webnovel

Satu

#Draft #AbadKejayaanIslam

Andai langit adalah penyair,

Dialah puisi yang ditulis itu.

Tidak ada yang seindah dirinya,

tidak ada yang boleh menyentuhnya.

Jika ada yang menyentuhnya maka mereka akan hangus karena menyulut api. Api itu adalah diriku, Shahenshah.

Kata-kata dari sepupunya itu membuat hati Ruqaiya bergetar hebat. Laki-laki itu dijuluki dengan Asad: singa. Dengan lantang dia berujar demikian dalam persidangan ketika hari itu. Ketika putri dari pangeran terkenal setanah Persia ditimpa skandal.

Ketika itu, datanglah seorang pemuda dari Hindu Kush, seorang pangeran yang mengajukan lamaran kepada sang putri demi memperkuat daulah kesultanannya. Sang putri menolak dengan halus. Hal itu ia katakan pada ayahnya.

"Amirah-ku menolak wahai Shehzade Rashid."

Demikianlah kata ayah si anak perempuan.

Meskipun pangeran dari Hindu Kush tersebut berkata bahwa ia berlapang dada menerima keputusan dari penguasa Khorasan, tetapi ada rencana hitam yang telah ia persiapkan untuk mempermalukan sang putri.

Maka malam itu, ketika keberangkatan menuju Hindu Kush, ia sengaja membuat siasat untuk bisa ditemui oleh putri satu-satunya dari Shahenshah Amir. Ia berhasil karena sang putri berhasil dibawanya ke perbatasan, tetapi pangeran Rashid tidak mengetahui bahwa Asad-ul Amirah juga mengikuti dari belakang.

"Saya tidak ingin menimbulkan fitnah, Shehzade. Bisakah Anda mengatakan hal penting itu di sini saja?"

Seketika itu juga, niat buruk Shehzade Rashid terkuak. Ia hunuskan pedang kebanggaannya tepat ke khimar sang putri, sehingga tersingkaplah rambut kepala yang panjang nan hitam lagi ikal mayang. Wangi mawar dari rambutnya hampir membuat si pangeran lepas kendali.

"Masyaa Allah! Kau benar-benar harus kumiliki, Shehzadi!" ucap pangeran itu dengan tatapan penuh hasrat membara.

"Terkutuklah engkau dengan melibatkan Allah dalam ucapan dan pandangan hinamu, Shehzade!" hardik putri bangsawan Khorasan itu.

Mendengar hardikan pemilik nama asli Ruqaiya binti Amir tersebut, Asad langsung bergegas menghampiri. Ia halau pedang milik Shehzade Rashid yang masih bertengger di kepala Shehzadi Ruqaiya.

"Jangan lupa, Hindu! Api Majusi pernah padam ketika Rasulullah Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam dilahirkan! Aku akan menjadi api yang lebih mengerikan daripada api para Majusi terdahulu jika sedikit saja putri Shahenshah Amir kau perlakuan dengan tidak senonoh!"

Pangeran Rashid tertawa sumbang dan mengatakan bahwa perempuan yang tengah dibela oleh Al-Asad adalah seorang perempuan pezina.

"Bangsawan suci yang kau hina ini adalah putri Shahenshah, Bodoh! Kau akan dihukum berat!" amarah Al-Asad memuncak.

Sepupu sekaligus teman kecilnya dituduh keji dengan mengatakan telah melakukan zina, adalah pemicunya.

Kavaleri Khorasan beserta infanteri dibawah kawalan Shahenshah sendiri kini berada tak jauh dari mereka. Seringaian yang ditunjukkan oleh pangeran Rashid memperjelas, bahwa ini salah satu dari rencananya.

Ada asumsi yang mengatakan karena Hawa-lah makanya Adam memakan buah terlarang dan akhirnya dibuang ke bumi oleh Allah. Sungguh buruk perkataan orang yang berujar demikian padahal ia mengetahui kebenarannya. Sementara yang tidak tahu, maka diwajibkan untuk mencari ilmu pengetahuan tentang hal itu.

Ada persamaan yang menonjol dari kejadian yang dimusibahkan kepada Ruqaiya dan sepupunya yang bernama asli Akbar Azam dan julukannya adalah Asad. Yakni asumsi yang salah dan dua golongan. Golongan tidak tahu tapi menyalahkan, dan golongan yang tahu jelas tetapi menyangkal.

"Semua yang dikatakan panglima Akbar adalah kebohongan, Shahenshah. Shehzadi Ruqaiya pun ikut-ikutan membela. Jangan Anda termakan ilusi dua kerabat Anda. Bukankah keadilan harus ditegakkan?" demikian kata Rashid saat di pengadilan.

"Dengar! Jika dunia ini saja ilusi, Yang Mulia ... maka ilusi mana lagi yang bisa menjebakku?" tegas Shahenshah Amir. Matanya tajam menatap Rashid.

Pangeran dari Hindu Kush itu tercengang. Pikirnya ia bisa melakukan propaganda, nyatanya yang dikatakan oleh orang-orang bukanlah bualan atau isapan jempol belaka yang menggatakan bahwa Shahenshah seluruh tanah Persia adalah seorang yang luar biasa ilmunya.

Dengan itu, ia diberi dua pilihan karena lancang terhadap putri kaisar Persia dan telah berani berdusta di depan pengadilan suci Khorasan.

Yang pertama: Rashid akan dibiarkan pulang ke Hindu Kush dan setiap bulan memberi jizyah kepada Khorasan sebanyak seratus ribu dinar emas selama setahun penuh, dan tahun berikutnya hanya seribu Dinar saja.

Yang kedua: Penjara seumur hidup setelah sebelumnya tangan yang digunakan untuk melecehkan putri Ruqaiya dengan merusak kerudungnya dipotong, itu pun menggunakan pedang milik Rashid.

Sungguh, pilihan kedua adalah pilihan yang tidak akan pernah Rashid terima, karena itu dia terpaksa memilih pilihan pertama demi kelangsungan hidupnya.

****

Setelah keputusan tersebut, Wazir Agung Khorasani bermusyawarah dengan sultannya. Demikian pula ikut keponakan sang sultan, Akbar.

Wazir Agung menilai bahwa seribu dinar itu lebih baik dibandingkan seratus ribu karena bisa saja nanti pihak luar mengatakan bahwa Shahenshah Amir adalah orang yang sangat kejam dan cinta dunia.

"Apakah menurutmu, aku tidak mengetahui apa-apa, Wazir Agung?" tanya Shahenshah Amir penuh wibawa.

Ruangan yang dipakai untuk mereka bertiga melakukan diskusi menjadi hening.

"Ampun Baginda. Segala kekuasaan Persia adalah milik Anda setelah milik Allah. Sesungguhnya bukan itu yang saya maksudkan."

"Aku tahu maksudmu, Wazir Agung." Shahenshah menjawab tenang. "Akan tetapi dirimulah yang tidak tahu apa yang aku rencanakan."

Wazir Agung tersebut berpikir sejenak. Ingin ia tanyakan lebih lanjut, tetapi lidahnya kelu untuk sekadar mengeluarkan kalimatnya.

"Seratus ribu dinar itu akan aku sumbangkan untuk korban kekejaman para salibi laknatullah. Baik korban yang dari pihak muslim, maupun yahudi atau di luar Islam."

"Paus Urbanus II akan menjadi bahan bakar di Jahanam nanti menemani kafir harbi lainnya. Dialah pengusung perang Salib!"

"Aamiin. Dia memang bersama kaumnya di tempat yang sejelek-jeleknya. Itulah janji Allah." Akbar ikut menanggapi.

"Sungguh memang Allah muliakan Islam dan para penegak keislaman. Baginda, maafkan saya atas ketidak tahuan saya."

Shahenshah Amir tersenyum menanggapi perkataan wazir agungnya.

*******

Kesultanan yang dipimpin oleh Rashid tidak lagi mengirim pajak pada Khorasan di bulan ketiga. Ketika dikirimi surat oleh Shahenshah, mereka malah membalas dengan sombong yang isinya menantang seluruh pasukan Persia.

"Persia pernah memenangkan pertarungan dengan bangsa Romawi! Dan orang-orang Hindu ini berani menantang kita?! Kebodohan nyata!" geram Wazir Agung ketika selesai membacakan surat berisi tantangan itu untuk sultan.

"Kirimkan Akbar Azam bin Rukhshahdin untuk mengambil Jizyah ke Hindu Kush!" perintah Shahenshah tegas.

"Tapi, Shahenshah ... tidakkah kita mengirimkan Salman Husain saja? Dialah panglima tertinggi kita. Yang kita hadapi adalah Hindu Kush. Keponakan Anda terlalu pasif, dan saya meragukan dirinya. Sebagai Wazir Agung, saya memberi masukan saja."

"Memang ombak bisa membuat riak, tapi samudra selalu tenang di permukaan. Jika samudera itu membuat satu riak kecil. Maka tak ada yang bisa bertahan dari itu." Shahenshah Amir menanggapi perkataan wazir agung kesultanannya. "Jangan karena diamnya dia, dianggap sebagai kelemahan. Bahkan dalam agama rahmatan lil'alamin adalah sebuah dosa jika memandang rendah seseorang, bukan begitu?"

Wazir Agung tersebut tidak lagi menanggapi. Sultan Amir memiliki kemampuan, pandangannya luas dan bijaksana. Jika ada yang paling genius di daratan Persia, maka Amir Abdullah bin Muhammad Qasim adalah jawabannya.

"Nazaruddin!" Shahenshah Amir memanggil nama Wazir Agung Khorasan tersebut.

"Baginda," jawabnya.

"Bagaimana menurutmu jika aku menikahkannya dengan Amirah-ku kalau dia bisa mengemban tugas ini?"

Mulut Nazaruddin membuka, tapi tak ada suara yang ia keluarkan. Menjadi suami dari Putri Zainab Ruqaiya binti Amir Abdullah bin Muhammad Qasim bin Ibrahim Idris artinya menjadi calon pengganti sultan.

****

Shahenshah memanggil Akbar untuk menemuinya di ruang persenjataan. Ia tahu benar jika sultan Khorasan memilihi dirinya untuk menagih jizyah ke Hindu Kush.

"Perangi mereka jika menolak!" tegas Shahenshah.

Akbar sang asad mengangguk.

"Jika engkau menang, maka kuhadiahkan engkau sesuatu yang tak pernah kau bayangkan. Namun, jika kau tidak berhasil maka sepupumu menjadi taruhannya."

"Aku tidak mengerti maksud Anda, Paman."

"Zainab Ruqaiya putriku akan menjadi istri keempat orang yang tak berhasil kau kalahkan."

Akbar paham kemana arah pembicaraan adik laki-laki ibunya.

"Saya permisi, Paman."

Laki-laki dengan jubah kesultanan berwarna hitam tersebut mengangguk dan mengarahkan tangannya ke depan, mempersilakan.

Setelah kepergian Akbar, putri bungsunya memasuki ruangan itu.

"Apa maksud Ayah? Ayah akan menyerahkan diriku pada orang keji itu?"

"Assalamu'alaikum, Amirah."

Tanpa memedulikan protesan anak perempuannya, ia mengucapkan salam pada Zainab Ruqaiya.

Ruqaiya tersipu malu,tersadar dari kesalahannya. Lalu sesegera mungkin ia menjawab salam ayahnya.

"Duduklah di atas kursi kayu dekat tombak yang bertuliskan nama ayahmu, Amirah."

Ruqaiya menurut. Ia tak mempermasalahkan dialog yang ia curi dengar tadi.

Amir Abdullah bin Muhammad Qasim tersenyum pada putrinya. Tiba-tiba air matanya mengalir deras. Melihat ayahnya menangis, Ruqaiya langsung menghampiri dan bertanya sebab dari tangisan itu.

"Melihatmu, ayah jadi teringat dengan ibumu ... Maryam-ku."

Ruqaiya langsung merengkuh ayahnya ke dalam pelukannya. Seorang Shahenshah Agung menangis karena merindu istrinya yang telah tiada, padahal jika saja perutnya tertusuk tombak hingga menembus, niscaya bahkan tak ada keluhan yang ia keluarkan dari lisannya.

"Jangan menangis, Ayah. Harusnya akulah yang menangis karena dijadikan bahan taruhan."

Shahenshah terkekeh kecil sambil melepaskan pelukan mereka. Ia perhatikan putrinya lamat-lamat sambil menghapus jejak air matanya.

"Aku menyayangimu, Nak. Bagaimana mungkin engkau mempertanyakan keputusan yang ayahmu lakukan? Mana mungkin separuh dari diriku kuberikan pada serigala. Jika aku akan menyerahkan dirimu, tentu pada singa."

"Hah? Maksud Ayah?"

Mata Ruqaiya berbinar. Sekarang ia tahu apa yang ada di kepala ayahnya.

"Dia adalah Asad-ul Amirah, Anakku."

Sederet kalimat sederhana Amir bin Muhammad Qasim memiliki makna mendalam.

*****

Tiga hari kemudian, Akbar membawa kemenangan dengan dibayarnya jizyah sepuluh kali lipat dari perjanjian. Ia mendapatkan bayaran ity tanpa mengangkat senjata pada Hindu Kush. Hal itu membuat takjub semua punggawa kesultanan.

Namun, tampaknya hanya sang sultan saja yang sudah memprediksikan kejadian ini. Ia memberikan senyuman berwibawanya ketika menyambut keponakannya dari atas kuda hitam yang diberinya nama Khan. Memang hanya Akbar yang memberi nama kuda seperti nama manusia.

"Hadiahmu adalah putriku," demikian kata Shahenshah Amir.

Memerahlah muka Akbar. Semua punggawa yang hadir dan mendengar itu tak kalah terkejut, tetapi keputusan sultan adalah kemutlakan dan tidak bisa dibantah. Sebab, dia bukan hanya bertindak sebagai sultan tetapi juga seorang ayah.

"Setelah membersihkan diri, datanglah kau ke perjamuan. Kita akan melakukan ijab kabul."

Akbar menyanggupi dan memberikan salamnya juga gestur penghormatannya. Wajahnya tampak berseri, di samping wajah kebingungan para punggawa kecuali Wazir Agung pastinya.