Seorang wanita berambut hitam panjang berjubah merah jambu tampak sedang asyik meniup serulingnya di dalam sebuah kuil dengan sungai di bawah jembatan kuil tersebut dan sebuah kolam di belakangnya. Bersama wanita tersebut, tampak dua orang lelaki paruh baya berkepala botak; satu berkepala lebih lonjong dari yang lain, sedangkan satunya mengenakan topi berwarna hitam dan sedang menulis di buku catatannya.
"Tak kusangka Bishamon mengkhianati persahabatan kita karena satu ramalan saja." Kata lelaki paruh baya bertopi itu. "Hanya karena yang menutup gerbang Yomi(Underworld) bukan lagi dirinya, bukan berarti posisinya akan digantikan."
"Juroujin, Bishamon itu Dewa Perang—mewakili Martabat dan Harga Diri." Kata lelaki paruh baya berkepala lonjong yang sedang bersemedi. "Dia sangat benci untuk kalah dari perempuan, atau saat reputasinya sebagai dewa dihina oleh para penyembahnya. Kau seharusnya lebih tahu tentangnya daripada aku."
"Aku tahu, Fukurofuju. Tapi bukan berarti harus dengan kerjasama dengan Susano'o dan membunuh setiap perempuan yang ada di negeri ini." Pria yang dipanggil Juroujin itu meletakkan pena bulu itu perlahan, lalu menghela napas panjang. "Aku selalu percaya semua makhluk di dunia ini bodoh, tapi Bishamon adalah dewa terbodoh yang pernah kutemui."
Di tengah permainan seruling yang mengalun merdu di tengah malam, langit berubah mendung dan wanita itu sepintas melihat sesuatu yang mengambang di sungai.
"Um, teman-teman..."
Ucapan wanita itu tak digubris oleh dua lelaki tersebut.
"Semua makhluk di dunia ini bodoh? Apa maksudmu berkata begitu?" Pria yang dipanggil Fukurofuju itu kesal mendengar ucapan Juroujin.
"Kau tahu sendiri. Kita berdualah yang hidup paling lama, menyaksikan satu kejadian bodoh setelah kejadian bodoh lainnya sejak bumi ini tercipta."
BLETAKK!
Seruling bambu itu menghantam keras kepala kedua pria yang sedang bertengkar tersebut.
"BENZAITEN!" Sahut Fukurofuju dan Juroujin serempak seraya mengusap kepala mereka.
"Kalian para Dewa Kebijaksanaan terlalu sibuk berargumen, ada perempuan sekarat di sungaiku dan kalian tak peduli!" Wanita yang dipanggil Benzaiten itu menunjuk seorang wanita manusia yang terdampar di bibir sungainya dalam keadaan sekarat.
Fukurofuju beranjak dari tempat duduknya, melihat wanita yang tampak sekarat itu.
"Juroujin, sepertinya yang ini bertahan dari hantaman nasib buruk Bishamon. Kau yakin ini orangnya?"
Juroujin terbelalak, kemudian perlahan berjalan menghampiri Fukurofuju sambil melepas topinya.
"Demi wajah tampan Izanagi, dia datang sebagai harapan terakhir kita."
"Tapi, wanita ini tidak tampak seperti wanita darah biru yang diramalkan. Usianya terlalu muda, belum lagi dia seorang..." Ucapan Benzaiten terhenti ketika petir mulai menyambar.
"...Gaijin?" Kata Juroujin. "Setidaknya ini lebih baik mengingat Bishamon dan Susano'o...kau tahu, MEMBUNUH SEMUA WANITA?"
"Kalau begitu cepat kita bawa masuk sebelum Susano'o dan Bishamon da—"
JEGEEEEEEEEEEEEEEEEEER!
Petir kembali menyambar dengan beruntun, membuat mereka tak sadarkan diri—kecuali Fukurofuju yang mencoba bertahan dari serangan petir tersebut. Sayup-sayup, kedua matanya melihat Susano'o membawa pergi Juroujin yang tak sadarkan diri dan Bishamon yang merapal mantra dan memegang tangan wanita berambut coklat yang terdampar itu. Tubuhnya bereaksi dengan kejang-kejang seiring ukuran dadanya yang besar perlahan semakin mengecil, namun belum sempat melihat yang terjadi selanjutnya, pandangannya semakin buram hingga hanya kegelapan yang tersisa. -
.
.
"Ibu, aku tak suka gaun pesta!"
"Tapi seorang Putri harus tampak seperti wanita terhormat!"
"Seorang putri harus patuh pada orang tuanya. Setelah menikah, seorang Putri harus melayani suaminya dengan baik!"
"Seorang Putri harus bertingkah anggun!"
"Aku perempuan dan aku manusia, BUKAN PABRIK ANAK!"
.
.
Piip! Piip! Piiiii—
BRAK!
Ugh, aku benci alarm di pagi hari. Aku benci mimpi buruk itu terulang lagi. Sudah kesekian kalinya aku menghadapi mimpi itu. Namun semakin hari, mimpi itu tampak semakin jelas.
Kucoba lagi mengingat pertengkaran-pertengkaran dengan ibuku. Sebuah kenangan yang pahit, namun aku merasa lega ingatan itu kian memudar. Aku tak mau mengingat lagi kenangan bertengkar dengan ibu kolot yang tuli.
Mataku masih termaram, sulit untuk dibuka. Aku beranjak dari tempat tidur, dengan keadaan merangkak seraya meraba sekeliling untuk memastikan aku tak menabrak tembok.
Hingga kemudian, tanganku meraba sesuatu yang bundar—sepertinya sebuah wastafel. Aku mencoba menyangga diriku untuk berdiri, masih dengan mata tertutup.
JDUK!
Kepalaku terantuk bibir wastafel. Mungkin karena jarak wastafel dengan lantai terlalu kecil, atau tubuhku terlalu besar. Menurutku, mustahil jika tubuhku cukup besar untuk terantuk wastafel yang jaraknya tak seberapa dari lantai.
Atau demikian yang kupikirkan.
Aku berhasil berdiri tegap dengan tangan memegang wastafel. Langsung saja kunyalakan keran air untuk membasuh mukaku. Pagi ini, aku pikir mataku buta total, hingga mataku menatap cermin dan yang ada di hadapanku sekilas seperti raksasa.
Dan dimulailah adegan video klip "Big Enough" bersama Jimmy Barnes. Ya, bagian bayangan di gunung itu. Itu Jimmy Barnes.
"AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAH!"
Refleks, aku jatuh terduduk di kamar mandi yang berasal dari antah berantah dan entah bagaimana aku tinggal di dalamnya.
"AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAH!"
Astaga, kenapa dengan suaraku? Kenapa aku teriak seperti Hugh Jackman di seri film Wolverine? Kenapa tanganku besar sekali? Kenapa dadaku rata?
Aku tak tahu apa yang terjadi. Apakah aku baru saja bermimpi? Siapa raksasa yang kulihat sekilas tadi?
Aku kembali berdiri menghadap cermin dengan perlahan karena takut. Kulihat lagi pantulan bayangan cermin itu. Raksasa itu adalah lelaki berambut cokelat dengan mata yang kebiruan. Tangan kiriku memegang wajahku dan bayangan itu mengikutinya.
Aku pasti masih bermimpi atau berhalusinasi. Lelaki itu bukan aku. Seseorang mungkin sudah meracuniku.
Tak lama kemudian, sosok lain muncul di cermin. Empat orang lelaki tua dengan tampang aneh dan seorang wanita berjubah merah jambu. Kepalaku perlahan menoleh ke sumber pantulan bayangan itu.
"AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAH!"
"Jangan takut. Kami tak bermaksud menyakitimu." Kata seorang lelaki pendek bertopi hitam dan berwajah lebar.
"AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAH!"
"Jangan teriak terus. Mukanya jelek, hahaha..." Kata seorang biksu gendut bertelanjang dada sambil tertawa.
"AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAH!"
"Bagian mana dari "jangan takut" dan "jangan teriak" yang tak kau pahami?" Kata seorang lelaki paruh baya berkepala lonjong mulai kesal.
"SEMUANYA!" Aku masih berteriak histeris.
"Sepertinya dia takut melihat kalian." Kata sang wanita berjubah merah jambu. "Sebaiknya kalian lakukan sesuatu."
"HOHOHO, aku punya ide!" Pria bertopi hitam yang memegang kail pancing menghentakkan kail pancingnya. "Sebaiknya kita berubah menjadi sesuatu yang sedikit membuatnya nyaman."
"Aku pikir semua orang menyukai bentuk kita yang sekarang. Bahkan anak-anak menyukaiku." Kilah si biksu gendut.
"SESEORANG TOLONG KELUARKAN AKU DARI MIMPI BURUK INI!" aku masih berteriak histeris karena sosok menyeramkan yang ada di hadapanku. Entah harus mengadu dengan siapa karena aku bisa jadi berada di tengah antah berantah.
"Baiklah. BAIKLAH!" sahut pria berwajah lebar. "Kami akan berubah mengikuti keinginanmu agar kau diam."
Masih menatap dengan penuh rasa takut, aku mengangguk pelan.
Lelaki paruh baya tersebut menghentakkan tongkatnya.
BWOSH!
Kepulan asap menyelimuti mereka berlima. Seiring asap memudar, mereka sudah tampak berbeda.
Tiga pria yang tadi tampak menakutkan kini berubah menjadi tiga pemuda tampan: Satu bertopi putih dan berseragam seperti seorang koki, satunya berpakaian seperti pedagang ikan, yang terakhir berjubah putih dan berambut panjang. Si biksu gendut masih belum berubah banyak, begitupun dengan sang wanita berjubah merah jambu.
"Bagaimana?" Kata wanita itu.
Aku meneguk ludah. Mata masih terbelalak. Perasaanku tercampur antara kaget, penasaran, dan ketakutan. "Sedikit lebih baik, meskipun aku punya banyak pertanyaan." Ucapku lirih. "Siapa kalian? Dimana aku? Apa yang terjadi semalam? A-apa yang terjadi padaku?"
"Whoa, pelan-pelan, Tuan." Kata wanita berjubah merah jambu. "Kami juga menghadapi masalah disini."
"Kau panggil aku apa?" Aku memicingkan mata pada wanita tersebut. "Aku bukan "Tuan". Namaku—"
"Marie Elizabeth Bennett, Putri kerajaan Bellagia." Ucap lelaki berambut panjang menyela ucapanku. "Gadis itu sudah meninggal karena kecelakaan mobil dan tenggelam di Sungai Kanda. Apartemen ini satu-satunya tempat kami bisa mengamankanmu."
"Meninggal? Aku masih disini! Bangun dengan... Semua ini." Aku menggerakkan kedua tanganku.
"Kau mengisyaratkan seluruh tubuhmu."
"TEPAT SEKALI!"
"Kami bisa menceritakan awal mula kejadiannya, tapi kau seharusnya mengizinkan kami memperkenalkan diri." Pria berseragam koki menghampiriku, kemudian membungkuk. "Namaku Daikokuten, Dewa Kemakmuran. Mewakili keharmonisan rumah tangga dan dunia kerja."
Tak lama berselang, pria berseragam pedagang ikan ikut menghampiriku. "Aku Ebisu, Dewa Kejujuran dan Perikanan. Seperti yang kau lihat, aku mewakili para nelayan dan semua kekayaan laut."
"Aku Fukurofuju, Dewa Umur Panjang." Pria berambut panjang di hadapanku akhirnya memperkenalkan dirinya. "Selain usiaku yang lebih tua dari dunia ini, aku punya kemampuan menghidupkan yang sudah mati."
Wanita berjubah merah jambu mengeluarkan serulingnya, kemudian berkata, "Aku Benzaiten, Dewi Cinta dan Hasrat. Aku mewakili para seniman, pujangga, dan musisi."
"Kau... Aku pernah melihatmu. " mataku kembali tertuju pada biksu gendut yang bertelanjang dada. "Kau pasti si patung Buddha yang mirip badut ulang tahun, 'kan?"
"Hohoho, itu agak menghina, Tapi kau benar. Namaku Hotei, Dewa Kebahagiaan. Sebagian orang memanggilku Budai." Si biksu gendut bernama Hotei hanya tertawa dengan santai. Entah apakah dia juga titisan sinterklas.
"Kami adalah Tujuh Dewa..."
"Ehem..." Benzaiten berdehem pada Hotei.
"...dan Dewi Keberuntungan. Kau beruntung masih berada di Tokyo, Tuan Muda."
"Aku bukan Tuan!" Ucapku ketus. "Lagipula, kalian hanya berlima. Ucapan kalian masih belum masuk akal untukku."
Fukurofuju kemudian menceritakan seluruh kejadian bagaimana Bishamonten—Dewa Perang dan mewakili harkat martabat para ksatria, mengkhianati mereka dan menculik Juroujin—Dewa Kebijaksanaan hingga sampai pada bagian bagaimana aku berakhir dengan keadaanku sekarang.
"Semuanya masih sangat tak masuk akal." Aku menggeleng pelan, kemudian tertawa kecil. "Tidak ada yang namanya Dewa-Dewi Keberuntungan. Semuanya butuh usaha dan kerja keras. Seseorang pasti meracuniku dengan obat-obatan hingga melihat semua halusinasi ini."
"Ini bukan halusinasi, Tuan Muda. Waktu itu kau hanya sekarat—belum sepenuhnya mati." Fukurofuju menggeleng kepalanya sembari tersenyum.
"Terserah katamu. Aku hanya akan meraba tubuhku lagi, lalu mencubitnya dan semua ini takkan terjadi. Aku akan kembali terbangun dari semua halusinasi ini, kembali menjadi seorang perempua—"
Tanganku tak sengaja mencubit sesuatu di antara kedua kakiku. Cubitan itu menghasilkan rasa sakit yang aneh.
"AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAH!"
"Astaga, dia mulai lagi." Daikokuten memijit keningnya.
"Itu sakit, dan kalian masih disini, dan aku...aku..."
Aku hanya mampu meringkuk dan memegangi kepalaku. Semua kejadian ini tak masuk akal. Mungkin mereka benar bahwa aku telah dikutuk menjalani hidup seorang pejantan untuk selamanya. Bagaimana dengan pekerjaanku? Teman-temanku? Keluargaku? Seluruh hidupku yang telah musnah?
"Aku tahu kau ketakutan." Kata Ebisu. "Kapal yang menjadi satu-satunya kendaraan kami juga sudah dimusnahkan. Kami akan terjebak disini bersamamu."
"Apa ada yang lebih buruk? Apakah aku akan benar-benar mati setelah ini?"
"Meninggal tanpa nama dan terlupakan. Setidaknya, itu yang diinginkan Bishamon saat menaruh kutukan padamu." Daikokuten melipat kedua tangannya.
"Atau mungkin..." Benzaiten perlahan menghampiriku, kemudian meletakkan tangannya di pipiku. Aku bisa merasakan dingin dari nafasnya yang menyentuh leherku. "Bishamon lebih menginginkanmu bertarung selayaknya seorang pria. Dia sangat benci untuk kalah dari seorang wanita, terutama jika reputasinya di langit sedang dipertaruhkan."
"What a misogynist son of a bitch." Ucapku menggunakan Bahasa Inggris dan mendorong tangan Benzaiten.
Dewa Perang yang tak menyukai dirinya dikalahkan seorang wanita? Pikirannya kolot sekali.
Lelaki rambut panjang itu kemudian menceritakan seluruh kronologi kejadian dari saat mereka menyelamatkanku ke tempat ini hingga baaimana aku bisa dikutuk. Atau, kira-kira seperti itu garis besarnya.
Kemudian, aku tersadar bahwa aku lupa dengan pertanyaanku yang lain. Aku masih sedikit mengingatnya dengan samar.
"Jika aku dikutuk untuk melawannya sebagai sesama lelaki jantan dan ingatanku akan terus memudar, kenapa pikiranku masih menganggap kalau aku bukan lelaki jantan?"
"Karena kami masih membutuhkan kesadaranmu untuk memenuhi ramalan itu. Kami berusaha menyelamatkan sebanyak mungkin ingatanmu, namun kutukan yang ada di tanganmu memberikan berita baik dan berita buruk." Jelas Fukurofuju sambil memberikan sepasang headphone berbentuk kotak dengan warna keperakan. "Kau mau dengar berita buruknya dulu?"
"Apa ini? Apa berita buruknya?" Ucapku penasaran.
"Berita buruknya, kutukan itu juga menghisap jiwamu. Alat ini adalah sisa-sisa dari kapal kami yang bisa kami selamatkan untuk menjagamu tetap hidup. Ingatanmu tetap akan terus memudar dan ingatan semua orang tentang dirimu, bahkan masa lalumu juga sudah tiada. Tak ada lagi alasan untukmu bisa kembali pada kehidupanmu yang lama."
"Maksudmu tidak ada... Bahkan jika aku bisa berubah kembali, mereka takkan ingat padaku? Aku hanya akan menjadi...orang asing?"
Mereka berlima dengan berat hati mengangguk pelan. Kutukan ini tak memberiku jalan untuk kembali. Semuanya masih sulit untuk dipercaya, namun aku sudah berada di negeri yang asing dan semuanya sudah begitu asing di pikiranku. Dan sekarang, para Dewa akan terjebak disini bersamaku. Mereka tak bisa kemana-mana tanpa kapal mereka.
"Berita bagusnya, kau bisa memulai hidup baru yang sudah kami siapkan untukmu. Kau bisa berubah kembali kapanpun kau berada di rumah atau di ruang ganti pakaian dengan alat ini, karena sekarang kau adalah pahlawan super!" Hotei duduk bersila untuk menghiburku.
Pahlawan super? Dunia ini semakin gila setiap menitnya. Aku? Gadis urakan? Menjadi pahlawan untuk para dewa-dewi Jepang? Yang benar saja.
"Jika aku pahlawan super, apa kekuatanku?"
"Ah...kami belum berpikir sampai kesana." Daikokuten garuk kepala.
"Tentu saja sudah!" Bantah Benzaiten. Ia kemudian menyerahkan padaku dua kotak kartu remi.
"Kartu remi? Maksudmu, aku memakai sulap sebagai kekuatanku?"
"Aku tahu kau menyukai dunia sulap. Itu juga termasuk seni." Kata Benzaiten. "Kau punya kekuatan memurnikan hati manusia dari setan yang merasuki mereka dan memberikan kebahagiaan yang tak bisa kami berikan."
"Dan alat berbentuk kotak yang ada di tanganmu bisa membantumu berkomunikasi dengan kami." Kata Daikokuten. "Selain memberi kemakmuran, aku juga mengawasi dan menangkap setan. Kau akan butuh aku untuk melacak keberadaan mereka."
Semua mata kemudian tertuju pada Daikokuten.
"Kenapa?" Daikokuten memasang wajah tak berdosa. "Semua pekerja bisnis dan petani butuh pekerjaan sampingan."
"Astaga, kenapa aku malah bekerja mengusir setan untuk kalian?" Aku menggeleng kepala. "Tunggu dulu, kalian sempat mengatakan sesuatu tentang memulai hidup baru."
"Yang sudah kami siapkan." Ebisu tiba-tiba saja membawa sebuah buku di tangannya—buku pasporku.
Aku mengambil paspor tersebut, kemudian membuka isinya. Semua identitasku kini sudah berbeda, bahkan wajahku tak terlihat seperti diriku lagi. Hingga kemudian aku membaca kembali identitasku pada paspor itu.
Hening.
"... Marcus... Thomas... Flynn? Tiga nama depan sekaligus?"
"Yang itu juga kami sudah berpikir keras. Kami orang Jepang masih tak terbiasa dengan ejaan alfabet. Ehehe..." Hotei mengusap kepala botaknya.
"Tidak apa-apa. Kalian sudah berusaha menjagaku tetap hidup sudah awal yang bagus."
APA YANG BARU SAJA AKU KATAKAN?
"Kami akan mengingatkanmu dalam dua hal: jangan sampai alat penyokong hidupmu hancur dan hati-hati dengan dorongan testosteron yang tak stabil di tubuhmu." Pesan Fukurofuju.
"Baiklah, akan kuingat...jika aku memang bisa kembali mengingat semuanya dari awal." Aku mengangguk pelan dan memutar bola mataku, mencoba menanamkan pesan itu di kepalaku.
Aku mengambil headphone kotak itu dan segepok kartunya, kemudian berdiri dan beranjak keluar kamarku. Namun Benzaiten menarik lenganku.
"Kau lupa dengan pakaianmu." Wanita itu tiba-tiba saja sudah memiliki selembar kaus biru lengan panjang dan celana jeans di tangannya.
Aku kembali menatap ke bawah. Pakaianku sudah sobek-sobek dan baju manapun yang kupunya takkan muat di tubuhku yang sekarang. Dengan tangan satu menutup selamgkanganku, aku mengambil pakaian tersebut dan mengenakannya.
Celana ini masih seperti celana yang biasa kukenakan, namun "tambahan" yang kumiliki sekarang membuat celana ini tak nyaman dipakai.
"Jangan coba mengeluh. Hanya itu pakaian yang kudapatkan dari dalam lemari." Benzaiten memalingkan wajahnya.
"Dan sejak kapan kau berjalan ke dalam lemari dan mengambil pakaian?"
TING TONG!
Tamu? Siapa yang datang ke kamar ini untukku? Aku tak kenal siapapun disini, seperti yang mereka bilang.
"Um, kalian tidak bersembunyi?" Tanyaku pada lima orang itu.
"Tenang saja. Hanya kau yang dapat melihat dan menyentuh kami." Fukurofuju tersenyum dan mengacungkan jempolnya.
Baiklah, kalau begitu seharusnya aku cukup percaya dengan ucapan mereka. Menghela napas panjang, aku berjalan perlahan ke arah pintu dan membukanya. Tampak seorang lelaki rambut perak yang disisir ke samping menungguku di ambang pintu. Manik merahnya menatapku dengan terkesima dan takjub secara bersamaan. Dilihat lagi, tubuhnya lebih pendek dariku. Apakah aku yang akan menjadi singa dominan di ranjangnya? Wajahnya manis sekali...
Astaga, apa yang kupikirkan? Fokus, Marie. Bersikaplah normal.
"Um...halo..." Ucapku gugup.
"Aku tak percaya ini!" Lelaki itu tampak antusias. "Aku menjadi penerjemah dan manajer pribadi Magister Draco!"
"Um...apa?" Aku mengernyitkan alisku.
"Kau... Magister Draco, pesulap jalanan di acara televisi kesukaanku...dan aku menjadi manajermu...di Jepang!" Tatapan matanya yang berwarna ruby itu tampak antusias, namun ganas. Sepertinya dia seorang fanatik.
Dan... Magister Draco? Apa itu...nama panggungku?
"A-aku belum mengenalmu. S-siapa kau?"
"Oh, maaf jika aku tak sopan." Pemuda itu membungkuk 90 derajat. "Namaku Seira Yoshii. Aku penerjemah dan manajer pribadimu. Kita pernah berbicara lewat surel."
Surel? Ingatanku masih terasa samar. Mungkin aku pernah berbicara padanya, entah kapan atau bagaimana kita bisa saling bertemu.
"Oh, oh, oh! Karena ini hari pertamamu di Jepang, aku akan mentraktirmu untuk mencari pakaian untuk pekerjaanmu." Ucapnya riang. "Kau tahu, kesan pertama sangat penting!"
Aku kembali memeriksa sosok bernama Sei ini. Dari ujung kepala ke ujung kaki, mataku tertuju pada sepasang tangan yang tidak berbentuk tangan pada umumnya.
"Sei, tanganmu..."
"Bionik? Keren 'kan?" Sei memperlihatkan kedua tangannya. "Tanganku putus karena suatu kecelakaan. Dokter bilang tangan ini dibuat dari serat karbon, tapi menggerakkannya sedikit butuh perjuangan."
"Itu keren. Kita seharusnya lebih sering jalan bersama. Ayo kita cari pakaian sebelum celana ini semakin menyiksaku." Aku mendorong tubuh mungil Sei keluar. Tenagaku masih meluap dengan deras bahkan setelah jakan keluar dari apartemen bersama manajer baruku.
Keluar dari apartemen, aku berjalan melintasi sebuah toko pakaian untuk pria. Dari etalase kaca, aku melihat deretan pakaian yang luar biasa keren, kemudian tertuju pada bayanganku pada cermin di dalam toko.
Laki-laki tampan berbadan tegap itu... Aku masih belum menyangka jika lelaki itu adalah aku. Aku merasa tak pantas memiliki tubuh yang berotot ini. Namun jika otot ini menyimpan tenaga yang cukup besar untuk bekerja seharian dan wajah tampan ini akan memikat hati siapapun yang memandangnya, aku menjadi tak sabar dan segera masuk ke dalam toko itu.
Kemudian, musik yang mengalun di dalam toko itu membuatku ingin menari ikuti iramanya sembari mengambil pakaian untuk kucoba dan kubawa bersamaku.
Namun kenyataannya, aku menari seperti Tobey Maguire di film Spiderman 3.
Adegan satu, aku mengedipkan mata pada penjaga stan dan wajahnya memerah. Dan dia seorang pria.
Adegan kedua, aku menari dengan kemeja putih dan rompi hitam sambil berjalan keluar toko. Musik yang terdengar di telingaku seakan tak berhenti. Aku terlalu menikmatinya hingga melupakan kejadian di sekitarku. Sedikit mengganggu di selangkangan, namun selain itu...
Tubuh ini lebih nyaman. Aku bisa menarik perhatian tanpa perlu tampil mencolok atau mengenakan sesuatu yang menonjolkan bentuk tubuhku, beban di dadaku yang biasa kumiliki sudah sirna. Gerakanku sudah lebih leluasa...
"MARCUS THOMAS FLYNN!"
Sebuah sahutan memecahkan suasana yang menyenangkan itu. Ternyata berasal dari Sei yang sudah menjinjing banyak tas berisi pakaian yang kubeli.
"E-eh... Sei... M-maaf, aku terbawa suasana..." Aku menggaruk kepala.
"Kau meninggalkanku di toko. Kau juga lupa dengan memakai ini." Sei memberikanku sebuah stoples kecil yang ternyata berisi pomade.
"...ini untuk apa?" Aku mengernyitkan dahiku bingung.
"Ini untuk merapikan rambutmu. Cepat dipakai sebelum kita terlambat bekerja." Sei memiringkan kepalanya, isyarat mengajakku pergi mengikutinya.
"Kalian orang Jepang tidak tahu caranya bersantai." Aku hanya memasang wajah masam sambil berjalan mengikutinya karena selain waktuku yang tak banyak, masih banyak hal yang tidak kuketahui tentang kosmetik untuk pria—termasuk pomade yang di tanganku ini. Jangankan pakai pomade, menyisir rambut saja jarang kulakukan.