"Hah?! A-apa?!" Ayudia ternganga tidak percaya apa yang baru saja didengarnya. Otaknya berusaha mencerna kata-kata yang diucapkan Fatir dengan susah payah. Terpikir olehnya, Fatir sedang mempermainkannya. Susah payah dia menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya yang tiba-tiba terasa kering.
"Enggak mungkin ada orang ngajak menikah saat pertama kali ketemu. Orang ini gak waras pasti!" ucap Ayudia di dalam hati sambil menggelengkan kepalanya. Seulas senyum aneh tercipta di bibirnya.
Dipandanginya lelaki di depannya itu dengan saksama. Fatir seorang lelaki dengan tubuh yang tegap dan gagah, dengan tinggi badan yang proporsional. Dia memiliki wajah yang menawan hati. Masih muda, sepertinya dia berusia pertengahan 30-an tentu saja akan memikat setiap wanita yang memandangnya.
"Kamu melamarku? Jangan main-main laaah! Jangan keterlaluan bercandanya." Tawa gadis itu sinis.
"Iya aku melamar kamu. Aku mau bantu kamu supaya kamu bisa segera keluar dari dunia malam. Bukannya kamu bilang mau berhenti kerja begini? Maafin aku, bukannya aku bermaksud untuk menghina kamu, tapi aku memang berniat mau bantu supaya kamu bisa keluar lebih cepat dari pekerjaan seperti ini," terang Fatir dengan raut wajah bersungguh-sungguh. Lekat matanya memandangi Ayudia. Rasa cemas tersirat di wajahnya yang tampan.
"Entahlah, ini terlalu mendadak." Ayudia mengangkat bahunya dengan cuek. Dia menggeleng sambil tertawa pelan. Tentu saja dia tidak percaya dengan ucapan Fatir yang tiba-tiba saja mengajaknya menikah.
"Kamu pikirkan aja dulu. Tapi, lebih cepat kamu berenti, itu lebih baik." Fatir berkata dengan nada tegas.
Ayudia sibuk menyelami pikirannya. Dia sebenarnya takut jika mempunyai suami, mereka para lelaki yang pernah menjadi pelanggannya. Selama ini banyak sudah lelaki yang mengajak dirinya menikah, tapi dia selalu menolaknya. Dia takut jika suaminya kelak bermain-main di belakangnya.
Egois memang, tetapi Ayudia hanya ingin memperbaiki dirinya terlebih dahulu sebelum dia memiliki suami. Sehingga dia bisa menemukan lelaki baik-baik karena dirinya sudah menjadi seseorang yang memiliki pekerjaan baik dan dengan cara yang baik.
"Fatir, aku mau pulang sekarang." Ayudia bersiap, dia memasukan barang-barang miliknya ke dalam tas.
"Oke, aku juga mau keluar." Fatir menyerahkan amplop tebal berwarna cokelat kepada Ayudia. Di amplop itu tertera sederet nomor telepon.
Ayudia sangat terkejut melihat amplop itu. Dia tersenyum senang kemudian mengecup pipi Fatir. "Terima kasih, ini nomor telepon kamu?" Ayudia menunjuk deretan nomor yang tertera di atas amplop.
"Iya." Fatir tersenyum. "Siapa tau nanti nanti berubah pikiran dan mau menghubungiku."
"Gak usah ditulis, langsung simpan aja, mana ponsel kamu?" Ayudia menadahkan tangan lalu memasukan nomornya ke ponsel Fatir. Mereka pun saling bertukar nomor telepon.
Ayudia melangkah keluar kamar hotel, dia duduk di lobi hotel sambil menunggu taksi menjemputnya. Dia memikirkan perkataan Fatir, memang harusnya dia berhenti dari pekerjaan ini. "Aku gak boleh kerja gini terus. Aku harus berenti secepatnya." Gadis itu membatin.
"Tapi, aku aja belum kenal sama dia. Baru ketemu juga." Ayudia mulai mempertimbangkan tawaran Fatir. Dengan wajah tampan yang dimiliki lelaki itu, tentu semua wanita akan mempertimbangkan perkataannya.
Tidak lama kemudian, taksi jemputan pun Ayudia datang. Dia bergegas naik taksi dan pulang. Dia ingin melanjutkan tidur di dalam kamarnya tanpa gangguan.
Di dalam taksi ponsel Ayudia berdering, tertera nama Kayla, dia adalah adik perempuannya.
"Kak, apa kabar? Kapan pulang? Katanya Ibu kangen sama Kakak."
"Iya, Nanti aku pulang kalau dapat jatah libur kerja."
"Kak, Kakak punya uang? Aku mau bayar sekolah."
"Ada. Aku kirimkan uang, sekalian untuk uang belanja di rumah, kamu di mana sekarang?"
"Di sekolah, Kak," jawab Kayla.
"Ya udah, baik-baik di sekolah, jangan macam-macam. Kalau sudah pulang sekolah, pulang langsung ke rumah. Belajar yang rajin."
"Iya, Kak. Sudah dulu, aku mau masuk kelas. Bel sudah berbunyi."
"Oke." Ayu menutup pembicaraan mereka.
Keluarga Ayudia-lah yang membuat dirinya bertahan dengan pekerjaan ini. Jika orang-orang berpikir mudah mencari uang seperti ini mereka salah. Hanya segelintir orang yang yang memperlakukan para wanita malam dengan baik. Kebanyakan dari mereka bersikap semau mereka. Tak jarang mereka pun main tangan, seakan pipinya adalah bantal yang bisa ditempeleng seenaknya. Seakan tubuhnya samsak tinju, yang bisa dihajar semaunya.
"Aku lelah," keluh gadis itu dalam hati.