1 Kebaikan Sang Pembunuh (Part 1)

Remang-remang cahaya rembulan menyorot wajah lelap Angeline yang tertidur pulas di dalam kamar sebuah hunian mewah yang terlerak di lantai paling atas gedung apartment megah. Sebuah spring-bed empuk berukuran king's size dilapisi selimut halus berwarna putih membuat gadis itu semakin terlelap dalam tidurnya.

Semuanya terasa terlalu nyaman hingga sinar sang mentari pagi masuk dan membangunkan gadis yang hanya mengenakan kaus over-sized berwarna abu-abu yang menutupi tubuh bagian atas hingga sebagian kecil dari pahanya itu terbangun perlahan.

Angeline yang masih setengah sadar berusaha menerka apa yang sedang terjadi. Batinnya terus menanyakan pertanyaan acak yang jawabannya bisa ia dapatkan hanya dengan membuka mata. Angeline melebarkan tangannya, mencoba meraba apapun yang bisa ia jangkau di sekitarnya. Semuanya terasa lembut, begitu nyaman seakan memaksa Angeline kembali ke alam bawah sadarnya.

Hingga tangan lembutnya menyentuh sesuatu yang lumayan keras. Ia mengusap-usap sesuatu yang keras itu, terasa seperti seperti sebuah kulit manusia yang melapisi daging-daging berbalut otot dan urat. Angeline terus mencoba mencari tahu benda apa yang sedang ia raba dan remas sesekali.

Dengan ragu-ragu Gadis itu membuka matanya perlahan. Yang terlihat adalah sebuah punggung, sebuah punggung yang terlihat lebar dan kekar dengan sebuah luka bakar kemerahan yang lumayan kontras dengan warna kulit sawo matang itu. Dengan spontan Angeline membuka matanya lebar-lebar. Melihat ke arah kaus kebesaran yang ia kenakan dan punggung menggoda di depannya secara bergantian. Hawa dingin dari pendingin ruangan seakan membelai bagian yang berhimpit di pangkal pahanya yang tidak ditutupi apapun, hanya tertutupi oleh sebuah kaus yang kelonggaran di tubuuhnya.

"Aaaaaa!" teriak Angeline, membuat sang pemilik punggung menggoda itu terbangun dan berbalik.

David, pria yang baru saja terbangun dengan kaget itu membekap mulut Angeline yang menghasilkan suara ratusan kali lebih nyaring dari alarm tidurnya.

"Hmm ... hmm ... hmm ..." ronta Angeline teredam karena mulutnya dibungkam oleh telapak tangan David yang lumayan kekar. Rona biru sudah mulai menghiasi wajah ayu gadis itu, sepertinya beberapa detik lagi Angeline akan pingsan karena kehabisan napas.

David menatap lurus mata Angeline dengan tajam. "Jika kau berjanji untuk tidak berisik, aku akan melepaskannya."

Angeline mengangguk cepat, membuat David melepaskan bekapan tangannya secara perlahan. Angeline yang baru saja mendapat kesempatan untuk bernapas langsung menghirup udara dan menghembuskannya secepat mungkin. Gadis itupun mulai tenang, sementara David kembali berbalik membelakangi Angeline dan melanjutkan tidurnya yang terganggu.

Setelah mengumpulkan keberanian, Angeline bangkit dari ranjang empuk itu, membuka pintu kamar berganggang platinum dengan perlahan--berusaha tak bersuara sekecilpun--dan keluar sebelum mencoba menutup kembali pintu itu sepelan mungkin. Setelah berhasil, Angeline berbalik dan dibuat bungkam oleh kemewahan ruangan besar yang tersaji di depan matanya.

Sebuah ruangan yang ukurannya hampir sama besarnya dengan ruang bioskop itu benar-benar membuat Angeline terdiam takjub. Dari mulai sofa yang terlihat sangat mahal, set dapur mewah, sepasang rak khusus minuman-minuman impor, hingga sebuah kolam renang dalam ruangan yang terletak tepat di bawah kaca tebal transparan yang menunjukan visual gedung-gedung pencakar langit dan suasana ramai perkotaan di pagi hari.

Gadis itu bahkan sampai kesusahan menelan ludahnya sendiri.

Duak ... "Ouch!" keluh Angeline setelah kepala bagian belakangnya terbentur sesuatu yang sangat keras. Gadis itu tertunduk sambil mengusap-usap kepalanya yang berdenyut.

"Kau kenapa?" tanya David yang menatap Angeline dengan heran.

Angeline berbalik dan menatap david dengan geram, "Kenapa kau memukulku dengan daun pintu? Kau tahu, rasanya sa--" keluhan Angeline saat melihat sajian visual lelaki yang kini sedang berdiri di depannya. Wajah adonis bergaris rahang tegas, dada bidang, tangan kekar, delapan kotak otot yang terlukis di bagian perut, dan yang paling penting adalah dua garis V yang tergambar jelas tepat di atas celana pendek hitamnya.

David berjaalan melewati Angeline. "Siapa yang menyuruhmu berdiri di depan pintu seperti itu." ucap David datar sambil mengeluarkan air dingin dari dalam kulkas besar yang memiliki tiga pintu berjejer pada bagian depan.

Setelah mengambil dua gelas kaca yang tergantung terbalik pada bagian atas pantry dapur, David menuangkan air dingin itu ke dalamnya. Gerakan naik apel adam yang menonjol di leher David saat menegak air dingin itu membuat Angeline merasakan getaran aneh dalam dadanya. David menoleh, "Kau tidak haus?" tanyanya sembari menuangkan air dingin ke gelas satunya.

Angeline mendekat, berada tepat di seberang David dan mengambil gelas itu,menegaknya dengan lumayan rakus hingga tersedak.

Gadis itu berjalan dengan perlahan mengitari ruangan megah itu sambil memerhatikan apapun yang bisa ditangkap oleh matanya. Semuanya tampak begitu sangat mengagumkan. Walau begitu, ada satu yang lebih mengagumkan dari semua barang mewah yang ada dalam ruangan, yaitu tubuh 'topless' David.

Angeline duduk di sova terempuk yang belum pernah ia duduki selama hidupnya, sambil memperhatikan punggung David yang terekspos begitu menawan. Otot-otot kekar itu sedikit berkontraksi saat David mengaduk spatula di atas wajan. Selama beberapa menit mata Angeline idak bisa lepas dari David, hingga sebuah piring berisikan steak daging sapi dengan beberapa sayuran hijau di sekelilingnya tersaji di atas meja makan.

"Makanlah." titah David yang langsung dituruti oleh Angeline. Gadis itu duduk tepat di depan steak-nya, sementara David berjalan kembali ke kulkas dan mengambil sebotol minuman beralkohol, menuangkan secukupnya ke dalam gelas dengan menambahkan perasan jeruk ke dalam minuman itu. "Aku tidak terbiasa sarapan."

Angel memotong steaknya dan memasukkan sepotong ke dalam mulutnya. Setiap kunyahan terasa sangat empuk dan berair, aroma daging sapi segar benar-benar memabukkan inderanya.

"Setelah selesai, bersiaplah." ucap David yang tiba-tiba membuat Angeline berhenti menikmati sarapan mewahnya sejenak.

"Untuk?"

"Aku akan membawamu pergi."

Angeline mengerutkan keningnya, "Kemana kau akan membawaku?"

David tidak menjawabnya dan pergi meninggalkan Angeline yang masih duduk di meja makan dengan ribuan pertanyaan di kepalanya. Apakah secepat itu David akan mengusirnya. Bahkan ia belum mengetahui nama dari lelaki yang telah menyelamatkannya itu. Siapa dia, pekerjaan apa yang dia lakukan hingga bisa tinggal di tempat semewah ini, kenapa di tubuhnya bisa ada luka bakar dan bekas-bekas jahitan.

Dan yang terpenting, kenapa lelaki itu bisa sebaik ini kepadanya.

avataravatar
Next chapter