webnovel

Luka tak berdarah

Ahmad_Heri_Irawan · History
Not enough ratings
2 Chs

Luka tak berdarah

Semua berawal dari malam itu.

Jam sudah menunjuk angka 23.15. Sudah terlalu larut dan suamiku belum juga pulang. Jika pun lembur biasanya paling malam pulang jam 22.00.

Aku mulai gelisah sebab sedari sore ponselnya susah dihubungi. Takut sekali jika terjadi sesuatu padanya. Jemariku kini menekan sebuah nama di layar yang tengah berpendar. Menghubungi Eki teman kantor nya Mas Pras.

'Ya, halo Rin ada apa?'

'Ki, kamu tau gak Mas Pras di mana? Dia ada lembur gak di kantor?'

'Dari sore dia udah pulang duluan, Rin.'

Aku tertegun mendengar penjelasan dari Eki. Dari sore? Kenapa belum pulang? Apa ada sesuatu terjadi padanya? Aku mulai cemas dan takut.

'Emang Pras belum pulang, Rin?'

'Belum Ki. Makanya aku telpon kamu.'

'Sudah dihubungi?'

'Handphonenya gak aktif.'

.

Dengan matic biru akhirnya aku mulai membelah jalanan kota. Mencari Mas Pras, siapa lagi. Ke rumah Mamanya gak ada, ke beberapa tempat sudah kukelilingi. Dan malam sudah merangkak ke dini hari.

Jam 01.00 aku memutuskan pulang. Semua ruangan rumah gelap, padahal sebelum kutinggalkan masih nyala. Gak mungkin mati lampu sebab tetangga rumah pun listriknya nyala. Membuka gerbang hatiku sedikit lega. Pajero hitam terparkir di sana, itu artinya ada Mas Pras di dalam. Tapi kenapa lampunya padam?

Membuka pintu dan baru tiga langkah masuk tiba-tiba lampu nyala dan Mas Pras berdiri sambil memegangi kue dengan lilin diatasnya.

"Surprise ...."

Aku menutup mata dengan telapak tangan miring. Tersenyum haru lalu menghambur ke pelukannya. Merasakan sesuatu. Aroma yang berbeda dari biasanya.

"Selamat ultah sayang. Tetap jadi istri solehah buat Mas." Lelaki bertubuh tinggi itu mengecup keningku. Setelah memanjat permohonan dalam hati, aku meniup lilin dengan perasaan entah. Ada yang berbeda. Patutkah curiga?

"Terimakasih, Mas. Oh iya kamu dari mana jam segini baru pulang?"

"Kamu juga dari mana jam segini keluyuran?" tanyanya mengintimidasi. Dasar lelaki.

"Aku khawatirin kamu, Mas. Cemas akhirnya kuputuskan ke rumah Mama nyari kamu. Lagian kenapa sih ponselnya gak bisa dihubungi?"

"Maaf handphone Mas Lowbat. Mas ngambil lembur, setelah itu cari kue buat kamu."

Lembur? Lalu siapa yang berdusta, Eki atau Mas Pras?

"Oh ya?"

Dia mengangguk cepat. Penuh keyakinan dan tidak ada sedikitpun gelagat yang terlihat jika dia baru saja berbohong. Namun aroma yang menempel di bajunya? Oke, aku tidak boleh buru-buru menyimpulkan sesuatu.

.

Tujuh tahun menikah dengannya dan belum juga dikaruniai keturunan, nyatanya membuat diriku tidak baik-baik saja. Aku kesepian di rumah. Terlebih Mas Pras adalah tipe suami workaholic yang lebih mementingkan pekerjaannya di atas apapun.

Pagi ini aku terbangun oleh dering handphone. Saat dicek ternyata bukan ponselku yang berbunyi, tapi milik Mas Pras. Sekilas melirik jam dinding yang menunjuk angka 05.15 dan Mas Pras masih nterlelap. Aku meraih handphone dan mengangkatnya.

[Mas thankyou untuk yang semalem. Kapan kita check-in lagi?] Suara desah manja yang membuat perutku mual seketika.

Sebelum emosiku meledak aku memutuskan untuk mematikan sambungan. Menonaktifkan ponsel itu lalu meletakkannya kembali ke tempat semula. Udara seketika menjadi panas. Aku menghirup napas tiga kali berturut-turut, menghembuskan ya perlahan-lahan. Mensugesti diri bahwa aku kuat menghadapi kenyataan. Itu adalah caraku menetralisir perasaan.

Semalam? Mas Pras? Aroma parfum itu?

Dadaku berdegup kencang, rasanya sangat sesak. Seperti ada batu besar yang menghimpit di sana. Mataku dipenuhi genangan panas yang siap merebak. Aku mengerti satu hal dan ini lebih dari sakit. Aku benci saat-saat dimana aku harus menangis di depan orang yang menyakitiku.

Aku benci terlihat lemah dan cengeng di depan orang yang sudah menorehkan luka di dadaku.

Aku benci padamu, Mas. 7 tahun kita menikah, aku kira kita baik-baik saja. Saling mencinta dan setia, tapi kenyataannya?

Aku menatap wajahnya yang pulas. Wajah yang selama ini penuh binar cinta setiap memandangku. Wajah damai yang padanya aku tundukkan semua pandangan. Wajah yang sering kuciumi dengan cinta kasih setulus hati. Dan detik ini aku membencinya.

Ada yang teremas di sini, di dadaku yang paling sunyi. Goresan lukanya tak berdarah tapi rasanya begitu perih. Dengan cara apa aku bisa menyembuhkannya?

Dengan cara apa aku bisa berdamai lalu memaafkannya.

Sungguh aku mencintainya tapi aku tidak ingin menjadi bodoh hanya karena cinta.

###

Adakah pemikiran tentang kisah saya? Tinggalkan komentar dan saya akan menmbaca dengan serius

Penciptaan itu sulit, dukung aku ~ Voting untuk aku!

Ahmad_Heri_Irawancreators' thoughts