Langit senja kini menghiasi jagad raya. Sinar keemasan yang ditimbulkan oleh matahari terbenam, terlihat begitu indah seperti biasanya. Tetapi tidak untuk Liam kali ini. Baginya senyuman Soraya itulah yang menjadi sebuah keindahan. Semejak mereka berdua menjadi lebih intens.
Melihat kondisi Soraya yang seperti tadi sungguh membuat hatinya teriris. Kini tidak ada tujuan lain baginya untuk memacu kecepatan mobil, selain menuju ke rumah Ceril, untuk membuktikan kebenaran kecurigaannya sendiri.
Mengapa Ceril menyerang teman wanitanya? Mengapa Ceril berani melukai orang lain? Liam sungguh tidak mengerti dengan sikap Ceril yang satu ini.
Sudah sepuluh menit lebih Liam mengendarai mobilnya, hingga akhirnya memasuki sebuah komplek perumahan. Wilayah rumah Ceril.
Dengan menahan amarah, Liam mengetuk pintu rumah itu. Sambil beberapa kali menekan bel di samping pintu. Hingga akhirnya terdengar suara seseorang dari dalam rumah.
"Selamat malam, Tante," sapa Liam pada seorang wanita paruh baya yang sudah membukakan pintu. Dia adalah ibunya Ceril, tante Rosa.
"Ceril belum pulang kerja. Mungkin sebentar lagi. Tunggu saja di dalam, ayo masuk!" Rosa mempersilakan Liam untuk masuk ke rumahnya.
"Tunggulah di sini, tante buatkan minum dulu." Rosa bergegas melangkah menuju dapur untuk membuatkan minum.
"Enggak usah repot-repot, Tante."
"Sudah, nggak apa-apa. Tunggu ya!"
Selepas perginya Rosa menuju dapur dan Liam yang sudah duduk rapi di atas sofa ruang tamu, ia segera mengambil ponselnya di saku celana. Liam mencoba menghubungi Ceril dan menanyakan keberadaannya, tapi sayangnya panggilan telepon hanya terhubung.
Berkali-kali Liam menghubungi kembali, hasilnya tetap sama, tidak ada jawaban. Hanya nada sambung yang terdengar.
***
"Lagian ngapain kamu serang tu cewek sih?" Erna menyalahkan temannya, saat melihat Ceril datang dengan pipi memar.
"Ya habisnya aku kesel! Dia itu temennya apa simpanannya sih? Asal kamu tahu aja, Liam selalu belain dia kalau kami tengkar!" aku Ceril, saat Erna memberikan selembar handuk untuk mengompres pipinya.
"Ya mana aku tahu dia itu temen apa simpanan, yang jelas aku sering lihat Liam nganterin itu cewek. Apalagi kalau aku pulang kerja pas malam, beberapa kali aku lihat mobilnya keluar dari sana. Masa iya nganter temen jam sebelas atau jam satu malam?" jelas Erna.
Ceril semakin berpikir yang tidak-tidak, apalagi begitu mendengar Erna menjelaskan, bahwa dia beberapa kali pernah melihat mobil Liam keluar dari apartemen Soraya. Wanita yang menurutnya jalang.
Ceril masih ingat betul saat makan siang bersama kekasihnya beberapa hari yang lalu, saat dia menanyakan tentang Soraya pada Liam.
"Trus jam berapa kamu nganter dia pulang?"
"Jam sepuluh."
Ceril masih tidak percaya. "Habis nganter langsung pulang?"
"Ya iyalah, memang mau ke mana lagi?"
Begitu jawaban Liam saat itu. Tetapi saat tadi pagi mendengar kisah Erna, Ceril semakin menjadi ragu dan tidak percaya jika kekasihnya itu sudah mulai berani berdusta padanya untuk hal sekecil itu.
"Kamu nggak salah lihat 'kan malam itu, Na?" Ceril kembali memastikan.
"Astaga, Cer!! Kamu nggak percaya sama aku?"
"Bukan gitu, Na. Sebelum aku pacaran sama Liam, mereka udah akrab."
"Dan kamu yakin begitu aja, kalau mereka pure temen akrab?"
"Aku nggak ngerti hubungan di antara mereka, jadi begitu Liam jelasin kalau mereka teman, aku coba percaya."
"Dan sejak itu kamu dikelabui sama mereka. Temenan masa keluar dari apartemen jam satu malam? Trus dulu pernah juga 'kan aku bilang lihat dia keluar dini hari. Pake logika kamu dong, Cer!!" Erna sedikit geram melihat temannya yang mau saja dibodohi oleh seorang lelaki.
Ceril menghela napasnya kasar, otaknya sedang berpikir keras. Bagaimana caranya agar dia bisa membuktikannya sendiri dengan mata kepalanya? Antara percaya dan tidak percaya. Antara sayang dan juga rasa benci. Semua bercampur menjadi satu, berbaur mengaduk perasaan dihatinya.
Pada satu sisi, hatinya tidak ingin membuktikan apa pun, sebab ia takut akan merasakan sakit hati kembali. Namun di sisi lain, dia menginginkan kebenaran, kejujuran dari Liam.
Saat mengetahui jika Liam berdusta saja sudah cukup membuat hati Ceril terasa seperti tersayat, perih. Apalagi jika Ceril membahas tentang wanita itu pada kekasihnya, yang terjadi selalu saja pertengkaran. Liam seolah menutupi kehidupan wanita itu.
Dan gilanya lagi, kekasihnya itu selalu saja membela wanita tersebut daripada dirinya yang jelas-jelas berstatus sebagai kekasihnya.
***
Berjam-jam Liam menunggu Ceril, tetapi wanita itu tidak kunjung pulang. Secangkir kopi yang dibuatkan oleh Rosa pun, kini sudah hampir habis. Liam juga sudah berbincang dengan Rosa tentang banyak hal, hingga suasana canggung kembali terjadi.
"Sebenarnya ada apa, Nak Liam?" tanya Rosa hati-hati.
Liam tidak ingin menuduh Ceril, mengatakan suatu hal yang belum tentu kekasihnya itulah pelakunya. Bagi Liam, ia mampu menyelesaikan masalah ini sendiri, tanpa campur tangan Rosa. Oleh karena itu, Liam memilih untuk berkelit.
"Enggak ada apa-apa, Tante. Aku cuma khawatir aja, soalnya Ceril enggak angkat telepon aku."
"Sebentar, biar coba tante yang hubungi dia." Rosa berdiri, hendak melangkah menuju kamarnya untuk mengambil ponselnya di sana.
Liam mencegah. "Nggak usah, Tante! Mungkin dia lembur, nanti malah mengganggu. Lebih baik aku yang pulang ...."
Akhirnya lelaki itu memutuskan untuk segera pulang, karena waktu juga sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Bukankah sudah terlalu lama Liam menunggu?
"Kalau begitu, nanti biar tante sampaikan kepadanya kalau kamu ke sini."
"Makasih, Tante. Saya permisi pulang. Selamat malam," ucap Liam seraya melangkah keluar dari rumah orang tua kekasihnya dan kembali memasuki mobil.
Pikirannya berkecamuk, hatinya sungguh kacau. Liam benar-benar tidak mengerti jika semua itu benar terjadi. Ceril memang wanita berani, dia mampu melakukan apa saja, sesuai dengan keinginannya. Tapi bukan berarti dia berhak menyakiti fisik Soraya.
Padahal sudah berkali-kali Liam mengatakan, jika Soraya itu teman akrabnya. Sejak Liam belum mengenal Ceril hingga saat ini mereka menjalin hubungan asmara. Seharusnya Ceril paham itu.
Di sepanjang perjalanan menuju pulang, Liam mencoba menghubungi Soraya. Tidak ada jawaban. Pikiran Liam semakin kalut, begitu banyak terkaan yang terlintas dalam pikirannya. Namun hatinya lebih memilih untuk memikirkan dan mengkhawatirkan Soraya, dibandingkan dengan kekasihnya sendiri.
***
Dalam sinar lampu yang menerangi kamar tidurnya, Soraya terbaring lelah di tengah kasur. Dengan memejamkan kedua matanya sambil mengatur pernapasan yang sebelumnya sempat sesak.
Beberapa kejadian hari ini sungguh membuat kepalanya pusing. Sesekali wanita itu mengembuskan napasnya perlahan, penuh dengan hati-hati. Sebuah perasaan yang tidak menentu kembali menyelimuti dirinya.
Perasaan bersalah juga ikut hinggap, membelenggunya selama ini. Ya, selama dia juga bermain bersama Liam. Bukan masalah baginya, siapa yang merenggut keperawanannya, biarkan itu menjadi rahasia untuk dirinya sendiri. Karena bagi Soraya, dia benar-benar membutuhkan aktivitas biologis itu.
Apalagi dengan cara Liam memuaskannya. Berbeda dengan Reyhan, sangat berbeda dan jarang. Soraya juga enggan memperlihatkan prilaku aslinya pada Reyhan, kecuali lelaki itu menikahinya. Tapi jika sudah begini, lelaki mana yang mau menikahinya? Lelaki mana yang mau menerima dirinya apa adanya?
Dulu Soraya mengacuhkan beberapa pertanyaan penting itu. Baginya, nafsu tersalurkan itu lebih penting. Tapi sekarang, dia sendiri pula yang mematahkan pola pikirnya sendiri. Plin-plan? Iya. Begitulah Soraya, di satu sisi dirinya, dia tidak akan mampu untuk mengatur kehidupannya sendiri.
Dan baru kali ini dia menyadari, jika dia ternyata sudah sangat bergantung pada Liam. Dia terbiasa hidup dengan kehadiran Liam di sisinya. Seketika itu pula, di ujung sudut matanya, berlinanglah air mata penyesalan yang teramat dalam.
Soraya telah merusak kehidupannya. Melepaskan kehormatannya. Dan menyia-nyiakan segalanya untuk kesenangan dirinya dalam hati yang teriris. Perih.