di mana kini ia berada.

Kakinya membawa ia masuk ke rumah serba kaca itu, tatanannya masih sama.

Tak ingin membuang buang waktu, Wiyana langsung naik ke lantai atas. Di lantai atas dinding tak lagi semua kaca.

Ada beberapa yang terbuat dari batu bata dan menjadi tembok, di sepanjang tembok mulus itu tak ada satu pun foto yang Wiyana temui.

"Hidupnya suram banget, kenapa harus kaku, sih?" protes Wiyana menyayangkan tempat lega di dinding itu.

"Harusnya ada foto di rumah ini, walau cuma satu."

Wiyana menggeleng, dia terlalu lama di sana. Sampai hampir saja melupakan Ken.

Netra hitamnya menyorot pada pintu kamar yang masih tertutup rapat, Wiyana mendekat. Dia buka pelan pelan, terlihat Ken tengah menyisir rambut halusnya di depan cermin.

Wiyana tersenyum bangga, Ken memang sangat tampan bahkan walau hanya dilihat dari belakang saja.

Beberapa saat kemudian, dahi Wiyana berkerut saat sadar kalau Ken menyisir dengan tangan kiri bocah itu.

Dan, tangan kanannya ada di samping tubuhnya terkulai lemas dengan darah segar menetes.

"Astaga, Ken!"

Gadis itu panik, Wiyana refleks mendorong pintu dengan keras. Dia jelas membuat Ken terkejut dan berbalik detik itu juga.

"Ken, tangan kamu berdarah. Jahitannya lepas, kenapa?"

Buru buru Wiyana menyambar kota P3K yang memang tersedia di atas meja rias Ken, padahal kotaknya ada di depan mata Ken.

Namun, bocah itu terlihat tak niat untuk membersihkan lukanya.

"Biar kuliat sebentar, ya!"

Diambilnya tangan Ken dengan penuh kehati-hatian, Wiyana meringis. Telapak kanan Ken membengkak, lukanya pasti terinfeksi karena sejak kemarin Ken melepaskan perbannya.

Itu semua karena papanya yang memerintahkan.

"Aku nggakpapa, Tante." Ken berkata, tapi Wiyana enggan untuk percaya.

Wiyana lihat wajah Ken sudah kian memucat, tak ingin terjadi sesuatu yang buruk.

Ia bawa Ken duduk di atas kasur, dengan cekatan Wiyana kembali menutup luka Ken. Sudah selesai urusan seputar menutup luka.

Baru Wiyana menyentuh dahi Ken, suhu tubuh bocah sebelas tahun itu sangat tinggi.

"Ken, kamu demam."

"Enggak, aku harus sekolah."

Jawaban Ken mendapatkan gelengan kepala dari Wiyana, yang benar saja. Ken sedang sakit, tak tepat rasanya jika harus memaksakan diri untuk pergi sekolah.

Terlebih lagi, sekolah juga tak aman untuk Ken. Mengingat teman temannya yang suka membully dirinya.

"Nanti papa marah...."

Rahang Wiyana mengeras, semuanya selalu karena Ken tak ingin Haidar marah.

"Kenapa kamu nggak mau mengerti, Ken? Kamu lagi sakit, biar aku yang bicara sama papamu, oke?" tegas Wiyana menjanjikan hal itu.

"Tante nggak perlu berbuat hal itu buatku, aku udah terbiasa kuat. Aku nggakpapa," keukeh Ken pantang menyerah.

Ken melirik jam dinding di kamarnya, ia harus berangkat sekarang juga.

Bocah itu bangkit, tak lupa dia membawa tasnya ke punggung. Langkahnya saja sudah sempoyongan, Ken tak bisa mempertahankan keseimbangannya.

Wiyana tak tahan lagi, dia mengikuti Ken sampai keluar dari kamar. Tak henti henti Wiyana meyakinkan Ken untuk tetap istirahat.

"Ken, tolong dengerin aku sekali ini aja!"

Tak segan Wiyana memohon sampai menyatukan ke dua tangannya di depan wajah.

Tak ada respon dari Ken, dia tetap keras kepala terus berjalan menuju luar.

Wiyana tahu Ken tak akan berhenti sebelum mendapatkan persetujuan dari Haidar, maka tanpa pikir panjang Wiyana langsung menelpon Haidar.

Ia tak menghapus kontak Haidar, ketika waktu itu Ken pernah menyimpan nomor papanya pada ponsel Wiyana.

Satu kali panggilan tak diangkat, Wiyana lakukan lagi panggilan. Masih tak digubris, sampai panggilan ke lima baru Haidar angkat.

"Maaf, salah nomor," ucap Haidar ogah ogahan hampir dia mematikan sambungan mereka.

"Ini Wiyana! Wiyana!" seru Wiyana cepat.

Haidar memijat keningnya begimana mendengar suara dan nama itu.

"Ada apa?"

"Ken sedang sakit, saya mau dia istirahat hari ini."

Ken berhenti, samar samar dia bisa mendengar suara papanya sebab Wiyana meloudspeaker ponselnya.

Lima detik tak ada balasan dari Haidar membuat jantung ke duanya terpacu cepat.

"Apa kamu bosnya? Kenapa mengatur saya? Ken tetap harus sekolah, tidak peduli dia sakit atau tidak. Ken tidak boleh ketinggalan pelajaran," kata Haidar telak lalu mematikan sambungan secara sepihak.

Wiyana menggeram kesal, dilihatnya Ken sudah kembali berjalan karena tak mendapat izin untuk berlibur.

"Ken, tunggu! Biar kutemani kamu sekolah, ya?"

"Enggak!" tolak Ken, bocah itu mempercepat langkahnya.

Wiyana ketinggalan jauh, dan begitu di teras. Harapan Wiyana pupus untuk menghentikan Ken sekolah karena bocah keras kepala itu sudah naik mobil.

"Astaga, kenapa dia keras kepala? Enggak, Ken. Kamu nggak boleh sendirian, sekarang aku bakal selalu ada di sisi kamu," tekad Wiyana.

Dia berlari mengejar mobil putih yang sudah keluar dari gerbang pertama dan akan langsung terjun ke jalanan.

***