webnovel

Mahar dari Langit

Sinopsis Mahar dari Langit Putri Langit, gadis Bugis yang cantik dan calon dokter gigi. Anak bangsawan dan pengusaha kaya raya di Makassar, berusaha sekuat tenaga memperjuangkan cintanya. Menerobos kerumitan adat Uang Panai’ yang membelenggu kuat keinginannya untuk bersatu dengan pujaan hatinya. Samudera, pemuda yatim piatu biasa dari kampung terpencil di lereng pegunungan Wilis, Madiun Jawa Timur, dibebani tanggung jawab terhadap banyak hal yang menyangkut kehidupan dan sekolah adik-adiknya., memperjuangkan cintanya habis-habisan demi bisa bersanding dengan Putri. Melewati berbagai tantangan yang tidak mudah. Takdir mempertemukan dirinya dengan Andi Muhammad Langit, ayah Putri, seorang bangsawan yang berpegang teguh pada adat istiadat orang Bugis, di sebuah event raksasa yang mempertaruhkan harga diri, gengsi dan sirri. Andi Hasan, pemuda bangsawan Bugis super kaya yang congkak dan selalu memaksakan keinginannya. Mengejar Putri hingga ujung dunia untuk memenuhi ambisinya mempersatukan kerajaan bisnis yang menggurita dari sektor tambang hingga industri perkapalan. Puang Maharani, Ibu yang semula penurut dan patuh kepada suaminya, berubah menjadi singa betina yang garang agar bisa mempertahankan dan memperjuangkan putrinya dari cengkeraman adat yang bisa merenggut kebahagiaan putrinya. Benturan dan pertentangan antara hidup dan cinta dengan adat istiadat pada masing-masing suku di Indonesia sangat beragam. Namun Uang Panai’ salah satu di antaranya yang sanggup memisahkan cinta menjadi serpihan patah hati dan potongan-potongan duka lara. Perjuangan tak kenal menyerah, do’a-do’a tak lekang dari pasrah, ternyata mampu terbawa hingga pintu langit. Saat Yang Maha Menciptakan Cinta, ikut campur tangan agar pagar berduri dari adat yang bisa melukai, tidak lagi menghalangi bersatunya dua hati. Jakarta, 30 Maret 2024

mim_yudiarto · Urban
Not enough ratings
9 Chs

Bab 8. Rencana-rencana

Lereng Wilis, Awal April 2023

Seharian itu Putri dan Ibunya membantu ibu-ibu dan orang-orang yang sedang rewang persiapan tahlilan. Puang Maharani bahkan ikut ke pasar saat mereka belanja keperluan masak. Wanita bangsawan Bugis itu membayar semua belanjaan hingga hari ke-3 tahlil kematian Ibu Arung. Puang Maharani juga menitipkan sejumlah uang kepada koordinator ibu-ibu untuk anggaran belanja kebutuhan hari ke-7 dan hari ke-40 nanti.

Rewang yang merupakan tradisi orang Jawa yang berarti membantu sebuah acara apakah itu kematian, pernikahan, sunatan, dan lain-lain. Putri tenggelam dengan seketika dalam situasi rewang. Bergabung dengan ibu-ibu mengupas dan mempersiapkan bumbu, memotong ayam, menguliti telur yang sudah direbus, dan menambahkan kayu ke tungku-tungku batu bata yang di buat secara sementara di pinggir rumah. Diatapi oleh tenda ukuran 4 x 6 m agar bisa mengantisipasi jika hujan datang.

Arung tertegun di kejauhan. Acara tahlil hari ke-2 ini lebih megah dari sisi makanan dan berkat. Para hadirin yang datang diberikan makan dan juga cemilan serta disiapkan berkat untuk dibawa pulang. Berkat adalah bingkisan dalam anyaman bambu yang disebut besek, dialasi daun pisang kemudian diisi nasi beserta lauk pauknya. Putri semalam mencoba mencicipi rasa nasi berkat dan Putri harus mengakui belum pernah seumur-umur merasakan makanan seenak berkat. Semalam Putri hanya berpikir secara sederhana, mungkin karena nasi ini didoakan orang banyak dengan tulus hati sehingga rasanya lebih dari sekedar lezat.

Arung menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia harus berterimakasih secara khusus nanti kepada Putri dan Ibunya. Dia tidak membayangkan mereka begitu all out membantu. Kedatangan mereka saja membuatnya kaget bukan main. Kini, mereka malah terlibat langsung membantu sana sini. Arung merasakan jantungnya berdebar aneh. Ini bukan pertama kalinya, tapi ini yang terhebat dirasakannya.

Mata pemuda itu memperhatikan kedua adik perempuannya yang juga ikut sibuk membantu. Mereka berdua tak pernah jauh dari Putri. Saling bicara lalu tertawa bersama-sama. Arung menghela nafas. Masih bingung bagaimana cara agar adiknya tetap bisa bersekolah namun juga kebutuhan makan sehari-harinya terjaga. Tidak mungkin mereka dibiarkan sendiri tinggal di rumah ini. Dia tidak tega menitipkan mereka ke Paklik atau Buliknya. Selain belum tentu adik-adiknya mau, juga karena itu pasti sangat merepotkan. Dibawa ke Yogya juga lebih tidak mungkin. Selain repot dan perlu waktu banyak untuk mengurus kepindahan sekolah, Arung juga bingung di mana Arum dan Sekar bertempat tinggal di Yogya. Dia sendiri kos di kamar petak yang sangat sempit dengan kamar mandi beramai-ramai di luar. Biaya untuk pindah sekolah juga tidak sedikit. Dia mungkin bisa bekerja ekstra untuk mendapatkan uang lebih banyak agar bisa menghidupi adiknya, tapi Arung teringat bahwa dia juga harus menyelesaikan penelitian yang sudah disetujui dosen pembimbingnya. Dia mesti pergi ke Turki selama 2 bulan dan Iran juga selama 2 bulan. Setelah itu butuh waktu sekitar 2-3 bulan lagi menyelesaikan skripsi hingga ujian sidang sampai dia dinyatakan lulus.

Semakin cepat dia lulus maka semakin cepat juga dia bisa mencari pekerjaan sehingga bisa mengurus kebutuhan adik-adiknya dengan baik. Kembali Arung menghela nafas panjang beberapa kali. Dia kebingungan. Sudah jelas Arum dan Sekar adalah prioritas pertama. Lulus kuliah prioritas kedua yang artinya penelitian menjadi prioritas berikutnya. Bekerja adalah prioritas selanjutnya. Barulah berikutnya dia bisa memikirkan percintaan, pernikahan dan lain-lain.

"Kamu sedang memikirkan apa Arung? Arum dan Sekar ya?"

Suara halus itu memasuki telinga Arung seperti musik orkestra saat berada pada puncak refrainnya. Nyaman tapi juga mengagetkan.

Putri duduk di sebelahnya dengan santai sambil memegang sepotong onde-onde. Arung mengangguk. Helaan nafasnya yang panjang sebelum menjawab membuat Putri memahami apa yang sedang memenuhi pikiran Arung.

"Aku sedang memikirkan bagaimana cara memastikan mereka aman. Sekolah yang baik, makan teratur, tempat tinggal yang memadai, dan kehidupan jauh dari hiruk pikuk kota. Mereka masih usia remaja. Aku ingin mereka melanjutkan sekolah di sini. Mereka sendiri sangat menyukai lingkungan rumah dan sekolah di lereng Wilis ini. Hal ini membuatku bingung Put. Mereka adalah prioritasku nomor 1 sekarang."

"Kenapa harus bingung? Kau bisa bawa mereka ke Yogya, bukan?"

Arung menggeleng.

"Tidak mungkin. Mereka mau bertempat tinggal di mana? Kamu tahu sendiri kamar kosku tidak akan muat untuk bertiga. Apalagi mereka berdua anak perempuan. Kos di tempatku kamar mandinya di luar semua. Lagipula cowok semua yang kos. Tidak mungkin Put."

Putri jadi tertarik ingin mengetahui lebih lanjut.

"Prioritas keduamu apa dong?"

Arung memandang heran ke arah Putri.

"Tentu saja skripsi dan kelulusanku Put. Aku ingin segera kerja supaya mendapatkan penghasilan yang pasti. Kebutuhan sekolah serta hidup Arum dan Sekar akan semakin bertambah setiap tahunnya seiring dengan usia mereka. Aku harus mampu memenuhi semua itu supaya mereka tidak merasa kehilangan orang tua."

"Ketiga?" Putri tetap mengejar.

Arung memejamkan mata. Seperti sedang berpikir keras. Putri makin penasaran. Menunggu jawaban Arung.

"Cinta Put. Tentu saja cinta." Arung menjawab tegas.

"Cinta kepada siapa?" Putri sampai pada puncak penasarannya.

Arung membuka mata. Menatap Putri dengan matanya yang setajam elang. Diikuti senyuman misterius. Putri harus mengakui, meski sedikit kurus, Arung adalah jejaka yang ganteng dengan senyum yang sangat menarik.

Arung bangkit berdiri karena Puang Maharani melambai ke arahnya dari tenda depan. Setengah berlari Arung menghampiri. Namun sambil berjalan cepat Arung memandang dalam-dalam ke arah Putri.

"Aku akan mengatakan kepadamu cintaku kepada siapa setelah aku lulus kuliah dan aku akan menyatakan kepadanya begitu aku mendapatkan pekerjaan. Dan aku akan meminangnya paling lambat setelah 5 tahun aku bekerja. Aku janji!"

Putri hanya bengong mendengar kalimat-kalimat Arung. Orang aneh! Tapi hatinya berdesir tak karuan saat Arung menatapnya dalam-dalam tadi. Putri melihat Arung sedang bicara dengan Ibunya. Lebih tepatnya Puang Maharani sedang memberikan instruksi kepada Arung. Putri termenung. Mencoba mencari arti dari tatapan dan ucapan Arung baru saja.

Bibir putri bergerak pelan. Mengeja kalimat pertama Arung; aku akan mengatakan kepadamu cintaku kepada siapa setelah aku lulus kuliah. Itu masih sekitar 6 bulan lagi paling cepat.

Putri terus mengkalkulasi; aku akan menyatakan kepadanya begitu aku mendapatkan pekerjaan. Ditambah 2-6 bulan lagi.

Aku akan meminangnya paling lambat setelah 5 tahun aku bekerja, itu artinya 7 tahun lagi paling lama Arung baru akan melakukan pinangan.

Putri memutus lamunannya. Kali ini suara Ibunya memanggil dirinya. Putri berjalan ke arah Ibunya dan berpapasan dengan Arung yang tersenyum manis kepadanya. Putri berhenti. Menarik lengan baju Arung. Otomatis Arung terhenti dan sekarang berdiri berhadapan dengan Putri.

"Buat apa kamu tersenyum aneh seperti itu?"

Arung terkekeh pelan. Mencoba bercanda sembari menggombal.

"Ya buatmu lah Put. Kepada siapa lagi aku pernah senyum semanis ini kalau bukan untukmu." 

Putri tersenyum senang. Namun tiba-tiba menarik kembali lengan baju Arung yang hendak mulai berjalan lagi. Tarikan kali ini lebih keras dari yang pertama. Putri menggunakan tenaga sepenuhnya karena didasari oleh rasa gemas dan penasarannya yang belum terpuaskan.

Arung nyaris terjungkal tapi berhasil memperbaiki keseimbangan tubuhnya. Memandang Putri dengan tatapan bertanya. Putri bersedekap dengan mata mendelik dan bertanya tegas kepadanya. Panjang lebar tanpa jeda.

"Aku akan mengatakan kepadamu cintaku kepada siapa setelah aku lulus kuliah. Aku akan menyatakan kepadanya begitu aku mendapatkan pekerjaan. Aku akan meminangnya paling lambat setelah 5 tahun aku bekerja, siapa yang kau maksud nya di situ??"

Arung menggelengkan kepala kesal sambil menghela nafas panjang. Hadeuh, dasar gadis keras kepala dan gak sabaran.

Kembali matanya yang tajam menyambar tatapan Putri yang alisnya berkerut cukup dalam menunggu jawaban.

"Tentu saja kamu Put. Siapa lagi?"

********