Selesai memasak, mereka mulai menyantap makanan mereka bersama. Makanan yang mereka masak habis tak tersisa. Setelah itu, mereka mengumpulkan semua piring kotor. Kali ini giliran Ditya dan Niar yang mencuci piring. Mereka pergi lagi ke sumber air yang ada disini bersama dengan kelompok lain.
Sementara itu, Randy baru saja tiba beberapa menit yang lalu. Ketika dia hendak menuju barak BEM. Dia melihat Ditya dan Niar membawa ember berisi piring kotor.
"Ditya.. Niar.." panggil Randy.
Mereka menoleh dan melihat Randy berjalan ke arah mereka.
"Kalian mau kemana?" tanya Randy.
"Cuci piring, Kak." jawab Niar.
"Sedang apa kakak disini? Bukankah kakak bukan anggota BEM lagi?" tanya Ditya.
"Aku kesini atas permintaan Ketua BEM. Barangkali ada yang bisa aku lakukan dan bantu selama ada disini." jawab Randy.
"Oh begitu. Ya udah aku pamit dulu ya, Kak. Mau cuci piring. Oh, ya, barak BEM ada di paling atas kak." ucap Ditya.
"Sini aku bantu bawa." Kata Randy, mengambil dua buah ember yang dibawa oleh Ditya dan Niar.
"Tapi kak, kakak kan baru datang. Tas juga belum disimpan di barak. Biar kami aja yang bawa." kata Niar merasa sungkan.
"Udah ayo. Nanti keburu kalian dicariin sama senior kalian."
"Kalau begitu biar aku yang bawa ransel kakak." kata Ditya. "Kalau kakak nggak mau, kami juga nggak mau dibantu sama kakak." Ditya menambahkan dengan wajah serius.
Akhirnya Randy menyerah, "Baiklah." Randy tahu tidak ada gunanya berdebat dengan Ditya karena dia pasti kalah. Lagipula ransel yang dia bawa hanya berisi pakaian ganti dan peralatan mandi, jadi tidak seberat ember-ember ini.
Sumber mata air itu cukup dekat dengan barak mereka hanya saja jalannya agak mengerikan karena harus berjalan turun. Lalu Ditya mengembalikan ransel Randy, dan mulai mencuci piring-piring itu bersama Niar. Ditya menyuruh Randy pergi ke barak BEM dan meninggalkan mereka tapi Randy masih tetap pada pendiriannya dan kali ini membuat Ditya menyerah.
Randy pun membawa piring-piring yang sudah bersih itu ke barak Ditya dan Niar. Dan Ditya pun kembali membawa ransel Randy.
"Ngomong-ngomong Kak Randy udah makan?" tanya Ditya.
"Udah kok. Tadi aku mampir dulu di tempat makan, karena aku yakin nggak akan ada makanan yang tersisa disini." kata Randy.
"Nenek Miarti bagaimana kabarnya, Kak?"
"Baik." jawab Randy singkat, dia tiba-tiba merasa sedih karena mengingat Ditya membatalkan kunjungan ke rumah Nenek Miarti kemarin siang.
"Tolong sampaikan maaf ku untuk nenek ya, Kak. Karena kemarin aku dan teman-teman sibuk mempersiapkan barang-barang yang harus dibawa hari ini. Aku janji lain kali aku akan main kesana." ujar Ditya sungguh-sungguh seolah dia bisa membaca raut kekecewaan di wajah Randy.
Randy tersenyum dan merasa senang mendengar perkataan Ditya, "Iya, Dit. Nenek juga mengerti kok, kalau kamu memang belum bisa main kesana."
Tanpa terasa mereka sudah sampai di depan barak Musik. Sepertinya para lelaki sudah kembali ke habitat mereka masing-masing karena yang terlihat hanyalah para perempuan yang sedang membereskan tempat itu.
"Kak Randy?" panggil Vina. "Kok kak Randy kesini? Barak BEM kan di paling atas."
"Terus kenapa kakak bawa ember-ember ini?" tanya Gina.
"Ditya.. Niar.. Kalian ya yang suruh Kak Randy bawa piring-piring ini?" tuduh Puspa. Puspa ini memang memiliki karakter yang aneh. Dia nggak pernah suka kalau ada adik tingkat yang dekat dengan senior.
"Nggak kok. Aku yang udah maksa mereka untuk menyerahkan ember-ember ini ke aku." kata Randy. "Kalau begitu aku pamit ya, mau ke Barak BEM dulu."
"Iya, Kak. Terima kasih banyak ya atas bantuannya." kata Ditya sambil menyerahkan ransel Randy kepadanya.
"Never mind." jawab Randy singkat dan pergi menuju baraknya.
"Niar, kamu kenal sama Kak Randy?" tanya Puspa setelah melihat Randy sudah tidak ada lagi.
"Iya Kak. Tapi aku baru kenal waktu aku kuliah disini kok." jawab Niar.
"Bagaimana bisa? Bukankah kalian beda jurusan?" tanya Vina penasaran.
"Aku kenal karena Ditya." jawab Niar singkat.
"Ditya?" tanya Gina.
"Iya, Kak. Kami sudah lama saling mengenal. Kalau begitu, kami pamit dulu mau melanjutkan beres-beres." Ditya langsung menarik tangan Niar karena dia takut diinterogasi lebih lama lagi oleh Vina, Gina dan Puspa. Ditya hanya tidak ingin menimbulkan banyak spekulasi yang akan bermunculan dari pertanyaan-pertanyaan mereka. Lagipula itu memang bukan urusan mereka, jadi Ditya merasa tidak memiliki kewajiban apapun untuk menjelaskannya kepada mereka.