webnovel

Harga diri

"Kalian tidak tidur?" tanya Esta membuat perhatian Sem dan L teralihkan ke sumber suara.

"Tidur! jangan menjadi seperti Zolu!"

"Kupikir burung hantu?" sahut Sem membuat Esta melolot kesal.

L beranjak dari duduknya kemudian mengikuti Esta masuk lewat jendela kamarnya.

Sem mengekor membuat Esta memicingkan matanya penuh curiga. "Ada apa denganmu?"

"Aku hanya ingin masuk, di luar sangat dingin, trus bukannya tadi kau menyuruh kami masuk?"

"Iya emang, tapi kau juga tidak perlu masuk lewat jendela kamarku, Bukannya kau punya jendela kamar sendiri?"

"Iya. Tapi?" Belum selesai Sem berbicara Esta langsung menutup jendela tepat di depan wajahnya.

"Pintu jendelaku terkunci dari dalam," lirih Sem sambil memanyunkan  bibirnya cemberut.

_o0o_

L

Pagi itu L dan Sem sudah berpamitan kepada Esta untuk pergi memanjat dinding pembatas.

Pekerjaan yang mereka lakukan sangat berbahaya tapi karna keingintahuan L terhadap semuanya membuat Sem menurutinya.

Mereka diam-diam memanjat memakai tali penghubung dari kemah rumah pohon Sem menunju dinding pembatas.

Mereka sampai dengan selamat tapi dengan perasaan yang was-was yang mengiringi mereka.

"Kau baik-baik saja?" tanya Sem memastikan. L melirik sebentar lalu mengangguk dengan napas yang masih memburu.

"Kau tau dinding ini berukuran 121 kaki atau sekitar 37 meter, itu tak seberapa dengan dinding pembatas Alpha, ukurannya 279 kaki atau 85 meter."

"Aku tidak tanya," guman L membuat Sem terkekeh pelan. Lelaki itu mengusap puncuk kepala L lalu menarik lengan gadis itu untuk duduk di sampingnya.

"Coba liat, dari atas sini kita bisa melihat semua pemandangan yang berada di bawah, sangat indah bukan?"

"Iya sangat indah sampai ada korban yang di bunuh kita hanya melihat mereka dan tidak menolongnya karna tidak bisa turun."

"Kupikir saat semua orang punya tahta yang tinggi  kita bisa membantu yang lemah tapi nyatanya enggak semua," sambung L.

"Kau sedang membahas apa?"

"Tidak. Abaikan saja," putus L sambil memalingkan wajahnya.

"Sebenarnya ... semua orang akan menyakitimu. Kau hanya harus menemukan orang-orang yang layak akan menderitaan itu," ungkap Sem setelah menghembuskan napas panjang.

"Kau sedang membahas apa?" copy L sambil melirik sinis.

"Kutipan karya Bob Marley, entah kenapa aku bisa mengingatnya," kekeh Sem sambil tersenyum.

L menggerutu tidak jelas membuat Sem tertawa. "Tidak perlu marah, bukannya kau ingin melihat pemandangan ini? Kalau sudah bosan ayo kita kem-"

"Itu!" pekik L membuat Sem mengalihkan perhatiannya.

"Ada  apa?"

"Di sana aku sadar!" tunjuknya

"Di padang rumput sana?"

"Padang rumput?"

"Iya, tumbuhan yang berada di sana namanya padang rumput," jelas Sem.

L jadi teringat sesuatu yang menyentuh tubuhnya, dia tidak tau apa itu dan hanya bangun dan pergi masuk ke dalam distrik 24.

"Apa di distrik 25 enggak ada tumbuhan? Sehingga padang rumput saja kau tidak tau."

"Di sana memang tidak ada sesuatu yang kau sebut tumbuhan, di sana hanya terdapat ... barang rongsokan, seperti ..." L terhenti lalu meraba saku celananya, ia menemukan kertas persegi empat yang usang lalu memberikannya pada Sem.

Lelaki itu menerima dan memperhatiknnya dengan seksama. " Ini namaya foto."

"Sebagai bentuk kenang-kenangan, ah aku enggak tau jelasin yang penting gitu," sambungnya.

"Eh ..."

"Ada apa?" L terkejut melihat Sem yang tiba-tiba berubah sambil memandang jauh, di sana terlihat dua orang lelaki sedang berbicara.

"Dia ... Paman Max sudah kembali! Pasti Esta senang mendengarnya," seru Sem kegirangan.

"Padahal tempat ini sangat tinggi, tapi kau masih mengenali pamanmu?"

"Iya seperti dirimu, padahal padang rumput di sana luas kenapa kau bisa mengenali tempat kau sadar?"

"Ah itu ... perasaanku yang mengatakan," terang L.

"Nah aku juga gitu," tambah Sem. L kembali diam.

"Ini," sodor Sem memberikan alat penerjemah, L menerimanya dan mulai memasang di telinganya.

"Skill saya itu punya harga, usaha saya punya harga dan waktu saya punya harga."

"Maaf tapi saya berhak nolak kalau apa yang saya dapat tidak sesuai dengan apa yang saya keluarkan."

"Saya bisa dengan jelas tau mana yang penipu mana bukan, Kamu enggak bisa bayar saya, maaf tapi saya itu punya nama, saya itu bukan orang yang bisa sembarangan di rekrut asal-asalan kayak kemarin."

"Apa yang terjadi dengan mereka?" bisik L pelan melihat keseriusan Sem mendengar.

"Itu mungkin ada sangkut pautnya dengan rencana B mereka yang mendatangi distrik 25 saat malam, kalau dari hasil analisiku, paman Max  marah karna itu."

"Dia hanya pulang sendirian? Ke mana yang lain? Satauku mereka datang dengan beberapa mobil."

"Apa jangan-jangan?"

"Jangan-jangan apa?" tanya L penasaran.

"Mereka sudah di makan Zolu!"

"Ha? Bukanya Para Zolu enggak ada ya di distri 25?"

"Maksudku saat di perjalanan pulang," lanjut Sem.

"Jadi apa hubungannya dengan penipu? Apa rencana B itu sudah di atur oleh atasan mereka?"

"Yah bisa jadi, aku sangat kenal paman Max. Dia sangat membenci orang-orang yang Liar."

"Dia selalu mengucapkna kutipan karya dari Warren Bufert yang mengatakan 'Kejujuran itu merupakan hadiah yang sangat mahal. Jangan mengharapkan dari orang murahan," sambungnya.

"Tapi saat di lab bukanya kejujuran sudah tidak berarti lagi? Jadi kenapa masih bekerja sama dengan atasan mereka? Terus bukanya paman Max bilang dia sudah jelas tau mana penipu mana yang bukan?"

"Entahlah aku juga tidak paham, mungkin mereka sudah mempunyai perjanjian satu sama lain sehingga paman Max harus menutupi kebohongannya."

"Yah dan pada akhirnya dia juga ikut berbohong bukan? Sama saja, jadi apa bedanya paman Max dengan mereka?"

"Paman Max tidak seperti mereka!" banta Sem tidak terima.

"Apa kau punya bukti?"

"Buktipun tidak akan berguna jika orang itu dari awal memang tidak percaya!"

"Kau belum menunjukannya! Atas berhak apa kau mengatakan hal itu!"

"Kau hanya beropini tapi setelah itu kau akan teguh dengan pendirianmu, semua manusia tidak  akan pernah mau mengalah dengan orang lain!"

"Kenapa kau terobsesi sekali mengatakan kalau aku salah? Apa karna dia keluargamu dan aku bukan, begitu? Meski dia bagian keluargamu kalau dia salah maka dia akan tetap salah!"

"Jadi sekarang udah pintar? Kenapa enggak dari awal aja?"

"Bukan berarti aku bisa jawab pernyataan mu, aku sudah di beri label pintar, ini hanya kebetulan dan itu wajar, otak manusia itu sempurna dia punya cara masing-masing untuk beroperasi."

"Kau bisa ngerti tentang label sedangkan tumbuhan enggak? Bukanya itu pantas di sebut dengan pura-pura bodoh? Sekarang aku ngerti perasaan Esta saat ngomong sama kau. Tujuanmu  sebenarnya apa? Apa mungkin kau bukan berasal dari distrik 25? Kau mata-mata dari distrik mana?" Cerocos Sem membuat L langsung mengepalkan kedua tangannya dengan penuh amarah.

"Kau hanya kalah debat satu kali, tapi kau tidak bisa menerima itu dan malah menuduhku yang tidak-tidak, apa kau tau? orang tidak akan selamanya bodoh, mereka bukan belajar teori saja tapi pengalaman adalah guru mereka." L bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan Sem yang terdiam.

"Aku hanya tidak senang paman Max di bicarakan yang tidak-tidak di belakangnya," guman Sem pelan sambil menunduk lesuh.

_o0o_

L