21 Merasa Terpuaskan

Sudah hampir satu jam Liam duduk pada salah satu sudut kedai kopi, dengan menggerakkan ujung jari telunjuknya mengelus bibir cangkir. Pandangan matanya juga tertuju pada isi cangkir kopi itu. Sedangkan isi otaknya selalu saja berisi tentang Soraya, dia benar-benar mengkhawatirkan wanita itu.

Liam juga belum tahu pasti, apa yang menyebabkan Soraya begitu kacau kemarin. Apalagi saat Soraya menyuruhnya untuk bertanya pada Ceril. Ia memahami Soraya yang seketika emosi yang pada akhirnya malah menyulut api amarahnya juga. Hingga kalimat senonoh itu tidak sengaja terlontar.

Namun Liam memang juga sudah mencurigai Ceril, atas apa yang sudah terjadi pada Soraya. Bukan tanpa alasan, semua karena Ceril selalu merasa cemburu pada Soraya. Dan kali ini, entah apa yang akan Ceril bicarakan hingga meminta untuk bertemu dengan Liam.

Suasana kedai itu tampang lenggang pagi ini, cocok untuk Liam yang memang ingin membicarakan sesuatu juga kepada Ceril. Dan sejak tiba di kedai itu, Liam berkali-kali menghentakkan kakinya, menggerakkan secara terus-menerus seperti sedang menginjak mesin jahit.

Mungkin ia gugup, atau mungkin ia sedang berpikir keras. Merangkai kata yang cocok untuk ia ucapkan pada kekasihnya itu. Sekali lagi, Liam mengembuskan napasnya, memantapkan hatinya untuk keputusan yang telah ia buat.

Tak lama berselang, ia melihat sosok Ceril membuka pintu kedai dan mengedarkan pandangannya untuk mencari dirinya. Begitu kedua pasang mata itu saling bertemu, Ceril tersenyum dan kembali melangkah senang mendekati Liam.

"Kamu sudah lama sampainya?" tanya Ceril gembira. Liam hanya mengangguk santai.

Lelaki itu memang sengaja memilih tempat di ujung ruangan dengan kondisi kursi yang berseberangan, dan meja persegi yang hanya cukup untuk berdua saja. Liam tidak ingin duduk bersebelahan dengan kekasihnya itu.

Ceril langsung menarik kursi yang tersisa itu, berniat untuk memindahkannya dan duduk di samping Liam, tetapu dengan cepat Liam menolak saat melihat tingkah laku Ceril.

"Enggak, enggak! Kamu tetap duduk di situ. Aku nggak mau kena tegur pemilik kedai ataupun karyawannya karena sudah memindahkan properti mereka." Dengan tegas Liam menegurnya yang sudah bergerak, membuat Ceril mengerucutkan kedua bibirnya.

Wanita itu terdengar sedikit menggerutu, tetapi tetap menuruti permintaan Liam. Ceril memanggil pelayan untuk memesan menu yang diinginkannya. Setelah selesai, Ceril lantas membalas tatapan mata elang Liam dengan sebuah kehangatan.

"Kenapa, Sayang?" tanya Ceril lembut.

Liam yang sibuk memerhatikan wajah dan bagian tubuh lainnya dari wanita itu. Di wajahnya tidak ada bekas memar ataupun luka, begitu pula di tangannya, tidak ada bekas cakaran yang mirip dengan apa yang sudah didapatkan oleh sahabat wanitanya itu.

"Kemarin kamu ke mana aja? Aku nungguin di rumah kamu sampai malam." Liam berucap santai.

Ceril terlihat gugup dan juga gagap saat hendak memberikan jawaban pada lelaki di depannya itu. Lidahnya terasa kelu dengan kedua mata yang saling memandangi satu sama lain.

"Kerjalah, ke mana lagi. Trus malamnya aku nginap di rumah Erna." Ceril beralasan, Liam terus saja menatap kedua mata wanita itu, mencari celah kebohongan di sana. Sayangnya, wanita itu dapat menyembunyikan segalanya.

"Kamu apain Soraya kemarin?" tuduh Liam secara langsung.

Ceril sempat terpaku beberapa detik begitu mendengar tuduhan itu, tetapi dengan secepat kilat dia berusaha bersikap normal lagi lalu mengelak tuduhan itu. Pura-pura tidak tahu apa yang sedang terjadi. Karena Ceril tahu dan sadar diri, jika dia mengaku sudah menyerang Soraya, maka kekasihnya itu pasti akan marah besar padanya.

"Memang Soraya kenapa? Ada apa dengannya?" tanya Ceril pura-pura tidak tahu dan seolah antusias.

Liam yang melihat reaksi Ceril, merasa tidak mungkin jika Ceril-lah yang sudah melakukan perbuatan keji itu pada Soraya. Pasti ada orang lain yang melakukannya. Tapi siapa?

Menu hidangan pun datang dan disajikan di atas meja oleh seorang pelayan. Memecah suasana janggal yang tercipta di antara mereka berdua. Ceril masih berusaha santai, sedangkan Liam masih mencari celah agar kekasihnya itu mau mengakui kesalahannya.

Tetapi semua percuma, Ceril ahli dalam menutup rahasia, apalagi jika rahasianya sendiri.

***

Dengan sejuta pemikiran, Soraya keluar dari sebuah ruangan periksa pada salah gedung ternama di Jakarta. Dia baru saja bertemu kembali dengan Dokter Lyra, seorang dokter psikologi yang dahulu pernah melakukan terapi padanya.

Hypersexual disorder yang Soraya alami, kini kembali terjadi. Setelah sebelumnya dia bisa mengontrol keinginannya selama beberapa bulan yang lalu. Dan muncul akibat ritme permainan yang begitu intens dengan Liam.

"Lantas, apa kamu merasa puas saat berhubungan dengan lelaki ini?" tanya Dokter Lyra beberapa saat yang lalu, saat sesi terapinya berlangsung.

Soraya mengangguk lalu berkata, "Iya, aku merasa terpuaskan. Tetapi malah membuatku selalu ingin melakukan dengannya. Hanya padanya."

Dokter Lyra menatap wanita di depannya dengan nanar. "Hypersexual tidak bisa sembuh atau dihilangkan. Hanya bisa dikontrol dan dikurangi. Semua itu hanya kamu sendiri yang bisa mengobatinya."

Soraya tahu betul semua itu. Dia sadar telah melakukan kesalahan lagi. Dia mengakui jika dirinya selalu menempatkan hasrat dan nafsunya diurutan paling atas bagi kehidupannya, yang akhirnya menjadi seperti ini.

Kini dia sudah melangkah kembali menuju parkir sepeda motornya, dengan pemikiran yang masih berputar dalam otaknya. Soraya masih ingat betul saran dari Dokter Lyra tadi, yang menyuruhnya untuk jujur tentang kondisinya pada Liam. Agar Liam dapat membantunya untuk mengontrol diri.

Lagi-lagi perasaan Soraya menjadi lebih kacau dari sebelumnya, semakin kacau. Dia tidak tahu harus berbuat apa sekarang, yang jelas perasaan nafsunya kembali muncul jika mengingat Liam.

Apa yang harus Soraya lakukan sekarang?

***

Baru saja Ceril selesai menghabiskan sarapannya, tiba-tiba saja ponselnya berdering. Sebuah panggilan telepon tidak dikenal menghubunginya. Ceril mengernyitkan alisnya yang indah itu dengan sepasang matanya yang menatap heran layar ponselnya. Siapa yang menghubunginya?

"Kenapa nggak diangkat?" tanya Liam heran.

Ceril menggelengkan kepalanya. "Aku nggak tahu telepon siapa, nomernya nggak ada di contact." Ceril menekan tombol untuk mensenyapkan nada deringnya.

Liam hanya diam lalu kembali menyesap secangkir kopi hitamnya. Berusaha tidak memedulikan ponsel kekasihnya itu. Liam mengurungkan niatnya untuk berpisah dengan Ceril. Entah apa yang membuatnya berubah pikiran. Benar kata orang, sedetik saja hati manusia bisa berubah maksud dan tujuan. Entah apa yang Liam pikirkan, yang jelas, kali ini Liam tiba-tiba saja kembali ingin mempertahankan hubungan itu. Hubungan yang jelas-jelas sudah di ambang kehancuran, karena hati Liam benar-benar sudah terbagi.

***

Sudah empat jam lebih Soraya kembali mendarat di apartemennya, berjalan mondar-mandir dengan ponselnya dalam genggaman. Beberapa kali dia mencoba meyakinkan diri sendiri untuk tidak lagi menghubungi Liam, tetapi nyatanya dia tidak sanggup. Hingga akhirnya satu pesan singkat berhasil dia kirimkan ke nomor ponsel lelaki itu.

Sesekali Soraya memeriksa tampilannya dari pantulan lemari kaca yang berada di sudut ruang televisi, tempat di mana beberapa buku dan juga film kesukaannya disimpan.

"Sudah mendingan," bisiknya lirih pada diri sendiri.

Di pipinya sudah tidak ada lagi bekas memar cetakan tangan Ceril. Luka goresan pada tubuhnya juga sudah mengering dan bisa ditutupi dengan pakaian yang dia kenakan, hanya saja memerlukan pakaian berlengan panjang.

avataravatar
Next chapter