Aku membuka mataku perlahan. Mengerutkan alis, mengapa kepalaku rasanya pening sekali? Aku mengerjapkan mata beberapa kali, membiarkan mataku beradaptasi dengan cahaya. Tampaknya sudah lama aku tidak terbangun. Kugerakkan badanku untuk melakukan peregangan, namun tak bisa. Aku seakan terjerat oleh sesuatu.
Ah, rasanya leher ini begitu pegal. Aku membuka mataku sekali lagi. Tunggu! Di mana aku? Pandanganku menyapu tiap sudut ruangan. Ruangan ini hampir sama seperti markas The Secede. Semua perabotan terbuat dari kayu. Bedanya, ini lebih berantakan dengan bau-bauan aneh yang menyengat.
"Neron, apa itu kau?" tanyaku lirih kepada orang yang tengah duduk tak jauh dariku, ia membelakangiku.
"Siapa Neron? Pacarmu? Oh! Pangeranmu?"
Mendengar suaranya membuat kesadaranku kembali. Pria itu membalikkan setengah badannya, menoleh kearahku. Aku melotot, sangat ingin memukulinya, namun aku tak bisa bergerak. Dan aku baru sadar ternyata aku tengah terduduk dengan badan yang diikat ke sebuah batang pohon.
"Lincoln! Apa yang kau lakukan?! Lepaskan aku!!" seruku padanya. Aku memberontak, ingin sekali melepaskan diri dari ikatan ini. Namun semakin aku bergerak, semakin erat jeratannya.
"Lincoln!! Apa-apaan ini?!" seruku marah.
"Kau ini berisik sekali! Aku sedang mengerjakan sesuatu," ujarnya yang sudah membelakangiku lagi.
"Aku tidak peduli! Cepat lepaskan aku!!" seruku sambil terus memberontak.
"Tidak! Kau bisa-bisa menerkamku lagi jika aku melepaskanmu sekarang, tunggu seseorang tiba, baru aku melepaskanmu," ujarnya.
Jeratan itu semakin erat. Aku merintih kesakitan.
"Lincoln," panggilku memelas. Ia menghela napas dan kembali menoleh padaku.
"Jangan banyak bergerak jika tidak ingin tulangmu remuk karena akar itu, lagipula sudah kubilang, kau bisa menerkamku kalau kau kumat," ujarnya. Kini aku menurut untuk tidak banyak bergerak meski aku sedikit bingung dengan perkataannya tentang 'menerkamku'.
"Aku tidak akan menerkammu, aku bahkan tidak bisa berubah menjadi hewan buas sepertimu," ujarku. Ia terdiam sebentar.
"Bukan menerkam dalam artian itu, tapi dalam arti yang lain," ujarnya dengan wajah yang memerah. Aku semakin tidak mengerti.
"Apa sih maksudmu? Bicara yang jelas!" ujarku setengah berseru karena kesal.
"Ah, sudahlah! Lupakan saja!" ujarnya yang langsung kembali membelakangiku, berkutat dengan kegiatannya.
Aku memajukan kepalaku perlahan, penasaran dengan apa yang ia lakukan. Dan betapa terkejutnya aku ketika melihatnya yang tengah menjahit lengan kiri tangannya sendiri.
Kuulangi, menjahit lengan tangan kirinya sendiri!
Aku bergidik ngeri melihat itu. Sejenak terdiam. Apa itu ulahku? Apa aku menerkamnya sampai seperti itu? Pertanyaan itu terus saja menghantui pikiranku.
"Tidak, bukan kau yang melakukannya," ujar Lincoln tiba-tiba. Tampaknya ia membaca pikiranku.
"Mengapa harus kau jahit seperti itu? Mengapa tidak menggunakan teknik penyembuhan?" tanyaku prihatin.
"Aku tidak bisa terus menerus menggunakan teknik itu, karena kalau sampai berlebihan, kekuatanku akan habis dan aku tidak bisa menjagamu lagi, perjalanan kita masih panjang," jelasnya.
Mendengar kalimat terakhirnya aku mencibir "Kau saja tidak tau mau membawaku kemana,"
Tampaknya Lincoln mendengar itu dan segera menoleh ke arahku.
"Hey, tugasku itu menjagamu, melindungimu bukan menjadi pemandu jalan. Kau sendiri yang seharusnya tau rute perjalanan kita," ujarnya tidak terima.
"Kalau begitu jangan bicara seolah kau mengetahuinya," balasku seraya melotot padanya.
Sebelum perdebatan menjadi tambah panjang, seorang wanita tua masuk dengan membawakan batok kelapa. Perawakannya besar, dengan baju lusuh dan mengenakan topi kerucut yang sudah ditambal di mana-mana.
"Oh! Nona sudah sadar," ujarnya seraya menghampiriku.
Saat wanita itu menghampiriku, aku mencium bau aneh yang sangat pekat menusuk hidungku. Baunya seperti rempah-rempah bercampur dengan anyir darah? Entahlah, aku belum pernah mencium bau seperti ini sebelumnya. Aku berusaha menahannya untuk tidak bersin. Aku takut wanita ini tersinggung.
Ia dengan telaten melepaskan ikatanku.
"Mangapa tak kau lepaskan, Lincoln?" tanyanya.
"Aku tak ingin ia menerkamku lagi," jawab Lincoln. Wanita tua itu terkekeh.
"Bukannya kau malah senang jika itu benar-benar terjadi?" Goda wanita itu yang langsung membuat Lincoln terdiam. Dari belakang, aku melihat telinganya yang memerah.
"Apa yang terjadi padaku?" tanyaku setelah bebas dari jeratan akar pohon itu.
"Kau teler setelah menghabiskan 5 buah Dudaim raksasa, Nona," jawab wanita tua itu.
"Bagaimana bisa?" gumamku. Wanita tua itu mengangguk.
"Aku menemukanmu dan temanmu di tengah ladang dudaim raksasa milikku, untunglah aku tidak terlambat datang, jika sampai itu terjadi, temanmu akan lumpuh dan tidak bisa apa-apa." Ia menjelaskan sambil melumuri lengan Lincoln yang telah dijahit dengan lumut hijau.
"Terima kasih Madam," ujar Lincoln kepada wanita tua itu.
Kini wanita tua itu membuka botok kelapa yang tadi dibawanya dan memberikannya padaku. Aku menerimanya dan kulihat di dalamnya ternyata cairan kental berwana-warni, persis seperti warna pelangi. Gradasi warnanya begitu indah.
"Makanlah, dengan begitu kau akan merasa lebih baik," ujarnya.
Aku langsung saja memakannya tanpa aba-aba, mengingat aku belum makan seharian. Namun baru saja lidahku menyentuh makanan itu, aku langsung menyemburnya. Untunglah tidak mengenai wanita tua itu.
"Rasanya seperti muntahan," ujarku.
Lincoln terkekeh mendengarnya.
"Itu memang muntahan, lebih tepatnya muntahan Gnomes," ujarnya.
Aku mendelik menatap Lincoln dan beralih menatap wanita tua itu. "Apa itu benar?"
"Sayangnya itu memang benar, Nona. Tapi jika kau tak mau, terpaksa aku menggunakan sihirku untuk menyumbat hidungmu agar kau bisa memakannya tanpa harus merasakannya,"
Aku menggeleng. "Aku tidak mau memakannya walaupun dengan sihir," ujarku.
"Tapi ini sangat berkhasiat, Nona. Ini obat agar kau tak teler lagi," ujar wanita tua itu.
"Aku sudah baikan, kok. Aku tak akan teler lagi," tolakku halus.
"Kau tau? Temanku yang seorang penyihir pernah memakan satu buah Dudaim raksasa, dan ia teler 3 kali dalam waktu yang berbeda. Sedangkan kau yang hanya manusia biasa memakannya hingga 5 buah, dan bilang tidak akan teler lagi? Bisa-bisa kau teler hingga setahun dalam jangka waktu yang berbeda," mendengar itu dari Lincoln membuatku terdiam.
Aku tidak mau teler hingga satu tahun, terlebih dalam waktu yang berbeda-beda.
"Tapi dengan satu syarat, aku harus tau apa yang terjadi padaku saat aku tak sadarkan diri," pintaku. Kali ini Lincoln yang terdiam tak berkutik. Wanita itu hanya tersenyum. Kesepakatan telah dibuat.
Setelahnya, wanita tua itu mengayunkan tongkat sihirnya kepadaku dan aku terpaksa memakan muntahan itu. Dalam hati aku bersumpah ini pertama dan terakhir kalinya aku memakan muntahan Gnomes.
NB: Gnomes = makhluk kecil (sejenis kurcaci) yang hanya sebesar 6 inci, memakai topi kerucut dengan warna menyala dan tinggal di hutan yang jauh dari pemukiman penyihir.
bagaimana? Apa kalian tau apa yang sebenarnya terjadi pada Lyra? aku sudah memberikan banyak clue disini lhoo
Anyways, apa menurut kalian chapter ini membosankan? Aku sebenarnya tidak begitu percaya diri dengan chapter ini karena... yaahh chapter ini monoton2 saja, tp kuharap kalian menyukainya yaa, dan tetap penasaran dengan kelanjutannya.
Aku akan up setiap 3 hari atau 5 hari sekali Pada pukul 10 pagi.
I tagged this book, come and support me with a thumbs up!