webnovel

Rahasia yang Terbongkar

Menjelang pukul 12 siang, Alena baru saja menyelesaikan semua pekerjaan rumah. Mulai dari mencuci piring, membersihkan kamar mandi, mengepel dan menyapu lantai bahkan mencuci semua pakaian kotor orangtuanya.

Alena memang melakukan semua itu dengan tulus dan ikhlas meskipun dirinya harus menghabiskan tenaga dan waktunya. Namun yang sering membuatnya sakit hati adalah perlakuan sang mama yang sering melontarkan kata-kata begitu menyakitkan. Saat ini ketika semua tugas di rumahnya sudah terselesaikan, Alena duduk santai di sofa kamarnya, mencoba untuk meregangkan otot-otot di badannya yang terasa kaku.

Matanya memandangi taman hijau yang terletak didepan kamarnya. "Apakah Mama dan Papah tidak mengharapkan kehadiran aku di dunia ini?" guamam wanita cantik yang tengah merenungkan dirinya sendiri.

Bagi Alena sendiri, dunia bukanlah tempat yang ramah untuknya. Entah kenapa ujian datang silih berganti menghampirinya. Sikap orangtuanya yang sejak dulu sampai sekarang tidak pernah berubah dan juga impian dirinya untuk menikah dengan laki-laki yang ia cintai harus kandas begitu saja membuat hatinya begitu hancur dan berpikir tidak ada lagi orang yang mencintainya. "Kenapa orang-orang selalu saja tega menyakiti aku? Apakah aku tidak layak untuk dicintai oleh semua orang?"

Bagi Alena, untuk saat ini yang hanya bisa ia percaya hanyalah dirinya sendiri. Ia sudah tidak percaya lagi dengan orang-orang diluar sana yang sudah sering mengecewakannya.

"D-daffa?" ucapnya tiba-tiba.

Pikiran Alena langsung menggambarkan sosok laki-laki yang bisa ia percaya. "Daffa, kamu itu tidak seperti kebanyakan orang lainnya? Kamu itu baik, tidak seperti Papah dan Andre yang sering menyakitiku. Semoga kita bisa bertemu lagi meskipun dalam mimpi ataupun khayalan," ujarnya sambil tersenyum tipis.

Akhir-akhir ini mood Alena memang sangat hancur dan begitu tidak stabil. Kadang-kadang ia merasa sangat bersedih namun juga bisa sebaliknya, ia bisa tiba-tiba tersenyum bahagia di waktu yang bersamaan. Tentu saja kebahagiaannya saat ini adalah ketika ia teringat dengan sosok Daffa, laki-laki sempurna yang ia rasakan.

"Hanya Daffa dan juga diriku sendiri yang bisa menguatkan jiwa aku yang sangat rapuh ini," ujar Alena.

Meratapi nasibnya yang begitu menyedihkan karena tidak pernah sedikitpun merasakan kasih sayang dari orangtuanya meski orangtuanya lengkap. "Kenapa aku harus ditakdirkan hidup seperti ini?" batin Alena.

"Apakah di dunia ini sudah tidak ada lagi tempat untuk aku hidup bahagia?" rintihnya.

Dunia tampak suram bagi Alena, dirinya selalu saja merasa gagal untuk mendapatkan kebahagiaan. Padahal dulu ia merasa cukup senang dijodohkan dengan Andre oleh Papahnya namun ternyata semua itu hanya kebahagiaan diawal saja dan lagi-lagi ia harus merasakan pahitnya kenyataan.

"Dengan mudahnya dia mengatakan jika dirinya telah menghamili wanita lain sebelum adanya ikatan pernikahan? Bodoh!"

Tok ... Tok ... Tok ....

Suara ketukan pintu terdengar sangat keras seperti ingin merobohkan pintu kamar itu.

Alena langsung menengok kearah pintu itu dan ia mulai berjalan menghampirinya.

"Alena!" Suara teriakan dengan nada yang sangat tinggi menggema di telinga Alena.

Alena segera membuka pintu kamarnya dan ia langsung menatap wanita yang ada dihadapannya itu.

"Alena! Kamu itu gimana sih masa baju saya bisa luntur seperti ini? Ini itu baju mahal Alena!" teriaknya sambil menyodorkan baju berwarna hijau muda yang telah luntur itu.

"M-maaf, aku enggak tahu. Soalnya pas tadi aku cuci bajunya masih bagus kok," ujarnya yang mencoba membela diri.

Sorot mata Mama Febi langsung menatap tajam kearah Alena seolah-olah ingin menampar wajah Alena. "Dasar anak enggak berguna!" pekiknya.

"Lagian itukan baju Mama kenapa enggak Mama cuci sendiri aja?" tanya Alena yang sudah tidak tahan lagi ketika harus bersabar.

Plaaakkkk!

Mama Febi menampar pipi cantik Alena dengan sangat keras. "Sudah mulai berani kurang ajar ya kamu!" teriak Mama Febi sambil melotot kearah Alena.

Alena hanya dapat menundukkan kepalanya seraya menitikkan air matanya.

"Kenapa sih Ma? Mama selalu aja membuat aku hidup menderita? Kenapa Mama selalu menyiksa aku? Apa salah aku hingga Mama tega menampar aku seperti ini? Sejak aku kecil aku tidak pernah mendapatkan kasih sayang Mama dan sampai detik inipun Mama selalu bersikap kasar sama aku! Mama hanya peduli dengan Sarah!" rintih Alena yang akhirnya sudah berani mengungkapkan semua isi hati yang selama ini hanya dapat ia pendam.

Raut wajah Mama Febi semakin menunjukan rasa kesalnya kepada Alena yang berani berbicara seperti itu. Memang selama ini ia merasa benci ketika melihat Alena. Ketika menatap wajah Alena hatinya begitu sakit karena teringat dengan pengkhianatan suaminya 24 tahun yang lalu.

"Kamu mau tahu Alena kenapa saya begitu tidak menyukai kamu?" ujarnya dengan nada yang sinis.

"Semua itu karena Papah dan Ibu kandung kamu! Kamu tanya aja sama dia kenapa saya bisa membenci kamu!"

Alena yang tadi menundukkan kepalanya kini ia menatap wajah Mama Febi. "Papah? Ibu? Maksud Mama apa?" lirihnya sambil menghapus air mata yang terus mengalir deras.

"Kamu itu bukan anak kandung saya Alena! Kamu itu hanya anak hasil perselingkuhan Papah kamu dengan wanita lain!" teriak Mama Febi.

Deeeggg!

Jantung Alena seperti ingin berhenti, tubuhnya lemas seketika setelah mendengar pernyataan dari Mama Febi. Mulutnya kelu dan tidak bisa berkata apa-apa lagi, hanya deraian air mata yang menghiasi wajah cantiknya itu.

Dua puluh dua tahun Mama Febi merahasiakan semua ini karena suaminya melarangnya untuk membicarakan ini semua kepada Alena. Namun, hari ini ia sudah tidak bisa lagi menjaga rahasia itu. Mama Febi juga sangat sakit hati dengan suaminya yang dulu berselingkuh dengan wanita lain.

"Ibu kandung kamu meninggal saat kamu masih bayi Alena! Saat itu Papah kamu memohon kepada saya untuk menjaga dan merawat kamu! Awalnya saya tidak mau namun Papah kamu terus memaksa saya. Kamu tahu bagaimana sakitnya saya pada saat itu? Dua puluh empat tahun yang lalu suami saya berselingkuh hinga memiliki anak dari wanita lain dan suami saya memaksa saya agar mengurus anak itu seperti anak kandung saya sendiri dan anak itu adalah kamu Alena!"

Mata Mama Febi juga terlihat berkaca-kaca, semua perkataannya membuat dirinya sendiri juga ikut terluka karena harus kembali mengingat momen pahit dua puluh dua tahun yang lalu.

Sementara itu Alena hanya dapat terdiam sambil menangis. Meskipun ini adalah kenyataan yang paling menyakitkan namun akhirnya ia bisa mengetahui mengapa selama ini Mama Febi selalu menyiksanya dan tidak pernah memberikan kasih sayang kepada dirinya. "Ternyata dugaan aku selama ini benar, aku bukan anak yang diharapkan di rumah ini," batin Alena sambil menangis sesenggukan.

Hiks ... Hiks ... Hiks ....

Suara tangisan Alena semakin terdengar sangat jelas.

"Penderitaan kamu selama ini tidak sebanding dengan rasa sakit hati saya pada Papah dan ibu kandung kamu!"