Hari ini Rino merasa tubuhnya sudah mendingan daripada sebelumnya, Obat yang Dokter Habsah suntikan padanya sangat mampu mengurangi rasa mual juga sakit kepalanya.
Dia bersiap-siap untuk mandi, Saat keluar Ia melihat Randa berjalan duluan tanpa repot-repot menatapnya yang jelas-jelas dibelakang. Rino menatap miris punggung sang adik.
Randa acuh, Sebenarnya juga kasihan dan tidak tega pada kakaknya. Mau bagaimana lagi, Dia terlanjur marah semenjak diberitahu lambat mengenai kehamilan Rino. Kepeduliannya di Kediaman Wiranto hanya karena dia ingin menguatkan mental kerupuk milik kakaknya, Intinya masih marah.
Rino, "Ran, Abang minta maaf soal baru kasih tau kalian, Abang benar-benar takut reaksi kalian nantinya"
Diam, Tidak ada sahutan dari depan. Bertambahlah kesedihannya, Rino berhenti melangkah, lalu berjongkok dan menangis keras. Akhir-akhir ini dia menjadi agak sensitif dengan hal-hal kecil yang tidak disukainya.
Gerakan Randa juga berhenti, Sontak remaja itu membalikkan tubuhnya cepat lalu menghampiri sang kakak di lantai, "Ya elah Bang, Malah nangis lagi anaknya, Ini pasti bawaan dedek bayi" Celetuknya menyalahkan calon keponakannya di perut Rino.
Rani secara mendadak berteriak dari dapur, "Randa! Kamu apain lagi Abangmu sampai nangis begitu! Dia itu lagi hamil, Orang hamil itu sensitif!" Omelnya.
Randa balas berteriak, "Gak tau Bun!" Lalu balik menatap kakaknya, "Bang udah nangisnya, Randa minta maaf, Tiap pagi Abang nangis mulu bikin rumah kita kek lagi acara dukaan aja" Itu bukan candaan semata sebab dari sebelumnya entah kenapa Rino selalu menangis sebelum ke sekolah.
Rino, "Hahaha..." Tawanya meledak mendengar candaan sang adik, Dan tanpa diduga Ia langsung memeluk Randa erat, "Ran, Gendong Abang ya?" Pintanya manja seraya menenggelamkan kepalanya di ceruk leher Adiknya.
Remaja itu menghela nafas pasrah, "Haaah... Iya-iya Bang, Asal nangisnya udahan" Ujarnya menyerah. Diangkatnya tubuh Rino dan lanjut ke kamar mandi dengan sang kakak dibopongannya.
Hal mengejutkannya yaitu Rino sangat ringan, Padahal dia mengira karena sang kakak lebih tinggi darinya sehingga Rino lebih berat tapi nyatanya bukan, malah sebaliknya.
Pagi-pagi ini Rani tersenyum teduh saat mendapati pemandangan itu. Sebenarnya dia sedih memikirkan nasib malang anaknya yang harus hamil seperti wanita, Disisi lain juga senang karena tidak lama lagi Ia akan menjadi seorang nenek.
Buang nafas, Rani segera menghilangkan pikiran-pikiran di kepalanya lalu lanjut memasak.
Habis mandi dan ganti pakaian Randa menggeram ketika melihat Bunda dan Dani sudah duduk manis di meja makan, Sedangkan dia? Haiih... Rino tidak mau jauh-jauh darinya semenjak dia diberitahu perihal kehamilan Kakaknya.
Segera setelah bokongnya menempel di kursi, Randa langsung mengeluarkan unek-uneknya, "Bun, Sejak pulang dari rumahnya Lintang, Abang jadi gitu" Makanan di meja dipandangnya tidak nafsu.
Rani terkikik lucu, Sambil menyendokkan nasi ke piring anak tengahnya dia menasehati, "Jangan bicara begitu, Kalau Abangmu dengar dia sedih lagi nanti, Nanti juga terbiasa kok"
Bibir yang nyaris coklat milik Randa manyun, Belum puas dengan jawaban sekaligus nasehat Bundanya, "Iya Bun" Dia terpaksa menjawab, Yang dikatakan Bunda juga benar, Dia tidak akan sampai hati melihat Abangnya menangis lagi karenanya.
CUP!
Kecupan manis mendarat di pipinya, Randa terkesiap, Nyaris tersedak makanan di mulutnya. 2 hari lalu seperti itu juga, Pokoknya setelah pulang dari Rumah Lintang Abangnya menjadi aneh, Kadang Randa tidak suka dan kadang suka, Contoh sukanya seperti ini. Hanya Randa yang diciumnya setiap selesai ganti baju, Bunda dan Dani tidak pernah.
Dani marah plus cemburu, "Bang Lino, Dani dicium juga!" Pintanya dengan bibir cemberut.
Rino, "Maaf Dani, Tidak tahu kenapa Abang cuma mau cium Randa, Sekali lagi maaf ya Dani" Rino menempelkan kedua tangannya membentuk sebuah permohonan.
Bocah itu sedih dan menunduk. Rani mengelus surainya, "Jangan marah dengan Abangmu, Dia lagi hamil makanya begitu, Biasanya juga biar kamu tidak minta pun, Abangmu rutin cium kamu sebelum berangkat sekolah, Itu bawaan keponakan kecilmu" hiburnya.
Dani mendongak, "Begitu ya Bun? Ooh..." Angguknya mengerti. Rino tersenyum berterima kasih kepada Bundanya yang selalu mengerti keadaannya.
Usai sarapan keduanya bergegas pergi ke sekolah masih dengan Rino dibonceng Randa sebab Bunda belum mengizinkannya pergi sendiri terlebih setelah tau dia hamil.
Sepanjang jalan Rino tidak henti-hentinya memeluk leher Randa mesra layaknya orang pacaran.
Randa, "Bang, Lepasin tangannya. Kita dah mau sampai ke sekolah Bang" Rino mencebikkan bibirnya kesal seraya melepas pelukannya.
Randa membelokkan sepedanya dan berhenti di depan sekolah Rino, Tapi sebelum kakaknya itu pergi, Dia masih sempat-sempatnya memberikan kecupan di pipi Randa.
Randa, "Ck!" Remaja sawo matang itu berdecak kecil sambil meraba pipinya memandang pria hamil yang terlihat bahagia pagi ini.
Yang pasti masalah kehamilan juga rencana pernikahannya dengan Arwin di rahasiakan dari publik, Rino ataupun Arwin masih diperbolehkan sekolah. Namun Rino harus berhenti apabila tonjolan di perutnya sudah tidak mampu ditutupinya lagi. Paling tidak sampai usia kandungannya menginjak 4 bulan Rino masih memiliki waktu untuk ikut ujian kenaikan kelas semester akhir.
Seseorang menepuk bahunya, remaja itu menoleh dan terkesiap menemukan Lintang sudah berdiri di sampingnya.
Lintang, "Seneng ya Lo gak lama lagi bakal nikah sama Arwin" Ucapnya pelan namun nada sinis dalam kata-katanya jelas tidak pelan, Bahkan keras.
Rino, "Apa maksud kamu?" Tanyanya tidak mengerti.
Lintang, "Kemarin Lo sampe nolak gue dan malah lebih pilih Kakak gue yang jelas-jelas udah ngelecehin Lo" Cibirnya.
Langkah Rino berhenti, Mendadak diraihnya telapak tangan Lintang lantas menempelkannya di perutnya yang rata.
Lintang terkejut, Ia melihat keseluruhan halaman lalu bernafas lega, Untungnya anak-anak belum datang. Barulah menatap kesal Rino, "Lo apa-apaan sih!"
Rino, "Ini demi anakku, Aku tidak ingin dia lahir tanpa sosok ayah kandung seperti adikku yang tidak pernah merasakannya" Dan melepas tangan Lintang kemudian berlalu dari sana.
Berdecak, Lintang segera menyusul remaja itu, menarik bahunya hingga membuat Rino terpaksa menghadap padanya, Sedetik setelahnya Ia kaget mendapati remaja itu kini tengah menangis tanpa suara. Hela nafas panjang, Lintang mendekap erat remaja itu ke pelukannya.
Lintang, "Maafin gue kalo udah nyakitin perasaan Lo, Tapi apa yang gue omongin bener, Gue cinta, gue peduli sama Lo makanya gue ngomong gini" Jelasnya.
Rino, "Nnnn... Sumpah demi Allah aku tidak berniat gila harta dengan keluarga kalian, Aku hanya ingin nasib anak ini tidak seperti adikku Dani, Ditinggal ayah berpulang ke sisi Allah saat dia masih di kandungan Bundaku hiks... Bahkan tadi pagi aku menolak menciumnya karena bawaan dari bayi ini... Huhuhu... Menurutmu bagaimana perasaannya sekarang?" Isakannya terdengar pilu seakan ingin menyayat-nyayat batin Lintang.
Lintang, "Cup...cup jangan nangis, Oke gue minta maaf lagi, Ayo ke kelas, Gak baik buat kesehatan calon keponakan gue"
Ketika hendak mengajak Rino, Manik hitamnya tidak sengaja berpapasan dengan tatapan tajam Arwin dari arah parkiran. Tersenyum miring, Lintang menjulurkan lidahnya mengejek lalu balik membantu Rino.
Ngomong-ngomong dia masih tidak terima kekalahannya dari Arwin karena penolakan Rino. Enak saja, Salah siapa tidak pernah menyadari pacar sendiri dan malah cuek?
Bibir Arwin berkedut-kedut menahan emosi, Tanganya mengepal disusul hembusan nafas kasar dari mulutnya. Berani-beraninya adiknya berniat ingin bersaing sementara Rino jelas-jelas memilihnya. Oke... Setelah pernikahan, Ralat maksudnya sebelum pernikahan ini dilaksanakan dia akan berusaha menebus kesalahannya pada Rino dan dengan perlahan akan mengambil kembali hati remaja itu untuknya seorang
Sekaligus ingin mencari tahu kebenaran soal kehamilannya.
Arwin, "Lo liat aja Lintang, Siapa yang bakal dia pilih nantinya, Gue calon suaminya atau Lo adik gue sendiri!" Monolognya.